Translate

Kamis, 13 Juni 2013

Prismatis

Karena jiwa masih setia mendambakan
"Negeri Bersayap Garuda"
Mungkin bukan hari ini, tapi esok
Kala mimpi mentari berpijar pada tiap denyut arteri yang melagukan irama nurani hati
Terbanglah garuda, cakrawala menunggu karyamu

(6 April 2013, dalam lirih gejolak benakku)
Aku tak pernah berfikir bahwa karyaku buruk, karena aku lahir dari sebuah kepercayaan diri yang luar biasa. Ibuk juga tak pernah mengajariku mengecilkan hati, karena hati yang besar lebih lapang tuk menerima ilmu dan pengalaman. Sejak kecil, ibuk selalu menekankan bahwa tiada karya yang salah di dunia ini. Dan tiap orang punya kaca mata sendiri dalam menafsirkan sebuah karya seni. Ya, kebebasan otak untuk memproses sebuah makna menjadikan peluang ribuan kemungkinan di dunia ini.

Aku mencintai sastra seperti aku mencintai merah darahku. Karena sastra adalah kaki bagi jiwaku, memberiku keluasaan tuk menelusuri bumi imajinasi. Karena sastra memberiku sayap agar bisa terbang menjulang ke angkasa, mencari awan-awan jati diri.

Aku memilih gaya prismatis untuk berkreasi. Walau mungkin tak semua orang bisa menafsirkan apa yang aku sampaikan lewat sajak-sajakku. Karena prisma akan membiaskan cahaya jadi merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu dan semua warna yang ada. Biarlah prisma tetap prisma. Karena keberagaman itulah keindahan. Perbedaan adalah keindahan. Bukankah pelangi nampak begitu elok dengan paduan warna-warna yang cantik?

Itulah ketegasan sebuah jati diri. Tetap berdiri meski gelombang keresahan menghantam sendi-sendi tulangnya. Hanya saja, bapak masih seringkali meragukanku. Membuatku ingin enyah dari himpitan mimpi-mimpi palsu. Aku hanya ingin punya dimensi lain untuk lebih cepat berlari, mengejar mimpiku sendiri. Dan, saat ada kesempatan untuk membuktikannya, waktu belum mengizinkanku tuk menjadi apa yang kuinginkan. Ya, ini memang menambah keraguan bapak, namun bukankah masih banyak kesempatan di dunia ini? Bahkan aku kan berusaha menciptakan kesempatan itu sendiri.

Detik yang berlalu akan menghapus segala kekecewaan. Ya, mungkin memang perlu lebih banyak tangga untuk mencapai puncak. Dan aku masih terus mengepalkan tangan, karena esok pasti akan lebih baik. Karena esoklah prisma itu, membiaskan bianglala harapan.

Apa aku salah jika mencintai sastra?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar