Translate

Sabtu, 26 Juli 2014

Tentang Ikhlas



Tuhan
Ku cari senoktah arti dalam jerami
Ku cari seperca udara dalam hampa
Ku cari sebongkah batuan dalam awan
Ku cari setetes embun dalam gurun
Ku cari secebis asa dalam lara
Ku cari sebenih ikhsan dalam iman
Tentang ikhlas


Sukma yang termanipulasi sayatan-sayatan hasrat berapi
Karena lantunan senandung malam yang tlah lama terhenti
Aku mendusta pada malam-malam sakti
Aku mereka atas ayat-ayat bertabur janji

Dan apakah aku mendua darimu, wahai Kekasihku ?

Tergelincirku dalam faham yang keliru
Keraguan yang buktikan kesalahan
Ku temui diri terlampau basi
Terbias oleh lisan-lisan kebatilan

Dan apakah aku meragu darimu,wahai Kekasihku?

Surah-surah yang menyaksi
Tajamkan keberadaan arti
Dzat yang memula dan mengakhiri
Kau peluk jiwa dalam balutan ragawi
Kau jaga diri dari sesatnya mimpi


Dan masihkah ada kesempatan untukku, wahai Kekasihku ?

Bisa yang ku anggap jamu
Terlanjur larut dalam darahku
Sistemku porak-poranda
Dan iblis dengan mudah menelusup jauh mengunci nurani jiwa
Lama ku melayang bersama mimpi buta
Dan ketika ku terjaga
Ku tengok diri sarat nista

Rentetan evaluasi sedang berproses dalam diri ini. Tapi mengapa sukar ku jumpai makna akan sebuah keikhlasan ? Bukan sekedar makna, bahkan pengimplementasiannyapun rumit kurasa. Ya, kucangkul lebih dalam, lebih dalam lagi. Tak berarti ini semua berhasil. Sempat tersirat dalam benakku, aku lelah. Aku bimbang dengan apa yang ku cari, entahlah. Ku coba untuk menunggu dan menunggu dalam sujud palsu. Menunggu dalam tasbih alakadarnya.

Ya, Kau tidak buta. Usahaku tak bermakna. Karena aku tahu yang Kau mau, ikhtiar. Start baru, segera ku mulai. Penasaranku melambung tinggi, aku ingin mengungkap suatu rahasia yang sebenarnya sama sekali bukan rahasia. Hanya saja, tak banyak yang tahu. Karena ikhlas itu tak sesederhana yang ku kira. Tapi aku tetap belajar tentang hal itu. Ya, hingga kini langkah-langkahku belum usai dan mungkin takkan usai.


Ikhlas,sesuatu yang tidak bisa direkayasa, karena hati selalu mengendalikan ekspresi ragawi. Ikhlas menuntut kesyukuran dan kerelaan. Ikhlas, selalu yakin bahwa semua bukan milik manusia, dan pasti kembali padaNya. Ikhlas itu hidup pada jiwa-jiwa yang kehilangan, subur pada jiwa-jiwa yang bertaqwa. Ikhlas, bisa membuat siapa saja tersenyum. Ikhlas itu mulia :) Mungkin hanya itu yang ku tahu.

Hikayat Sang Alim



Tanpa lensa 
Bulan digoreng 
Layakknya telur mata sapi 
Hening memaksaku tuk melahap 
tanpa ampun 

Maka berkatalah sang pecundang, "Daku malas hari ini, esok dan selanjutnya kian mengeluh saja. Mengalah kiranya pada takdir yang menebas pangkal keberanianku." 

"Andaikata boleh daku berbincang dengan pekik suara malam, izinkan kelopak mata terpejam, semenit atau semalam. Ya, kalau-kalau bala nyamuk sadar akan kantuk yang menggumpal di ubun-ubun terbakar ini, pastilah daku menundukkan rasa terima kasih." 

"Daku segan hati berkata-kata tentang dunia fana yang kau kejar hingga terpelanting batang lehermu. Namun jika kau tetap sama gilanya dengan dini hari esok maka perkenankaanlah kiranya alam mengutukimu atau sekedar membujuk Tuhan tuk membenci usahamu." 

"Hikayatmu tiada kau kira-kira benar! Atau sudah layaknya ucapan remehmu dikebumikan. Sudahlah, hanya saja, tunjukanlah bintang yang pernah kau sebutkan itu." 

"Carilah duniamu sendiri, sesuka pinggulmu bergoyang. Namun bintang berpendar dalam lirih senandung malam. Tuhan akan merahmati sujud-sujud hambaNya." 

-Dan janganlah engkau berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah hanyalah orang-orang kafir-

Rindu yang Terbelenggu di Sela Waktu

Aku merindukanmu 

Saat bertubi-tubi derap langkah memacu kobaran naluri tuk menerjang bersama kobaran matahari 

Saat sebanyak-banyak pusaka berlumur cairan anyir, meredah kekalutan yang senantiasa perpendar di balik suara nadi 

Saat semua harga diri dibeli hingga ganasnya nalar mengoyak, berontak, dan nyawa jadi tawanan yang tiada mungkin dikembalikan 

Saat semua teriakan adalah sama, kami ingin merdeka! 


Aku tetap merindukanmu 

Meski pribumi tlah terseret-seret dijalanan, dalam perantauan tak berhingga, sebab benalu yang menggerogoti jati diri, tanpa ampun-ampun 

Meski tawa demi tawa kekuasaan melambai-lambai kemudian bertepuk riang di atas onggokan tulang belulang yang bercampur dengan tanah kerelaan 

Meski waktu akan terus beriringan denganmu, membesarkanmu, mengukuhkan engsel rangka yang entahlah, semoga tiap hembus nafas mengharmoni, karena enam puluh tujuh tahun silam, kau adalah satu bersamaku 

Dan biarkan 
Rinduku membumbung tinggi terbawa bayu, berjatuhan terlibas hujan, mengalir mencemari tiap hilir anak-anak sungai, lalu kau punguti serpih-serpih ini mengendap pada delta-delta kesempatan, kemudian terbangkanlah, karena pada saatnya rinduku bermetamorfosa, dengan sayap-sayap yang kan terus mengepak, menabur benih yang tumbuh menghujam dada tiap-tiap nafsi di Pertiwi 

Kegamaan

Ya Allah aku harus bagaimana? 
Ketika senja menghempasku ke dalam gulita dengan sayat-sayat kerapuhan 
Terlalu tajam menghujam hati yang kian berpaling dari-Mu 
Kapan lagi sesak nafas ini kupertanggungjawabkan? 
Jika hidup tiada Kau perkenankan tuk bermuram durja selain untuk-Mu 
Namun Rabbku 
Bukalah batinku, karena belenggu itu menghancurkan pelan-pelan 

Ya Allah aku harus bagaimana? 
Ketika asa memenggal gairahku dengan belati kegamangan 
Hingga daun-daun keteguhan meranggas seiring kekalutan detak jantungku 
Kapan lagi kutemukan secerca benderang dalam pencarian yang tak kunjung usai? 
Jika manusia tidak Kau izinkan untuk terbang, biarkanlah langkah ini berlari sekencang rahmat-Mu Ya Rahman 








Menangislah Lima Menit Saja

Bila ingin menangis, menangislah
Lima menit saja
Kau tahu kan, pejuang yang baik akan selalu baik-baik saja?

Aku tahu
Gelap tanpa rembulan dan pekik lolongan raja malam sanggup membawamu histeris
dalam birunya air mata
Mungkin kau hanya khawatir, bila Tuhan tiada memberi kesempatan untuk tersenyum
Namun, bukankah senyum seharusnya sanggup kau ukir sendiri pada hati yang mulai mengeras?
Meski lebih mudah mengukir senyum pada hati yang lunak

Kali ini aku tak mau menghiburmu, atau sekedar menghapus air mata
yang tergores di pipimu
Aku juga tak akan memberimu lagi, pundakku yang bisu tuk kausandari
Karena ia hanya kan memupuk luka yang merekah, menyesaki dada
Setiap insan tiada mungkin inginkan itu
Terjatuh atau dijatuhkan
Tapi adakah jaminan? Untuk terhindar?
Tuhan hanya menjamin, beserta kesulitan ada kemudahan

Kau tinggal pilih
Teruslah terbelenggu oleh tangis hingga senja
Atau enyah, dan berlari sebelum kehilangan matahari

Kalbu isyaratkan rindu pada setiap jiwa yang haus akan pelukan
Hanya yang teguh batinnya
Ia mampu merengkuh kalam-Nya dengan rengkuhan yang penuh makna
Jikalau masih ada Tuhan dalam hati

Bila ingin menangis, menangislah
Lima menit saja
Kau tahu kan, pejuang yang baik akan selalu baik-baik saja?



Untuk semua yang pernah menangisi kegagalan
Ponorogo, 17 Juli 2014



Diam

Hanya puisi yang menemani, ketika hening merambah naluri- 

Diam 
Hanya diam yang bisa . . . 


Gemuruh, kiranya seperti akar nan bercabang tudungnya, kemudian berpendar menyerupa lampu led berdominasi warna keruh 

Jikalau awan-awan saling memukul, barangkali benturannya mengundang gemuruh tuk melerai, atau bahkan marah teriaknya, menakut-runtut paksanya awan berdamai 


Sedang imaji merobek logika, membiarkan mata berdioptri empat terguyur kabut ilusi yang berputar bak bianglala, kemudian, perlahan stagnasi 

Namun, akankah biru terus mendesak angan-angan membumbung ke langit diantar para merpati? 

Biru akan jadi kelabu jika angan tetap berkelahi dengan hati, bermimpi kalau-kalau pelangi bisa disimpan di almari, yang sesekali menghibur tetes-tetes peluh lamunan 


Lantas, teruskah mata terjaga demi menunggu pelangi yang tersenyum pada sang malam? 

Indah, seindah gravitasi mengizinkan kesetiaan mengalir bersama bulir-bulir penantian 

Meski saja, senandung hati menyibak tabir fatamorgana, menjadi celah di antara barisan batuan, dan membelai mataku penuh harap, "Jagalah apa yang sekiranya harus kau jaga, karena sesal akan tiba seketika, saat apa yang tak kau jaga benar-benar sirna." 


"Bukankah penantian adalah ujian kesetiaan?" 
Diam, lisan tanpa jawaban 

Jika hati tlah mengerti, tak usahlah memaksa lisan tuk sekedar memberi arti dengan kata, "Iya" atau "Ya" 


Seringkali sepi membumbui kalbu dengan garam dengan cuka, dengan asam dengan gula

Namun hanya diam yang bisa . . . 
memberi rasa dalam kerinduan 


Allah adalah penafsir yang paling benar 
26-12-12




Siluet Masa

Masa lalu


Aku ingin mentari bersorak menghujani merak yang sayapnya mulai mengepak
mengantarkan biduk ini menggapai sang bianglala
dalam lirih belai nafas, dalam hening aroma kelas
                                                   di ujung Oktober

Kaca

Aku berkaca pada genangan hujan yang memanja di sudut jalanan. Kulihat mata angkuh yang tiada hendak mengalah pada nurani. Aku takut melihat mata itu, mata yang menajamkan kerut pada dahi, mata yang kejam menebas batang leher lawan pandangnya dan aku semakin ketakutan ketika mata itu meneteskan satu demi satu mata airnya seolah ingin berucap kata. Kami hanya saling memandang, ia tak berkedip, begitu pula aku. Ia tak beranjak sedikit pun, aku juga begitu. Lantas kurasakan deru jiwanya menyeruak, menyesakkan kemelut batinku yang berperang dengan ribuan petanyaan.

"Siapa kau?" Sepotong kata terlontar, mewakili rasa penasaran yang gejolaknya tak tertahan.
"Aku?"
"Iya, kau. Siapa kau?"
"Mengapa kau ingin tahu siapa aku?"
"Aku hanya penasaran."
"Tak perlu."
"Tapi aku benar ingin tahu siapa dirimu."
"Kau sudah tahu."
"Benarkan? Siapa kau ini sebenarnya?"
"Kubilang, kau sudah tahu."
"Apa susahnya menjawab pertanyaan sederhana dariku? Hah?" kataku geram.
"Lalu apa susahnya bersyukur?" balasnya lebih geram. Pertanyaan itu terlalu jauh dari pikiranku, seperti jauhnya pungguk dengan rembulan.
"Mengapa kau tanyakan itu?"
. . .

Hening, pertanyaanku tak terbalas, ia hanya memantul pada dinding-dinding jalanan lalu kembali mengenaiku, seperti boomerang. Ya, mengapa bayangan itu bertanya tentang sesuatu yang tak sedikit pun hadir dalam nafasku? Tuhan, benarkah? Benarkah aku terlalu gagal menjadi seorang hamba hingga Engkau mendobrak benteng batinku dengan gejolak seperti ini?

"Aku adalah dirimu. Ketika malam tersenyum menyapa, kau hanya merupa seonggok guling yang terkapar di atas kasur, tanpa mengetuk pintu-pintu Tuhan. Dan tatkala siang menjelang, tiada kata selain keluh yang keluar dari sepasang bibirmu."


11-12-13
Syukur itu sederhana, saat diri tak suka mengeluh dan selalu berusaha melakukan yang terbaik


Nafas Hati

Aku kembali
temui sesak nafas membatasi binal sang imaji
Kau tau?
Apa lagi jadinya
bila merah membohongi putih dan putih merupa hitam
'sesak nafas'

Sepertinya jemari mimpiku hanya kaku teranyam 
bersama mata jiwa yang mematung tanpa kedipan
Seucap makna, angin malam isyaratkan dalamnya kerinduan
pada pena dan kata . . .

Oktober membawa titik air mata hujan menghujani sawah ladang hatiku
disaat kurasakan kerontang, ya hanya kerontang tanpa hujah, benarkah?

Biarkan hatiku kembali bernafas
dan sesak lagi-lagi kembali mengancam
menerkam . . .


Kalau aku memang tak berjodoh dengan sastra
tak lagi mencumbu wangi aroma hasrat dalam peluknya,
atau sekedar memandang gagah lekuk tubuhnya

atau biarkan bayangnya kian menjauh terbunuh siluet 
dan tinggallah aku, membelai jiwa nan layu tanpa ada hati yang sanggup bernafas . . .

Kali ini kuleburkan tiap senandung asma Tuhan dalam sajak-sajak hati
lalu kucari lagi noktah nadi yang terselip padanya
Tidak
hati tak sanggup berpaling menyelingkuhi 
namun mengapa
keraguan selalu menghakimi?
padahal pena dan kata tak pernah bernafsu memutus nafas dalam hatiku

23-10-13
FNP