Translate

Rabu, 06 Agustus 2014

Bianglala

Bianglala menghunuskan keyakinan pada kepak tangan-tangan merak
menguraikan pekat kemelut realita dengan molaritas yang pas
karena tak selamanya malam sehitam kopi

Jatuh Cinta Diam Diam


Untuk kompetisi menulis @KlubCeritaDwita @_PlotPoint #JCDD2

Rinduku

Malam yang semakin habis tak lantas membuatku larut dalam heningnya benak yang kosong. Kucoba renungkan satu arti yang tersirat dari kejamnya rindu. Ada satu masa, ketika sesuatu yang terlalu menggebu meracuni pikiran, harus dihapus. Dengan melupakannya. Karena rasa yang tak pantas hanya akan menjadi belati yang tajam melukai.Hingga kini tak terbesit dalam logikaku, pertemuan sesederhana dan sesingkat itu mengapa sanggup merampas semua rasa yang kumiliki? Aku sempat menghardikmu diam-diam, menganggap kau jahat. Meletakkan kenangan seberpengaruh itu, namun tak sedikit pun kau berusaha menyatakan perasaan yang sama denganku. Akhirnya, aku menyadari bahwa semua itu, salahku. Salahku yang terlalu mendalami pertemuan itu, salahku yang terlalu memaknai setiap waktu, ketika mataku bertemu dengan matamu. Ketika percapakan biasa kuanggap terlalu istimewa. Ah mungkin memang aku sungguh keterlaluan dalam menyikapi segala hal tentangmu.

Rinduku sederhana
Tanpa pelukan yang bercampur rasa dan entah apa 
Tanpa kemesraan yang terumbar tanpa makna
Ya, sedernaha
Sesederhana melihat semburat senyum yang tergores di wajahmu yang teduh 
Sesederhana melihat rembulan yang terpatri di matamu yang lembut 

Rinduku sederhana 
Meski dada mulai sesak dipenuhi kerinduan, 
namun bisu tiada berpaling 
Ia tetap memendam rindu dalam diam
                                                                        ***
Setahun yang lalu . . .
“Kau tidak kemari?”
            “Kemana?”
            “Ah, kau memang tak peduli dengan ribuan saudara kita yang menderita di sana.”
            “Apa maksudmu?”
“Sudah kuduga. Apa yang selama ini kaulakukan hingga kabar mereka pun kau tidak mengetahuinya. Tentang mereka yang puluhan tahun tidur beralaskan darah, berselimut air mata, beratapkan kepulan asap dan . . .”
            “Cukup! Jelaskan maksudmu!”
            “Oh, hehe, bahkan aku tak yakin kau bisa mengerti.”
            “Jangan membuatku gila!”
            “Bahkan aku juga tak pernah yakin bila kau itu waras. Hahahaaaa.”
Laili menutup ponselnya sambil menghakimiku dengan tanda tanya besar yang sulit kupecahkan. Apa maksudnya, tanyaku dalam hati bertubi-tubi. Laili memang seperti itu, kawan seperjuanganku di kerohanian islam (Salah satu ekstrakulikuler keagamaan di sekolah) itu memang terkadang menjengkelkan. Terlebih sifat militannya terhadap agama seringkali menyinggung orang lain, termasuk teman-temannya yang tak seteguh itu menjalani hidup sesuai syari’at, seperti halnya aku. Ia masih saja menegurku yang masih bergelut dengan facebook dan twitter ketika adzan tiba, bahkan seringkali ia menatapku tajam sambil menyebutkan ayat-ayat Tuhan saat aku memakai jeans atau pakaian ketat lainnya, ia berkutbah dihadapanku layaknya ustadzah di televisi, tentang alam akhirat dan neraka yang begitu mengerikan, dan terkadang itu membuatku merasa takut. Namun, sebenarnya ia perempuan yang baik.
                                                                        ***
            Mentari tak perhitungan kali ini. Sinarnya berpendar begitu hebat, hampir membakar ubun-ubunku. Kuhela nafas panjang sambil sejenak memejamkan mata, berharap lelah dapat sirna menjauhiku. Walapun panas dan lemas menyergap tubuhku namun tak ada sedikitpun dalam benakku, hasrat untuk membatalkan puasa. Aku datang terlambat kali ini. Masjid Agung di Barat Aloon-aloon Ponorogo sudah dipenuhi ratusan manusia berpakaian serba putih dari berbagai latar belakang. Mereka merapat ke tengah aloon-aloon sambil senantiasa mengumandangkan takbir. “Allahu akbar, allahu akbaarr!” Layaknya demonstran pada umumnya, mereka membawa spanduk dan aneka banner bertuliskan Save Gaza, Ponorogo for Gaza, dan sebagainya. “Kita, umat muslim harus bersatu untuk memerangi kekerasan!” Seru seorang orator yang berdiri di mimbar kecil nan sederhana. Kami semua larut dalam gempita suasana, api semangat yang dikobarkan oleh orator membuat kami semakin tenggelam dalam lautan takbir yang menggema. Sesekali isak tangis pecak di antara demonstran yang terlalu menghayati dan membayangkan anak-anak kecil tanpa dosa harus meregang nyawa demi menebus agresi keji bangsa Israel. “Allahu akbar! Kita harus mendukung mujahid Palestina yang teguh membela bangsanya, kita harus membela mereka! Sambil terengah-engah, sang orator tetap bersemangat seperti capres yang giat berkampanye.
“Assalamu’alaikum Zahra, dikau datang juga rupanya. Gembira hatiku ini melihatmu rapi dan cantik.”
“Wa’alaikum salam. Aku ingin belajar peka dan beradaptasi dengan duniamu. Puaskah kau?” Hingga hari ini aku masih menganggap berkeredung lebar dan berkaus kaki kemana-mana adalah dunia Laili.
“Duniaku? Oh, tentu saja bukan. Ini dunia kita, dunia islam.”
“Kau bahkan memandang semua manusia di muka bumi harus menjadi muslim.”
“Salah sangka. Tidak sahabatku, perbedaan adalah rahmat. Dan Allahlah yang menjadikan kita bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kita tahu kebesaran-Nya.”
“Tapi mengapa kita harus membenci yahudi? Karena mereka bukan islam, iya?”
“Ini bukan soal agama, sayang. Ini soal HAM, kekerasan, dan perampokan. Ya, kita benci kekerasan, karena itu kita menentang zionis Israel berkacak pinggang dan semena-mena terhadap Palestina.”
“Tapi bukankah nabi mengajarkan kita untuk tidak saling membenci?”
“Kita tidak akan membenci selama Israel melepaskan Palestina dan menyerukan perdamaian di muka bumi. Lagi pula, kalau bukan kita siapa lagi sayang? Palestina membutuhkan kita, bukan hanya umat muslim di sana, tapi umat-umat lain yang haus akan perdamaian. Bukankah tidak hanya umat islam yang tinggal di Palestina? Ada banyak sekali pemeluk agama lain yang juga tinggal seatap dengan muslim, mereka sama-sama memperjuangkan Palaestina.”
“Kau, hmm benar Laili. Kali ini aku tak membantahmu.” Begitulah, untuk sekian kalinya, pada akhirnya aku harus mengaku kalah bila berdiskusi dengan Laili, ia terlalu pandai bagiku, dan terlalu istimewa sebagai seorang karib.
Demonstrasi kali ini usai, walau mentari tlah berjalan ke barat, namun keningku masih penuh keringat. Capek. Ya benar, demonstran mana yang tak capek berteriak sambil berenang menyelami lautan matahari? Aku dan Laili turut berbaur dalam kerumunan yang berarak menuju masjid. Aku tercengang. Tiba-tiba sesosok tangan hangat menyentuh lenganku, tangan itu mencengkram dengan halus, namun erat, ia membawa lenganku seolah mengajakku mengikuti langkahnya yang terburu-buru.
“Rosyid, ayo bergegas. Waktunya shalat.”
“Maaf kak, aku bukan Rosyid.” Tangannya yang lembut lantas membuatku tak memberontak. Ia menoleh. Menyadari bahwa aku bukan orang yang ia maksud, ia melepaskan tangannya yang bersandar di lenganku. Aku tak mengerti apa yang bergejolak dalam benak. Ada getar ketika mataku bertemu dengan matanya. Mata itu, teduh. Aku melihat bianglala terpahat di dalamnya, begitu indah. Wajahnya yang bersih dengan jenggot tipis yang menghias dagunya, juga peci yang bersarang di kepalanya menambah kesan alim pada dirinya.
“Astagfirullah. Maaf, maaf, aku tak sengaja. Maaf, maaf.” Seseorang menerjangku dengan untaian maaf yang tak habis-habis.
“I i iya kak, ta tak apa.” Kataku yang terbata-bata. Entah mengapa aku jadi gugup. Keringat dingin seketika mengucur deras menuruni leher dan pelipis. Ada apa ini. Mengapa gejolak yang tumbuh begitu aneh dan janggal.
“Maaf, maafkan saya. Saya tidak sengaja, maaf.”
“Iya, iya tak apa.” Untuk kedua kalinya aku menjawab dengan kalimat yang sama. Kalimat yang entah keluar dari mana, ia secara secara refleks keluar begitu saja sebagai respon dari perkataannya. Karena sebenarnya, aku hanya sibuk memandanginya, memperhatikan setiap detail pada wajah yang bagiku begitu mempesona.
Ia berlalu, meski begitu ia masih saja berucap maaf seolah ia tlah melakukan dosa besar padaku. Pdahal ia hanya tak sengaja menyentuh lenganku tapi mengapa ia merasa sangat bersalah? Apakah ia terlalu alim hingga menyentuh perempuan sedikit pun, ia tak berani? Padahal berapa tangan lelaki yang tlah menyentuhku? Ya Tuhan, kadang aku memang lupa jikalau syari’at tak memperbolehkan dua manusia lawan jenis yang belum menikah, saling bertukar rasa dalam sentuhan-sentuhan yang mungkin itu sederhana dan terkesan wajar, namun sebenarnya ada getar syahwat dalam sentuhan itu. Aku tahu dan aku mengerti, tapi entah apa yang membuatku tak kunjung gigih mempertahankan syari’at-Nya.
“Sudah Zahra, sudah. Kulihat kau begitu dalam, memperhatikannya.”
“Siapa dia?” Aku bertanya pada Laili walau pandanganku masih lekat dengan sosok pria berjalan cepat menuju masjid. Kuserahkan noktah fokus mataku untuk mengantar pria itu pergi. Sesekali tampak tangannya sedang menggaruk leher juga siku, entah benar-benar gatal, atau salah tingkah. Ia sempat beberapa kali menoleh, mendapati matanya selalu bertemu dengan mataku, ia tersenyum malu-malu, hingga jarak memutuskan pandanganku.
“Bahkan tak kaulepas matamu dari tubuhnya, hah?”
“Ma ma af Lail, hehehe.”
“Seharusnya kauminta maaf padanya. Hehehe. Dia itu kak Muhammad dipanggilnya Ahmad, ketua Forum Silaturrahmi Pendamping Rohis (FOSPOR) Ponorogo. Dirimu baru tahu ya?”
“Iya, hmm. Eh, pendamping Rohis? Dia bukan mahsiswa seperti kita?”
“Dia lulus tahun ini, dokter muda, alumni UI juga lho, dan cumlaude. Terus ya, dia itu sulung dari 5 bersaudara, tulang punggung keluarga sejak ia masih duduk di bangku SMA. Rumahnya juga di pelosok desa Sawoo, di daerah pegunungan, jauh dari Ponorogo kota. Subhanallah.”
“Kamu tahu banyak ya Lail, soal kak Ahmad.” Nadaku yang datar sebenarnya mengisyaratkan sebal dan tidak terima, mengapa Laili begitu tahu tentang kak Ahmad?
“Sedikit sih, hehehe.”
                                                                        ***
            Sejak kali pertama aku bertemu dengan kak Ahmad, ada yang berbeda dari diriku, tampak begitu aneh. Kesan sederhada yang tertoreh, terlalu jauh menembus alam batinku. Aku tak mengerti, gejolak apa yang sering tiba-tiba hadir seperti getar dawai, saat bayangnya terlintas. Ia menjelma siluman yang seringkali menelusup nalar dan hati. Pertemuanku dengannya tak istimewa. Namun apa yang membuat bayangnya tak henti tersirat dalam memori? Wajahnya, tingkahnya, entahlah. Hanya 5 menit matanya dan mataku saling berjumpa dan hanya 5 detik tangannya yang halus itu, menyentuh lenganku. Namun, sudah 5 hari tak kunjung aku menyerah, untuk tak memikirkannya. Dan, diam-diam kukira sah-sah saja bila aku mulai mengikutinya di berbagai sosial media. Aku merasa betah berlama-lama memandang fotonya yang tertera di facebook atau pun twitter, kurekam dalam-dalam, lalu kuputar raut wajahnya dalam imajinasi. Dan kegiatan itu kuulang dan terus kuulang hingga menjadi suatu kenikmatan tersendiri yang sulit untuk dideskripsikan.
            Hari ini aku bergegegas. Kuraih tas merah favorit dan jam tangan andalan yang selalu menemani segala bentuk kesibukan yang tlah menjadi rutinitas. Ya, organisasi pemuda-pemuda Islam seperti rohis sudah kuikuti lebih dari tiga tahun, tepatnya sejak kelas X SMA. Kecintaanku pada organisasi yang banyak merubah hidupku ini aku buktikan dengan aktif bergabung di SALAM UI, salah satu UKM dakwah di tingkat kampus. Ketika libur panjang tiba, aku juga kembali aktif di ikatan alumni rohis SMA, karena mungkin—walau imanku masih compang-camping—setidaknya aku berusaha menjadi apa yang diinginkan Tuhanku. Ya, walau hanya dengan berkontribusi di jalan dakwah. Jalan yang anehnya mengenalkanku pada perasaan aneh itu.
            Pukul 14.00 aku tiba di masjid Al-Kautsar, masjid besar yang terletak di SMA Negeri 1 Ponorogo, mantan sekolahku.
“Assalamu’alaikum, maaf terlambat.”
Sambil kusalami satu per satu, kulempar senyum terbaik untuk anggota komunitas pemuda Islam yang hadir dalam mimbar diskusi. Seperti biasa kusebar pandanganku ke seluruh penjuru masjid, untuk memastikan siapa saja yang terketuk hatinya untuk hadir dalam kegiatan yang dahulu menurutku kurang penting ini. Deg. Kak Ahmad. Astaga, ia ikut juga. Bunyi jantungku seperti desah yang tak berirama, seperti maling yang dikejar polisi, tak tentu arah. Aku hanya bisa sesekali menatap mata bianglala itu, sesekali saja, karena jika berkali-kali, siapa yang tak curiga? Mencuri pandang, kata orang itu frase yang akurat untuk menyimpulkan betapa berharganya waktu, walau sedetik, untuk sedekar menemukan mata dengan cinta. Cinta? Secepat itukah aku menyimpulkannya sebagai cinta? Bukankah cinta yang terburu-buru itu tak bisa dipercaya? Entahlah.
Kak Ahmad memang sangat berwibawa. Pembawaannya yang ringan dan suara halusnya yang khas menurutku sanggup menghipnotis beberapa wanita, mungkin salah satunya adalah aku. Kali ini ia memimpin rapat. Ia menjelaskan program kerja dan deskripsi acara dengan sangat lugas dan mudah dipahami. Ya, bakti sosial sekaligus acara penggalangan dana untuk Palestina tahun ini diketuai oleh kak Ahmad. Sangat pas dan cocok, menurutku. Karena siapa menduga, ternyata ia juga merupakan mantan ketua rohis sewaktu SMA. Kak Ahmad memakai baju kemeja biru yang dipadu dengan celana bahan hitam. Ia terkesan rapi dan, hmm manis juga ternyata. Hingga diskusi usai pun, mataku masih sesekali, mencuri warnanya, walau sekilas.
                                                                        ***
Senin, 22 Juli 2014.
Bakti sosial yang ditujukan untuk warga terbelakang di desa Karangpatihan Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo diikuti oleh hampir empat puluh relawan. Semua tahu, tempat yang akan kami tuju itu sangat jauh dari kota, akses jalan menuju desa Karangpatihan juga susah. Maklum, salah satu desa yang terletak di pinggiran kabupaten Ponorogo ini sangat memprihatinkan. Bukan hanya jalannya yang belum di aspal, tanjakan dan turunan dengan jurang kanan kiri yang membentang akan menghiasi perjalanan kami. Karena itu, para relawan perempuan tidak disarankan untuk mengendarai motor sendiri, alias harus dibonceng oleh seorang pria atau ikut naik mobil.
Ketika aku tiba di basecamp relawan, sudah banyak kawan yang tlah berkumpul. Mereka tampak dengan serius mendengarkan arahan dari kak Ahmad sebelum pemberangkatan. Laili juga sudah hadir, jilbab panjang yang menjulur, rok, dan kaos kaki tak lupa menghiasi penampilannya.
“Kamu ikut naik mobil yang itu, Laili?” Sapaku sambil menunjuk ke arah mobil berwarna putih yang terparkir di samping kami.
“Iya Zahra, nih lihat aku pakai rok. Ngga mungkin naik motor kan? Kalo kamu?”
“Aku belum tahu, belum dapat tumpangan nih, aku sengaja pakai celana biar fleksibel, bisa naik mobil atau dibonceng, naik motor.”
“Kayaknya kamu harus segera lapor kak Ahmad deh, soalnya mobil seingatku udah penuh. Biar dicarikan tebengan tar.”
“Iya Laili, makasih ya.”
Pas sekali. Kak Ahmad menyuruh relawan perempuan yang belum dapat kendaraan untuk angkat tangan. Kujulurkan tanganku ke atas tanpa ragu. Ada beberapa relawan yang turut mengangkat tangan. Ia sangat cekatan dalam mengatasi hal ini. Dicarikannya satu-satu relawan pria yang belum membonceng siapapun. Dan pada ujungnya, tinggal aku yang belum.
“Kak, aku belum nih.” Kuangkat tanganku sambil berdiri tepat di depan kak Ahmad.
“Aku masih kosong, Dik Zahra bareng aku aja.”
“Hmm, iya Kak.”
Desah jantungku hadir lagi. Kali ini lebih keras hingga hampir-hampir merobek dadaku. Yang benar saja? Aku harus duduk di atas motor, selama lebih dari satu jam, bersama sosok yang selama ini berkelana dalam pikiranku. Apa sanggup aku menahan gejolak yang dapat membuatku salah tingkah? Aku hanya berjalan mengikuti langkah kak Ahmad menuju motor hitamnya. Ia menaiki motornya lalu menoleh ke belakang, ia melihat mataku seakan mengisyaratkan bahwa aku harus segera naik. Kukenakan helm dan kunaiki motor itu dengan hati-hati. Kami berada pada jarak sekitar lima belas centimeter, ada satu tas ransel yang menghalangi punggungnya bertemu dengan dadaku. Dan kurasa itu tak cukup membuat jantungku berhenti berdesah.
“Dik Zahra sudah siap?”
“Sudah Kak.”
Kak Ahmad mengendarai motor dengan kecepatan sekitar 70 km/jam. Biasanya, tubuhku sudah bergetar tak karuan dan nyaliku ikut menipis bila dibonceng melebihi 60 km/jam. Namun entah mengapa kali ini sunggguh berbeda. Aku merasa nyaman walau tak satu tanganku pun meraih pinggangnya. Dua kilometer pertama perjalanan kami, tiada kata yang terucap. Kami seperti tenggelam dalam lautan diam. Hingga kak Ahmad kembali membuka percakapan.
“Dik Zahra kuliah di UI juga ya?”
“Bener Kak, kakak tahu dari mana?”
“Temen-temen komunitas rata-rata juga sudah tahu kalo adik kuliah di sana. Ambil jurusan Sastra Indonesia kan?”
“Iya Kak.”
Walau aku tak yakin, relawan komunitas pemuda Islam yang sebanyak itu sebagian besar sudah tahu tentang kuliahku. Aku tak ingin bertanya lebih jauh.
“ Diem saja. Biasanya cerewet gitu.”
Dari mana kak Ahmad tahu kalau aku cerewet? Apakah kak Ahmad diam-diam juga memerhatikanku? Ah tak mungkin. Lebih baik aku mengubur dalam-dalam ke-ge-er-anku.
“Kak Ahmad lulusan UI ya? Pendidikan Dokter? Lulus tahun ini kan ya?”
“Iya, hehehe tahu aja. Emang kakak terkenal banget ya, sampai dik Zahra tahu gitu.”
“Hehehe. Kakak kan emang terkenal deh. Eh, keceplosan. Kakak sekarang kerja dimana?”
“Aku masih magang di RSUD kabupaten Ponorogo untuk beberapa bulan ini. Sambil kadang nerima panggilan kalo ada yang sakit. Mau nabung dulu biar bisa buka praktek di rumah”
“Oh, kakak hebat, baru lulus udah ngeksis aja jadi dokter, hehe.”
“Dik Zahra suka nulis ya? Pengen jadi penulis gitu?”
“Iya dong Kak, doakan ya Kak. Aku ngefans banget sama Chairil Anwar. Tar pengen deh jadi sastrawan terkenal kek dia.”
“Amin. Kamu pasti bisa kok. Chairil Anwar yang salah satu puisinya berjudul ‘Aku’ itu ya? Wah kamu pasti bagus deh kalo baca puisi itu. Bacain buat aku dong, hehehe.”
“Hehe , kakak bisa aja. Malu dong Kak, masa di jalan gini teriak-teriak.”
Tiba-tiba ada sebuah lubang cukup besar di depan kami, kak Ahmad seperti tak bisa menghindarinya, dan sudah kuduga. Ban motor kak Ahmad tanpa dosa menerjang lubang itu, badanku tak kuasa menahan guncangan yang dapat menjatuhkanku. Segera kuraih pinggang kak Ahmad dengan erat. Dan syukurlah kami tak terjatuh.
“Maaf Kak.”
‘Ehm, iya.”
            Kami lalu terdiam. Membiarkan deru motor mencabik-cabik hening yang kami ciptakan. Mungkin, refleks perbuatanku tlah menciderai hangat percakapan yang muncul begitu saja. Grogi dan rasa bersalah menghantuiku. Apa kak Ahmad marah? Mengapa ia terus diam? Hmm, kupendam pertanyaan itu hanya dalam diam. Oh tidak, aku merasa canggung luar biasa setelah ketidaksengajaanku tadi. Bagi orang, mungkin biasa berpegangan antar lawan jenis, tapi bagi kak Ahmad? Aku tak menjamin.
            “Dik, Dik Zahra?” Suaranya yang halus memecah keheningan.
            “Iya Kak. Kakak marah ya?” Tolol, mengapa aku harus bertanya seperti itu pada dia.
            “Enggak kok, sudahlah. Allah tidak marah ketika kita tidak sengaja.”
            “Hmm.”
            “Dik?”
            “Apa Kak?”
            “Sempat nggak kamu berpikir untuk lebih giat membantu sesama.”
            “Sempat lah Kak, buktinya aku ikutan baksos, hehe.”
            “Kalau lebih dari itu?”
            “Maksud Kakak?”
            “Pergi ke Palestina mungkin.”
            “Palestina? Hmm aku takut.”
            “Apa yang kamu takutkan?”
            “Aku takut kalau, aku tak bisa kembali.”
            “Oh, begitu rupanya.”
            “Kenapa Kak?”
            “Tidak apa-apa.” Senyumnya menjulur setengah lingkaran ketika ia memutuskan untuk sedikit menoleh ke belakang, ya ke arahku. Dan siapapu pasti menebak kalau jantungku hampir lepas. Dan itu benar.
                                                                        ***
            Ada ketentraman tersendiri rupanya, bergaul lebih lama dengan orang-orang macam Laili, macam kak Ahmad. Menurutku, hanya pakaian yang membedakan mereka, selebihnya, mereka manusia normal. Manusia-manusia baik yang normal. Mereka tertawa dan bercanda seperti kebanyakan manusia. Lalu ada kalanya mereka bersujud lebih lama di hadapan Tuhan untuk memohon sesuatu, sesuatu terserah mereka. Namun satu hal yang baru kutemui selama ini—kenyataan bahwa mereka terlalu baik. Walaupun menurut banyak orang, seperti ada jarak antara perempuan dan laki-laki, tapi sebenanrnya jarak itu hampir tak terlihat ketika kami bekerja sama. Jarak hanya perkara syari’at yang membatasi pergaulan kami agar tak berlebihan.
            Baksos berjalan dengan lancar. Dan sudah barang tentu, kami harus pulang. Salah satu kegiatan pertama sudah berhasil diselesaikan. Itu berarti, 3 hari lagi kami berkumpul untuk penggalangan dana Palestina. Ya, meski lelah, tapi itu semua terbayar dengan ratusan senyum yang tertanam di wajah mereka, mereka yang untuk makan saja terlalu kesulitan karena himpitan masalah ekonomi. Kali ini kami pulang agak larut, tepatnya pukul 22.30. aku menunggu di pinggir jalan, berharap kak Ahmad segera datang. Dan rupanya terjadi, ia menghampiriku dengan senyum lebar hingga gigi gingsulnya terlihat menawan. Oh, dia menatapku dan menyerahkan kunci motornya padaku.
“Kamu pegang dulu ya, ambil helm dulu. Aku bawa motorku ke sana dulu. Kakak masih ada urusan bentar, kamu tunggu sini ya. Ada temen kakak yang belum dapat kendaraan. Maaf akan membuat kamu menunggu.”
            “Tak apa Kak.”
            Setengah jam kemudian, ia lewat, pas di depan mataku—membawa seorang perempuan yang duduk satu motor dengannya. Siapa dia, apakah itu teman kak Ahmad yang belum dapat kendaraan? Entahlah. Lalu, bagaimana denganku? Bagaimana caraku pulang? Seketika itu, Laili berteriak sangat nyaring.
            “Zahra! Zahra, kau bersama kak Rosyid saja, sepertinya kak Ahmad mengantar temannya.”
            “Iya Laili.” Sahutku penuh kekecewaan.
Benarkah? Mengapa kak Ahmad hanya menyuruhku untuk menunggu, ia tak mengatakan bila harus mengantar perempuan lain. Aku duduk tepat di belakang kak Rosyid. Tidak ada sama sekali, getar lirih yang kurasakan saat berboncengan dengan kak Ahmad. Aku hanya diam, mengikuti ke mana motor kak Rosyid melaju. Setelah 4 meter melaju, aku terpaku melihat kak Ahmad berhenti di samping sebuah mobil, tapi ia tak bersama perempuan tadi. Dan, kulihat perempuan yang tak kukenal itu di dalam mobil, berhimpitan dengan penumpang lainnya. Oh Tuhan, rupanya kak Ahmad hanya mengantarnya ke sebuah mobil. Kak Ahmad menghidupkan motor, dan ia menghampiri motor kak Rosyid. Sontak, kak Rosyid menghentikan laju motornya.
“Dik Zahra, motor kak Ahmad sudah free kamu sama kakak apa tetap sama kak Rosyid saja?”
“Hmm, terserah Kak, yang penting pulang. Sama kak Rosyid juga tidak apa-apa.” Aku menjawab dengan refleks bercampur salah tingkah.
“Baiklah. Hati-hati ya kalian berdua. Semoga selamat sampai tujuan.”
“Oke, siap.” Kak Rosyid menjawabnya dengan pendek kata, berlalu meninggalkan kak Ahmad.  Dan aku hanya diam, tak menjawab.
Bodoh. Apa yang kulakukan. Mengapa aku harus mengatakan hal semacam itu? Aku ingin sekali satu motor lagi dengan kak Ahmad, tapi mengapa kejujuran itu tertutup oleh bodohnya salah tingah? Kejujuran seakan hanya diam, terpendam dalam dasar hatiku. Ya, aku baru sadar. Terkadang, tidak ada kesempatan kedua untuk yang selalu diam dan memendam. Ada penyesalan yang berubi menghakimiku, tak henti-henti. Oh Tuhan, separah inikah cinta itu?
                                                            ***
Jumat, 25 Juli 2014
Aku berjalan ke sana ke mari. Mataku memandang penuh telisik. Mendapati seseorang yang kucari tak kutemui, aku lalu menyerah. Aku menemukan sebuah bangku tanpa penguni, lalu duduk di atasnya. Kepalaku terus merunduk, walau sengat mentari terasa menyiksa, aku tak peduli. Aku hanya memikirkan sosok itu. Sosok lelaki yang baru-baru ini mengisi hatiku.
“Zahra? Zahra sedang melamun?”
“Oh, Laili, ada apa?”
“Ada surat untukmu.” Lalili menempelkan secarik kertas tepat di atas tanganku.

Assalamu’alaikum. Dik Zahra, tadi pagi kakak berangkat. Kakak pergi jauh, kamu tahu ke mana? Ke sebuah negeri yang kini menderita. Ya, ke palestina. Kakak lolos seleksi relawan, mengalahkan ratusan dokter yang lain. Dan itu artinya, kakak harus berangkat, kakak tak mungkin menghidari pilihan yang sudah kakak pilih. Pergi ke sana adalah impian kakak dari dulu. Karena bukankah menjadi manusia harus bermanfaat? Kakak tak akan tahu bagaimana takdir kakak selanjutnya. Kakak juga tak menjamin bahwa kakak akan baik-baik saja. Jaga dirimu ya, tetaplah bersama dengan orang-orang baik, agar kebaikan itu menular. Sampai jumpa, entah kapan perjumpaan itu terjadi. Wassalam. 

“Zahra, mungkin kau terlalu dalam memikirkannya.” Celoteh Laili ketika melihat mataku yang penuh kaca.
Mungkin aku akan selalu memendam bayangmu, dalam rinduku.
















































Masa Depan



            Tidak ada yang mengetahui bagaimana masa depan itu. Ada sebuah takdir yang mengantarkan kita untuk bernafas di alam dunia. Alam yang sangat kejam menyiksa, dan alam yang sangat baik memberi pada manusia. Dan aku selalu yakin bahwa alam ini hanya perantara Tuhan untuk memilih jiwa mana yang pantas berada dalam kasih-Nya di kehidupan abadi.
            Aku sendiri seorang manusia. Aku percaya bahwa Tuhan selalu menetapkan takdir untuk masing-masing hamba. Jodoh, maut, dan rezeki. Tiga hal itulah yang sering disebut oleh guru agama di sekolahku. Dan ia juga selalu semangat ketika menjelaskan suatu ayat yang menyatakan bahwa beserta kesulitan ada kemudahan. Walaupun aku bukan termasuk siswi yang sangat pandai dalam urusan agama, namun aku percaya bahwa Tuhan selalu mempunyai rencana terbaik untuk hamba-Nya.
                                                                        ***
            Namanya Isa. Benar, seperti nama seorang nabi yang dianugerahi sebuah mahakarya Tuhan yang sangat fenomenal, yaitu Injil. Kata orang, nama adalah doa dan mungkin doa orang tuanya, sedikit banyak terkabul. Versiku, Isa adalah siswa terpandai di kelas. Aku melihat dari sudut pandang nilai akademisnya yang selalu paling menonjol dan kemampuannya di bidang lain. Ya, Isa juga teramat lihai menari. Dan percaya atau tidak, sering imajinasiku melayang menembus batas nalar. Aku begitu larut dan menghayati saat  imajinasi itu mulai bergerak. Mungkin, semua orang akan terbahak-bahak dalam tawanya saat mereka mengetahui bahwa aku yang bodoh ini, sangat ingin berada di posisi Isa. Andai sorak pujian acap kali mengiringi hidupku. Guru-guru seakan takluk, seperti halnya kawan-kawan yang selalu berkerumun, mengelilingi duniaku yang terlalu indah tuk dilewatkan. Juga, orang tua yang teramat sempurna dengan kasih sayang, pengertian, dan hartanya yang siap mendukung cita-citaku. Ya, bukankah imajinasi selalu tidak diterima oleh logika?
                                                                        ***
            “Remidi lagi!” Ucapku kesal.
Aku sering sekali seperti itu, mengeluhkan kegagalan pada hal-hal sederhana yang sebenarnya tak akan pernah menghindar dari hidupku.
            “Sudahlah Langit, ini bukan ulangan harian terakhir kok.” Ujarnya bijak.
“Tapi sudah berapa kali aku mendapat nilai di bawah standar? Kamu bahkan tak bisa menghitungnya kan?”
“Tuhan pasti punya rencana. Bukankah Ia selalu memberikan kelebihan atas kekurangan hamba-Nya?”
“Basi tauk.”
Aku meninggalkan Isa yang aku tahu, ia berusaha menghiburku untuk kesekian kalinya. Dan kali ini, aku sangat malas dengan hiburannya yang menurutku selalu lebih condong kepada nasihat-nasihat. Entah karena ia terlalu cerdas sehingga hiburan pun merupa motivasi.
“Hei, tunggu. Langit, Sonngolangit?” Isa berlari sambil mengikuti langkahku.
“Apa sih Sa?”
“Kamu kan udah janji tadi mau ke sanggar bareng. Masa gara-gara nilai biologi tadi kamu jadi marah sama aku.”
“Hmm enggak kok, maaf ya Sa, aku lagi sebel tadi.”
“Iyaa Songgolangit yang cantiiik, hehehe.”
Aku dan Isa berteman dengan sangat akrab. Entahlah, mungkin akan orang mengatakan bahwa kami bersahabat, tapi kami berdua sepakat dengan hal yang sama—sama-sama tak pernah menyinggung perihal status hubungan ini. entah sahabat, teman biasa, atau yang lainnya. Kami ini kawan sekelas, kami juga tergabung di sanggar tari yang sama, bahkan lebih spesifik, kami berada dalam satu grup tari andalan sekolah, grup reog Gajah Manggolo. Dan sudah dapat ditebak, itulah yang membuat kami selalu bersama.
“Langit pakai dong selendangnya. Mau mulai nih.”
“Iya iyaa. Kamu juga belum pakai tuh topeng.”
“Kamu dong yang makekin.”
“Ih, napa mesti aku coba, weeellk.”
Alunan gamelan dan sompret (terompet khas Ponorogo yang dipakai dalam pementasan reog) yang nyaring menggiring kami pada gerak tarian. Tari reog terdiri dari beberapa tokoh dengan ragam gerak yang berbeda. Ada jathil, penari perempuan dengan membawa jaranan--anyaman berbentuk kuda yang melambangkan pasukan berkuda. Ada juga warok, pasukan laki-laki berkumis dan berjenggot tebal dengan pakaian serba hitam, lalu ada klana sewandana, sang prabu yang sangat berwibawa, bujang ganong, prajurit lincah yang sangat atraktif, dan dadak merak yang fenomenal, mereka menari sambil mengenakan topeng besar yang sering disebut sebagai ikon tari reog itu sendiri. Kami sangat bersemangat. Acara Festival Reog Nasional tahun ini harus kami menangkan. Maklum, sebagai salah satu sekolah menengah atas favorit, eksistensi kami sangat dipertaruhkan.
Aku sangat antusias menunjukkan tarian terbaikku, begitu pula dengan teman yang lain. Pada satu waktu, mataku tertuju pada seseorang, ia menari dengan sangat sempurna menurutku. Isa. Kali ini ia begitu gagah, gerakannya juga luwes dan indah. Pantas saja, banyak gadis yang terpikat hatinya setelah melihatnya menari sedemikian gagah. Dan mengapa, ada satu getar aneh yang bergejolak di dalam dadaku.
“Capek Saa?” Kataku sambil mengusapkan tisu pada kening Isa.
“Makasih. Iyalah, kamu nggak capek emang? Sini, duduk.” Isa menarik tanganku hingga aku benar-benar terduduk di sampingnya.
“Capek juga, hehe. Eh Sa, ajarin aku ngerjakan PR dong. Takut dapet nilai jelek lagi nih.”
“Iyaa, kapan? Hari ini? Apa sih yang enggak buat kamu.”
“Ah kamu mah ada-ada aja. Iya, boleh deh. Aku ke rumahmu yaa?”
“Oke deh, siiaapp.”
                                                            ***
            “Assalamu’alaikuum.”
“Wa’alaikum salam. Eh, Langit, silakan masuk. Cari Isa ya? Bentar tante panggilin.” Sebuah tangan halus merangkul pundakku, membawaku masuk ke dalam istananya yang megah.
            “Iya Tante, makasih.”
            “Hai Langit, dateng ya rupanya, niat juga kamu belajar, hehehe”
            “Ah Isa mah ngejek. Tuh Tante, Isanya jahaat.”
“Isa ga boleh gitu, temennya pengen pinter kok diejek sih. Oh ya kalian belajar yang rajin yaa, tante buatkan minum yang enak .
Isa memang beruntung. Ia punya ibu yang mirip dengan malaikat. Tante Riski seorang dokter. Selain cantik, ia juga ibu yang sempurna untuk keluarganya. Ia mengurus setiap detail kebutuhan Isa dan ayahnya tanpa cacat. Tante juga seorang yang dermawan, ia seringkali membuka pengobatan gratis bagi warga di pedesaan yang kekurangan asupan medis. Karena kebaikannya itulah, Isa bercita-cita menjadi seorang dokter. Sangat pas, menurutku. Isa cerdas dan ia juga baik. Apa coba yang perlu diragukan dari kemampuan Isa. Ia pasti akan dengan mudah meraih apa yang ia impikan. Tidak sepertiku.
Aku memang terlahir dari rahim seorang seniman. Ibuku pesinden dan bapakku adalah penari reog. Kami tinggal di desa Sumoroto, desa yang sangat terkenal karena banyak seniman Ponorogo yang terlahir di sana. Namaku pun sangat kental dengan aroma seni. Songgolangit. Itu adalah nama terindah yang pernah kutemui. Nama itu pemberian kakek. Kakek yang seorang dalang mengerti betul istilah-istilah jawa kuno dan juga tokoh-tokoh dalam pewayangan ataupun sendra tari daerah. Kata kakek, songgo berarti penyangga, secara sederhana namaku dapat dimaknai sebagai penyangga langit. Ya, kakek sangat ingin cucu perempuan satu-satunya ini kelak dapat meraih cita-citanya setinggi langit dan dapat bermanfaat untuk orang lain. Songgolangit juga diambil dari nama seorang dewi yang diperebutkan oleh Klana Sewandana dan Singo Barong dalam cerita fiksi asal usul lahirnya Reog Ponorogo. Karena itu, tak heran jika tari reog seakan menjadi nyawa bagi batinku. Aku sangat ingin menjadi penari profesional, kuliah di Institut Seni atau setidaknya menjadi guru tari dengan memilih prodi pendidikan seni tari di salah satu universitas. Namun, bapak selalu melarangku. Ya, kehidupan seniman Ponorogo yang pas-pasan bahkan cenderung kesusahan membuatnya berpikir bahwa alangkah baiknya jika aku memilih jalan hidup yang berbeda—tidak seperti bapak.
Bapak sangat ingin aku menjadi orang sukses kelak. Dan saat ini, definisi sukses menurutnya adalah hanya dengan menjadi seorang dokter. Ia terinspirasi dari kisah dokter Rully, dokter spesialis kulit dan kelamin di kotaku. Selain sukses menjadi dokter di rumah sakit, ia juga berhasil membuka praktik yang hingga kini laris manis dengan antrian yang sangat panjang setiap hari, karena kliniknya juga melayani paket perawatan kecantikan yang sangat digandrungi remaja saat ini. Setiap kali keluar dari rumahnya yang super mewah, ia selalu menunggangi BMW hitam yang pasti mengkilat ketika tersorot sinar mentari. Siapa coba yang tidak ingin sepertinya? Dan yang lebih mengherankan, dokter Rully adalah ayah Isa. Ya Tuhan, mengapa semua seolah saling terkait?
“Hush, nglamun aja. Langiitt.” Isa berteriak sambil mencubit kedua pipiku.
“Isaaa, sakit tauk. Lepasin nggak?” Kutarik tangan Isa, tapi tarikan itu seakan percuma. Aku tak berdaya. Getar aneh itu kembali muncul. Getar itu lirih, namun pasti. Pasti membuat hatiku kalang kabut tak karuan.
“Pelit amat sih, Cuma nyubit pipi juga.” Isa melepaskan tangannya yang menyentuh kedua pipiku yang memerah. Aku bernapas lega. Namun mengapa getar itu tak kunjung reda?
“Kamu nglamun apa sih?” Ia menatapku. Kedua matanya menjelma belati—tajam, dan sepertinya sanggup mencabik-cabik batinku. Ia semakin mendekatkan matanya, mengernyitkan kening,dan gelagatnya seperti seseorang yang sangat penasaran. Hingga matanya benar-binar hanya enam centimeter di depan mataku.
“Jangan dekat dekaaat.” Refleks kedua telapak tanganku menutupi wajahku.
“Kamu napa sih, lebay banget, huuu.”
“Salah kamu juga sih, ngagetin.”
“Kok aku yang salah sih?”
“Iya, kamu.”
“Ya ya ya, wanita memang merasa selalu benar.”
“Biarin, weeellk.”
“Awas yaaa.” Isa mengejarku. Ya, kami berkejaran layaknya anak kecil yang bermain maling-malingan.
“Isaa, lepasin tanganku.”
“Nggak, sampai kamu cerita apa yg kamu lamunin tadi.”
“Nggak maauu Isaaa.”
“Ayolaah, kamu nglamunin aku kan?”
“Enggak, pede amat sih.” Isa tetap menarik tanganku—lebih kuat, hingga akhirnya tanpa sengaja, tubuhku terjatuh tepat di pelukannya.
“Maaf, maaf Langit, aku nggak sengaja.” Sontak Isa melepaskan tubuhku.
“Iya, nggak papa kok.”
Mengapa getar itu ada terus menerus, saat aku terlalu dekat dengan Isa? Apakah benar  getar itu mengisyaratkan adanya rasa yang tumbuh perlahan di dalam hati? Entahlah, aku hanya menahan rasa itu dengan diam. Karena rasa yang tak pantas hadir akan semakin menggoreskan luka dalam batin. Dan mungkin hanya diam yang bisa menutupi rasa itu darinya, atau bahkan lama-lama terpendam, dan sirna. Aku tak mungkin pantas menaruh rasa sedalam itu pada sosok Isa. Ia dan kehidupannya terlalu sempurna untuk bersanding denganku dan kehidupanku yang carut-marut dalam kekurangan.
                                                            ***
Sebulan ini, aku menjelma manusia galau yang sering murung dan melamun. Bukan, bukan hanya perihal getar aneh yang menghantuiku saat benakku memutar memori tentang Isa, namun lebih dari itu. Tentang masa depan. Aku tak pernah sebelumnya, mengkhawatirkan masa depan separah ini. Ya, bapak jatuh sakit. Hipertensinya kambuh, dan kali ini makin parah. Sebulan sudah, bapak tidak menerima tawaran menari di beberapa pementasan reog. Maklum, dalam kondisinya yang sakit, sebagai penari yang memerankan tokoh Singo Barong, membawa Dadak merak yang memiliki berat puluhan kilo dengan menggunakan gigi akan membuatnya semakin pusing. Belum lagi ibuk yang sepi tawaran menyinden. Ya, akhir-akhir ini pementasan wayang kulit memang sudah jarang diminati, sudah terkalahkan oleh pementasan dangdut dan juga konser-konser lagu pop. Dan benar, kondisi keuangan keluargaku sudah dipastikan hampir menyentuh batas krisis. Belum lagi, sebagai siswi kelas XII aku membutuhkan banyak biaya. Apalagi, hmm biaya kuliah. Pikiranku tentang kuliah seakan menjadi hantu yang mengganggu. Aku ingin mengubah nasib keluargaku, membanggakan bapak juga ibuk. Tapi, dengan keterbatasanku dan kemampuanku yang hanya seperti ini apakah aku bisa? Aku bisa saja mengajukan keringanan dan ikut program bidik misi yang diselenggarakan pemerintah bagi siswa kurang mampu. Tapi, nilai raporku tak cukup bersaing dalam ajang SNMPTN. Aku juga tak cukup pandai jika harus bersaing lewat jalur tulis. Dan menurutku, satu-satunya cara agar aku bisa menempuh pendidikan sarjana adalah dengan mendaftar di institut atau sekolah tinggi seni, tapi bukankah belajar di sana butuh biaya? Terlebih lagi, bapak selalu ingin anak perempuannya ini menjadi dokter—seperti cita-cita Isa. Kadang aku berpikir, mengapa aku tak sepandai Isa? Mengapa bapakku tak mendukung keinginanku seperti halnya ayah Isa? Ah, berandai-andai tak akan mengubah keadaan, ia hanya akan menambah daftar panjang kepedihan.
“Songgolangiitt, yeay, kita menang!”
“Apa sih Saa?”
“Kita juara satuuu.” Teriaknya sambil mengoyak-ngoyak pundakku.
“Juara apa?”
“Festival Reog Nasional. FRN! Kita akan makan besaarr.”
“Oh, menang ya rupanya. Syukurlah.”
“Kamu kok nggak semangat sih Lang, biasanya kamu tuh yang paling heboh kalo menang. Kamu mikirin apa sih?”
“Apa kamu lupa, besok pengumpulan angket SNMPTN. Aku bingung.”
“Iya, gak lupa sih. Bingung kenapa? Bukannya kamu pengen banget ambil seni tari ya?”
“Percuma Sa.”
“Percuma kenapa?”
“Aku gak punya biaya.”
“Tapi bukannya ada program bidik misi ya?”
“Nilaiku terlalu buruk untuk bersaing.”
“Kamu jangan pesimis lah, sayaangg. Senyum dong.”
“Hmm sayang?”
“Eh, enggak enggaak, kamu aja pantes dipanggil sayang-sayang. Aku Cuma bercanda tauk. Yeee.”
“Kenapa gak pantes?”
“Ya lihatlah, ngaca. Nilai kamu jelek gitu, mana gak pede lagi. Hahahaaa, tar kalo kamu jadi cewekku, malu lah aku ini. Hahaha.”
“Dasaarr, nyebelin.”
Aku tahu Isa hanya bercanda. Tapi kalimat Isa memang benar. Aku—yang belum tentu kuliah ini—mana pantas bersanding dengan Isa? Isa mungkin akan sangat mudah untuk sukses dalam dunianya. Dan, ia pasti sangat mudah mendapatkan seorang pendamping yang sama hebatnya. Terkadang aku menganggap—diriku ini terlalu banyak berkhayal.
                                                                        ***
            Isa selalu punya hal yang membuatku—dan bahkan semua orang bangga. Sebagai lulusan dengan nilai ijazah terbaik se-Kabupaten Ponorogo sudah cukup membuktikan bahwa Isa memang benar-benar tanpa tandingan—maksudku tanpa tandingan di hatiku. Lengkap sudah. Menurutku ia selalu sukses mendapatkan apa yang ia inginkan—dengan sangat mudah.
            Pendidikan Dokter Universitas Indonesia. Siapa yang tak bergidik mendengarnya. Di sekolahku, pendidikan dokter masih menjadi primadona yang diburu oleh banyak siswa. Dan, sudah menjadi mitos bahwa setiap tahun hanya ada satu tempat untuk pendidikan dokter di UI, hanya mereka yang menduduki juara satu paralel yang pantas mendapatkannya—termasuk Isa. Kali ini, aku memerhatikan Isa dari jauh saja, tak seperti biasanya. Aku hanya tak ingin tawanya yang lepas ternodai olehku. Ya, semenjak dulu aku sering mengecewakan. Apa lagi masalah sekolah. Peringkat ujung selalu menjadi tempat yang pas untukku—menurut semua guru. Dan bagaimana denganku? Aku tidak lolos SNMPTN. Kuliah bagiku hanya mimpi yang sulit untuk terwujud. Benar saja, ayahku semakin parah. Dan bahkan kini ia menderita stroke. Ibuk harus menghidupi kelima anaknya. Ya, sebagai anak sulung aku ikut merasakan kepedihan ibuk. Aku harus bekerja, membantu ibuk. Aku bekerja sebagai penari jathil yang mengisi berbagai pementasan. Dengan kondisi yang seperti ini, mana siap aku—bila Isa melihatku dan bertanya tentang keadaanku. Malu itu wajar, tapi bukan itu sebenarnya yang membuatku enggan bila Isa melihatku. Aku takut, rasa yang tak pantas ini kembali tumbuh, dan subur.
            Empat tahun sudah kami tak bertemu. Sebenarnya Isa sering menghubungiku, namun aku berusaha mengabaikannya. Saat ia libur kuliah, ia juga datang ke rumah—ingin menengokku. Tapi aku selalu menghindar dan berpura-pura sakit atau kalau tidak, aku minta tolong ibuk untuk berbohong. Mengapa aku selalu tidak siap bertemu Isa? Aku hanya ingin khayalan masa laluku terhapus. Dan harapanku untuk memiliki Isa sirna. Kami terpaut jarak yang jauh. Bukan hanya karena Isa kuliah di depok—jauh dari Ponorogo. Namun , kami terpaut jarak dalam banyak hal. Rezeki, nasib, juga masa depan. Ya, kuakui, keburukanku adalah aku selalu menghakimi masa depanku sendiri. Aku sering merasa bahwa tidak ada peluangku untuk berhasil dan membanggakan.
            “Songgolangit. Itu kamu kan?”
            Aku segera menoleh. Isa. Aku terlalu larut dalam lamunan hingga tak menyadari bahwa Isa kini berdiri di sampingku. Benar-benar di sampingku. Aku bergeges pergi dengan berlari, berharap Isa tak mengejarku atau kalau pun ia mengejar—semoga tak terkejar.
  “Mau kemana? Langit, kenapa harus lari?” Harapanku tak berujung nyata. Isa mengejarku dan ia berlari mendahuluiku. Ia mencengkram tanganku, menghentikan langkahku.
            “Lepasin Sa, aku ada urusan.”
            “Urusan apa? Bukannya pementasan sudah selesai?”
            “Kamu gak perlu tahu, lepasin sekarang.”
            “Enggak, kamu selalu menghindar. Ada apa sebenarnya denganmu ini Lang?”
            “Aku gak yakin kamu akan paham, udahlah Sa, lepasin.”
Tanganku memberontak, dan ia berhasil terlepas dari genggaman Isa. Tapi, Isa sungguh nekat kali ini. Ia tetap mengejarku hingga aku mendapatinya terjatuh, ada sebuah batu bear yang menyandung kakinya. Dan darah segar mengucur dari kakinya. Walau sebenarnya, bisa saja aku berlari lebih kencang hingg Isa tak mendapatiku lagi, tapi siapa yang tega melihat sosok yang selama ini bersemayam dalam hati tiba-tiba jatuh dan terluka.
“Isa, kakimu sakit? Berdarah Sa. Aku bawa kamu ke puskesmas ya?” Kataku panik.
“Nggak parah kok Lang, ga usah khawatir kaya gitu.”
Ia bahkan masih sempat tersenyum walau sambil menahan sakit. Akhirnya, aku membawa Isa ke puskesmas. Aku menghela nafas lega, saat kakinya berhasil diobati oleh perawat.
“Masih sakit Sa?”
“Dikit kok, hehe makanya kamu jangan ngajak lari-lari dong.”
“Isaaa, hmmm. Maaf yaa. Aku jadi buat kakimu sakit kaya gini.”
“Enggak, tadi kan aku jatuh sendiri, bukan karena kamu.”
“Hmm”
“Langit?”
“Apa”
“Kenapa sih kamu selalu menghindariku? Kita kan sudah lama berteman. Aku ada salah ya sama kamu?”
“Bukan gitu Saa, hmm.”
“Terus kenapa?”
            “Hmm.” Apa iya aku harus jujur sama Isa kali ini?
                                                                        ***
            “Adik, ayo jangan lari-lari teruuss, mamah capek nih.”
            “Iya iya maah. Mamah lihat deh pesawatnya bagus kan ngiieeng ngieeengg. Hehe.”
            “Iya, bagus, Nak. Kamu kalo udah besar pengen jadi pilot ya?”
            “Iya maaah, adik pengen jadi pilot biar bisa lihat matahari dari deket.”
            “Ya nggak bisa, matahari kan panas, adik gak bisa deket-deket matahari.”
            “Hmm, masa sih Mah?”
            “Hehe, iyaaa.”
            Senyumku mengembang, senang rasanya melihat anakku begitu bahagia. Aku bersyukur karena anakku punya kebahagian yang lebih, ya bahkan jauh lebih bahagia bila dibanding dengan masa kecilku. Saat ini, aku bisa membelikannya mainan apa pun yang ia minta. Oh Tuhan, betapa bahagianya aku kini. Ternyata benar kata guru agamaku dulu, Tuhan adalah seadil-adilnya zat di alam semesta. Ia jauh lebih mengerti, sekali pun apa yang terpendam dalam hatiku. Aku semakin yakin bila rencana Tuhan jauh lebih indah daripada rencana manusia.
          “Mah, lagi apa ini? Waah adik lagi makan ya?” Ia menggendong anakku dengan sepenuh rasa.
          “Papah pulaangg.” Seperti biasa anakku selalu riang pabila ayahnya pulang dari tempatnya bekerja.
          “Wah, iya, Papah pulang. Papah mau disuapin juga?”
          “Hehe, enggak ah, malu nih sama adik. Nanti aja mamah siapin spesial buat papah ya.”
            “Iya sayaangg.”
            Iya, aku sudah menikah dan punya satu orang anak. Sudah enam tahun usia pernikahan kami, dan semua terasa sangat indah. Dan, pernikahan ini membuat hidupku banyak berubah. Suamiku sangat baik. Ia selalu ada waktu untuk keluarga di sela-sela kesibukannya. Kini, aku juga telah mempunyai sanggar tari sendiri. Oh ya, sanggar ini tidak dibiayai oleh suamiku, tapi semua memang hasil dari jerih payahku menekuni dunia seni, terutama tari reog. Aku sekarang tidak tinggal di Ponorogo, aku tinggal di Bekasi, mengikuti suami. Bapak sudah lama meninggal, dan sekarang ibuk kubawa serta ke Bekasi, usianya yang semakin senja juga mengharuskan ia untuk tidak menyinden lagi. Dan sekarang, ibuk punya kesibukan baru—membantuku mengurus sanggar.
            Banyak yang bertanya, bagaimana hidupku bisa seberuntung ini. Sebenarnya, aku tidak memaknainya sebagai keberuntungan. Kegagalanku di masa lalu telah mengajariku banyak hal, terutama belajar untuk menata diri untuk menjadi yang terbaik bagi orang-orang yang aku cintai, termasuk suamiku, Isa. Ya, ataukah ini memang takdir? Entahlah. Isa menjadi peraduan cintaku yang terakhir. Walau harus susah payah memendamnya, dulu. Dan sebenarnya, aku termasuk seseorang yang dianugerahi anugerah. Ya, aku—salah satu manusia yang punya kesempatan kedua. Kesempatan untuk menyatakan, mengutarakan apa yang ada di dalam hatiku. Karena, terkadang tidak ada kesempatan kedua untuk yang selalu diam dan memendam. Dan aku mensyukuri itu. Kejadian saat Isa terjatuh karena mengejarku silam adalah jembatan untukku mengatakan sesuatu, bahwa aku benar-benar mencintai Isa. Dan siapa yang menyangka, Isa pun memendam perasaan yang sama. Bukankah tidak ada yang mengetahui bagaimana masa depan itu?