Translate

Kamis, 13 Juni 2013

Mengabadikan Bianglala



Bianglala menghunuskan keyakinan pada kepak tangan-tangan merak
menguraikan pekat kemelut realita dengan molaritas yang pas
karena tak selamanya malam sehitam kopi

pada penghujung senja, setahun yang lalu
sayap pincangku melontarkan kalimat retorisme
Bagaimana jika dunia menerkamku, membungkus mimpi-mimpiku dalam karung beras, menuangkan untaian senyum dalam mangkuk dhawet Jabung? 

Kau suka bianglala?

Bagiku, Allah melukisnya
dengan kuas berdimensi Esa
menyatu dalam bait-bait warna cinta
semburkan keindahan yang menembus batas logika

Kau tahu?
ada beberapa merak yang mengepakkan asa pada bias rona merah
memerah sepercik kemurnian pada ramah senyum sang hujan

Bila mata boleh berucap harap
ingin tiap nafsi mengerti ayunan mimpi yang bertengger pada busurnya
tali-talinya menjerat erat
mata yang terjaga oleh fatamorgana

Bianglala
aku merindukan senandung itu membelai tatapanku
saat mentari senja berseri, menyemai harmoni yang lalu bermekar di hati
saat kita berduaan dalam deru nafas cinta bersetubuh dengan tiap senyawa atmosfer
di atas pelataran ranah kompetisi
dalam rimbun sejuk ruangan kelas di samping hijau pepohonan

Dua jam saja
kita bermadu dalam kisah klasik menantang
bak pecut Sewandana yang memijarkan api di tengah gelanggang perang

Kau tak suka perang?
Bianglala selalu memarafrasekan sajak-sajak kehidupan dengan cerita peperangan
Bukan hanya
soal keelokan cinta Songgolangit yang dipertaruhkan dalam puasa dan tapa
pada gejolak di palagan
soal persaksian darah yang gambarkan dengan kemelut Bharatayudha
pada gejolak di palagan
namun sejatinya
bianglala menyerukan makna pada keindahannya
karena hidup adalah tentang peperangan
melawan singo barong yang menggelayut dalam nadi
melawan bala kurawa yang menghujam dalam nurani

Bianglala memudar
meninggalkan kemandirian pada celoteh desah muramku
tapi warnanya kian berpendar, menyesakkan memori benakku

Kalaulah dunia sempat menikam batang keteguhan yang menyangga punggungmu,
yakinlah tiada gulita mampu mencemari malam, jika rembulan ada kau genggam
hidup adalah samudera 
di sanalah kau lahirkan cinta dari rahim hati
mandikan ikan-ikan mimpi dengan banyaknya tetes air nan tak berhingga
hiduplah kecambuk perang yang berdesir halus dalam nurani
tentang hina dan nista, hilangkan!
karena kemenangan dibayar
dengan luka
dengan duka
dengan air mata
kemenangan akan nafsu yang menyetubuhi nurani

ketika manipulasi senja menyapa
itu hanya satu dari rangkaian detik waktu dalam metamorosa jati diri
esoklah mimpi-mimpi itu enyah dari belenggu
dan, merak mengepak, menghempas bulir-bulir tawa
karena pahit empedu yang menjerat lidah hati, ama-lama sirna juga

10 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar