Translate

Jumat, 09 Desember 2011

Ulangan Harian

Aku ungkap perasaan ini dengan sangat luar biasa 
Ini bukan drama 
Ini bukan telenovela 

Dengan seret-seret langkah sarat keraguan 
Ku arungi bara imaji nan meronta-ronta pada awan 
Awan yang sepantasnya bukan berkelabukan hujan 
Namun imaji menjadi-jadi mirip api, membakar benderangnya keyakinan 

Seminggu sudah 
Rakitku terombang-ambing di tengah ganasnya bahtera 
Dan gelombang bayu sempat menjamah pelayaran sang asa 
"Seperti inikah ketegasan mayapada ?" 
Kataku dalam ketersendatan hela nafas bersahaja 

Atom-atom dalam sistemku mendadak aneh, seperti kehilangan nukleusnya 
Kemudian terbius oleh bias cahaya yang meraba-raba 
Hingga pelangi menjelma pada gulita 

Sinar gamma jadi kebal akan kesaktian atmosfer 
Pula hujan siang petang melarutkan sulfur pada batuan yang belum sempurna bermetamorfosa 
Juga lempeng-lempeng bergoyang seakan menyindir kerak dunia 

"Ku akui kelarutanku dalam kemabukan." 
Ya, begitu pengapnya ruangan itu 
Diserbu nue ardente berujud asap-asap biru 

"Jika tiada nalar yang bisa mendiskripsikan ketersayatan, 
Ingatlah bahwa kamu masih punya Allah." 
"Suara siapa itu, siapa kau ?" 
Linglung dan bingung mengaduk kepenasaran 
"Aku nurani, dan kau mengenalku." 


9 Desember 2011

Sabtu, 22 Oktober 2011

Random: Hidup Itu Pilihan

Sebenarnya tidak ada inspirasi untuk bermajas-majasan atau sekedar merangkai diksi jadi kalimat-kalimat seperti biasa, abstrak. Ini kali dimana mals merasuki sekujur ragaku, dan itulah yang memungkinkan tiada hal lain yang hendak kulakukan, selain menulis.

Tapi aku bingung menentukan tema. Kucari dan kucari, oh ya dapat. Ini sebagian statusku yang saling berkesinambungan sejak pertengahan September. 

Bermula dari  . . . . .
Abstrak
Sepekan sudah. Debar yang kutunggu tak jua tiba menyapa. Bahkan dihiraukannya daku tersesat dalam rawa, hendak dimakan buaya. Jika saja raga yang satu itu tahu, daku tak cukup amunisi tuk lawan para buas apalagi berbisa. Lantas demi apa dulu sekonyong-konyong dihampirinya daku yang masih setengah tertidur ? Benar adanya, semua sama, berdiri pada satu hakekat yang merugikan.

Seperti benda 29 inci yang kutatap bertubi-tubi, warna-warna itu kemudian meluber jadi fatamorgana, aneh. Entahlah. Ku coba menoleh pada semburan cahaya putih kekuningan, reflekku sekejab beraksi, silau. Bias pelangi, secara picisan baluti sepasang bola mata ini, meski yang diliriknya cuma senoktah pijaran redup sekalipun tak tercari.

Mentari melepas hampir semua energinya siang ini. Menghasut tatapanku dengan fatamorgana yang terbias bak sesosok pelangi. Jalanan masih legam menyemburkan aroma mentari. Lagi-lagi, panas membiaskan warna nila, serupa dengan apa yang ku dapati di sudut-sudut dimensi dalam tikungan curam di penghujung bulan-bulan kemarin. Sekilas, warna itu menggoyahkan teguh yang kemudian ku pegangi, tidak terlalu erat, juga tidak menjamin suatu kesanggupan.

Heh, ingin ku banting stir dan fokus pada setapak baru yang konon lebih menantang. Sekejab, ku rasakan laju mesin yang lepas kendali, takutnya minta ampun. Tapi janggalnya, mengapa hati ini membesar luas seperti tanah lapang ? Mampus ! Benda mampus itu lagi, tertawa ? Ketika ku temui jalan berkelok sesaat setelah elektron melepaskan diri dari senyawa yang ku ramu.

Ketika tangan kananku memutar batang stir pelengkap keanggunan mesin yang ku tunggangi, serasa raga kelam ini melayang dihantarkan beliung, dan tumpukan beban di ubun-ubunku, sekejab sirna. Tapi ketika suatu benda memaksaku menghentikan laju mesinku,sesaat jantung ini bergetar tanpa irama dan sesegera merambat di sekujur tubuhku. Dengan sumbangnya konsentrasi, ku hela nafas sangat panjang.

Bahkan sempat ku naiki kuda hijau. Berkeliling di suatu dimensi yang mungkin tak asing buat inderaku. Entahlah. Ada suatu sudut dimana aku mencoba mengingat semua yang mungkin tlah masuk daftar sampah di memoriku. Tapi ketika warna itu mulai agak jelas, ah ku tutup diari usang yang mungkin, menjadi tumpukan terbawah di dalam nalarku. Kuhela nafas panjang, sangat panjang. Dan benda itu, bergetar lagi, lalu . . . . .

Apa yang membuat suatu benda bergetar karena getaran suatu benda yang lain ? Tidak selain terikat dalam rumus resonansi. Dan apa pula yang terjadi jika getaran itu menjadi-jadi, hah ? Mungkin saja kedua benda tersebut tetap berfrekwensi sama, atau sebaliknya.

AKU BERPALING
Dari rekayasa yang sempat mengacaukan fokusku. Dan ditengah interval singkat itu, secara mendadak oh tidak. Pelangi, ku sebut lagi pelangi untuk menamakannya. Parahnya, bertubi-tubi tak kusangka. Dan tetesa air telah melubangi membran dari batuan kapur yang menyelimuti suatuorgan yang orang-orang menyebutnya hati.

Hidup itu PILIHAN. Seperti aku yang memilih menikmati situasi dengan bersandar pada karpet yang menurutku tidak terlalu bersih sambil memandangi gambar presiden di atas papan usang putih nan mengkilap, dan lagi-lagi bias pelangi baluti sepasang mataku.

Sepasang indera yang dapat menangkap cahaya itupun seketika terperanga, dan dengan tergesa-gesa jadi fokus pada suatu benda, ia bertuliskan "seribu rupiah" sebagai penunjuk nominalnya. Ku pandangi, terus-menerus hingga pedih, tapi tak jua ku temui inspirasi yang ku cari. Lagi-lagi, bias pelangi baluti penglihatanku.

Terfokusku pada suatu noktah terjauh dari penglihatan, tanpa kedipan. Kemudian ku coba rasakan ganas ultaviolet yang menelusup hebat dalam atmosfer. Dan pada perempat ketermanguan, ku temui hamparan ilalang yang bergetar, mengemakan sajak-sajak melodi di antara tebing yang ku kira curam, tapi entah dimana. "Bukankah resonansi itu proses bergetarnya suatu benda dikarenakan ada benda lain yang bergetar dengan frekwensi yang sama ?" Dan lagi-lagi dejavu, bias pelangi baluti indera penangkap cahayaku.

Pilihan? Konyol.

Selasa, 11 Oktober 2011

Suratan Budaya

Temukanlah suatu dimensi yang berjati diri
Terbujur beberapa derajat di equator yang membara api
Adalah simpanan dari sang mayapada, berjuta misteri
Tanyakan pada samudera, jika kau ragu akan kalimat ini

Tampak
Benderangnya bintang dengan pijaran warna keemasan yang menjabarkan keagungan asa,
Biasan cahaya yang jadi penghias langit pada sekon-sekon fortuna,
Aroma mawar yang tersebar menyegarkan hela nafas siapa saja,
Serta kerikil-kerikil nirwana bertabur sejumlah pasir di lingkup-lingkup sakral bak mustika
Namun waktu membawanya pada satu kondisi yang berbeda

“Amukan petir masih kudapati getarannya.
Sentuhan elektromagnetik itu berhasrat pada kumparan yang sejak dahulu mempesona.
Konyol, laksana lakon perangsang tawa.
Ya, tentang dinasti yang longsor karena petaka.
Entah berwujud apa.”

Belati masa menggelora
Jelmaan bayu mengerosi sendi-sendi daya pikat sewujud region, sebut saja tiruan surga
Dan saat jarum jam berputar layaknya baling-baling pesawat, yang nampak adalah interpretasi rumit orang-orang pasca aksara
Tentang nusa yang kehilangan beberapa inderanya
Itulah yang menggugah para pendahulu menitis pada raga-raga muda untuk tanda bahaya
Akan suratan budaya bangsa yang semoga tak purna

“Jangan dustai kodrat alami.
Yang hendaknya kau pikul dengan keanggunan pundak suci.
Seperti kesetiaan sang dewi malam pada pertiwi.”



Ponorogo, 11 Oktober 2011

Jumat, 09 September 2011

Ibu

Tiada uluran jemari semurni dari raga yang dipercaya Tuhan untuk memproses langkahku 
Karena kasih itu 
Tak kujumpai selain bersumber dari nurani suatu makhluk yang disebut ibu 

Ketika hati tak mampu pejamkan bara amarah 
Ketika bisa bersenyawa dalam sistem ragawi 
Ketika bayu terlalu pekat menerbangkan gelisah 
Ketika pijakanku melapuk oleh beban duniawi 

Aku terbang di luar eksosfer dalam hampa 
Ya, diri terlampau melupa 
Akan Dzat yang kau kenalkan sedari kulitku baru bisa diraba 

Hanya bagimulah semesta tak lagi berarti jika problema menyesatkanku 
Hanya engkau yang berteman dengan rintihan di balik senyum sayu 
Hanya senandungmu tak pernah sunyi berhasrat menyelaraskan desah nafasku 

Ibu, pernah tertawaku menggema di antara tebing pencarian jati diri 
Aku terlalu sakti untuk berpaling dari lentera yang kau titipkan pada mentari 

Tapi malam itu 
Tetesan tirta dari pelupuk tatapanmu 
Kian buat denyut nadiku histeris tentang langkah yang pantas bersetempel keliru 

Jumat, 9 September 2011 

Kamis, 30 Juni 2011

Evaluasi Diri

JIKA SISWI SMA BOLEH BICARA

Ku lukis tulisan abstrak ini
Kala kecewa menggerogoti nalarku
Kala kakiku berpijak pada duri-duri
Kala rasionalku memudar dalam sekejab

Tidak Kawan
Dangkalnya pikirku menyesatkan
Tersadarku bahwa, jasad ini belum mengerti

Selama ini kita menghirup oksigen yamg larut dalam atmosfer. Dan tanpa kita ketahui, berapa lama lagi kita akan tetap melakukan hal itu. Inilah kehidupan yang sajikan keheterogenan pilihan. Sadar atau tidak, takdir tlah memilih kita untuk menjadi salah satu makhluk yang menghuni bentangan pulau-pulau di atas khatulistiwa. Dan Tuhan menciptakan kita dalam keberagaman.


Waktu berlari dengan kekuatan evolusi dan revolusinya tlah berhasil merubah peradaban. Ya, kita memang bernafas disaat semua tlah tertata. Tertata dalam suatu sistem yang bergerak maju dengan tanpa berpaling dari jati dirinya yang telah digali oleh para sesepuh kita. Ya, kita adalah tonggak dari harapan mereka. Namun harapan tak selamanya sejalan dengan keadaan.


Kita, generasi ingusan dipaksa larut dalam suatu keadaan yang lahir dari hasil peleburan diantara pengaruh-pengaruh berskala global dan dampaknya tlah bersenyawa dalam hidup yang kita lalui. kita harus menjaga kemurnian jati diri ditengah gempuran globalisasi dan modernisasi yang dapat memporak-porandakan keseimbangan semesta.


Bertubi-tubi bangsa ini didera problema.

Merasakan batin tersayati oleh hantaman malapetaka yang sebenarnya tumbuh karena tangan-tangan biadab yang hidup di tanah yang dibeli dengan guyuran darah dan air mata, serta sekian banyak nyawa.

Belum tuntas membasmi kebodohan, sengsara karena kemiskinan masih mengudara bebas mengelilingi pratiwi, hingga saudara-saudara kita yang mengadu nasib di luan negeripun juga urung lepas dari kejamnya kesengsaraan.


Mungkin kita sudah jenuh, menyaksikan benturaturan-benturan karena perbedaan. Apa perbedaan selalu identik dengan kekerasan ? Lalu, bagaimana dengan kekerasan terorisme ? Manusia-manusia setengah hewan yang mengatasnamakan “tentang islam” sudah mengobrak-abrik sebagian aspek kehidupan di nusantara. ( Padahal tidak ada agama yang tidak mengajarkan kebaikan bagi sesama ) Mereka juga membuat onar, mempersuasi pemikiran-pemikiran manusia untuk kepentingan mereka, yang jelas-jelas tidak penting. Kawan, apakah kita biarkan yang seperti ini ?


Apalagi pengangguran-pengangguran yang tertimbun di perut bumi, kemudian meletus, meyemb urkan bongkahan-bongkahan material dan lava keputusasaan yang kini menjadi beban dan bergelantungan bak jemuran.


Belum lagi kita dibesarkan oleh orang tua yang sebagian miskin akan keteladanan, bahkan malah berlomba mendayung kapal feri menuju puncak kekuasaan yang ingin menjadi kampium. Dan hasilnya, kita generasi phobia yang terjangkit penyakit apatis dan terhipnotis oleh paham liberal, bahkan banyak diantara kita yang menjadi jalang karena terbelenggu oleh rantai-rantai jamu terlarang.


Mungkin kini diskriminasi dan dekadensi moral adalah hal wajar ? Itulah yang terjadi jika suatu bangsa kehilangan jati diri.


KAWAN !
Sekarang bangsa ini terlalu payah memahami toleransi. Jangankan berbicara tentang hukum, harga diripun bisa dibeli. Perangkat negara seakan menjadi robot-robot yang bersujud pada Tuhan-Tuhan baru. Yaitu para dagelan yang mewajibkan penontonnya untuk tertawa. Padahal itu sama sekali tidak lucu !


Sudah terlalu lama kita tenggelam dalam keterpurukan.

Keadaan konyol inilah yang membuat kita tertatih dalam amukan jiwa. Hal itu menguras energi hingga meneteskan peluh yang berevaporasi menyerbakkan aroma, begitu pekat menelusup nurani.


Sudikah kiranya kita bersama merenovasi sistem yang mengatur kinerja raga kita ? Tentu saja dengan senyawa-senyawa positif yang dapat membuat hidup kita lebih bermakna :)


Marilah kita merajut rangkaian proses yang hasilnya berdampak hebat bagi republik yang hampir tenggelam ini. Masih ada waktu sebelum republik ini benar-benar tenggelam.


Gugahlah nurani, wujudkanlah mimpi, kita dibutuhkan oleh negeri.


Mari kembali pada kodrat kita sebagai bangsa timur yang berjati diri, bangsa yang dibesarkan oleh pengalaman-pengalaman luar biasa.


Cuplikan Pidato DR. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO : "... Tanpa adanya jati diri bangsa, suatu bangsa akan mudah terombang-ambing dan kehilangan arah dalam era globalisasi yang bergerak cepat dewasa ini."
Candi Prambanan, 26 Mei 2007




Ponorogo, 30 Juni 2011