Translate

Sabtu, 22 Oktober 2011

Random: Hidup Itu Pilihan

Sebenarnya tidak ada inspirasi untuk bermajas-majasan atau sekedar merangkai diksi jadi kalimat-kalimat seperti biasa, abstrak. Ini kali dimana mals merasuki sekujur ragaku, dan itulah yang memungkinkan tiada hal lain yang hendak kulakukan, selain menulis.

Tapi aku bingung menentukan tema. Kucari dan kucari, oh ya dapat. Ini sebagian statusku yang saling berkesinambungan sejak pertengahan September. 

Bermula dari  . . . . .
Abstrak
Sepekan sudah. Debar yang kutunggu tak jua tiba menyapa. Bahkan dihiraukannya daku tersesat dalam rawa, hendak dimakan buaya. Jika saja raga yang satu itu tahu, daku tak cukup amunisi tuk lawan para buas apalagi berbisa. Lantas demi apa dulu sekonyong-konyong dihampirinya daku yang masih setengah tertidur ? Benar adanya, semua sama, berdiri pada satu hakekat yang merugikan.

Seperti benda 29 inci yang kutatap bertubi-tubi, warna-warna itu kemudian meluber jadi fatamorgana, aneh. Entahlah. Ku coba menoleh pada semburan cahaya putih kekuningan, reflekku sekejab beraksi, silau. Bias pelangi, secara picisan baluti sepasang bola mata ini, meski yang diliriknya cuma senoktah pijaran redup sekalipun tak tercari.

Mentari melepas hampir semua energinya siang ini. Menghasut tatapanku dengan fatamorgana yang terbias bak sesosok pelangi. Jalanan masih legam menyemburkan aroma mentari. Lagi-lagi, panas membiaskan warna nila, serupa dengan apa yang ku dapati di sudut-sudut dimensi dalam tikungan curam di penghujung bulan-bulan kemarin. Sekilas, warna itu menggoyahkan teguh yang kemudian ku pegangi, tidak terlalu erat, juga tidak menjamin suatu kesanggupan.

Heh, ingin ku banting stir dan fokus pada setapak baru yang konon lebih menantang. Sekejab, ku rasakan laju mesin yang lepas kendali, takutnya minta ampun. Tapi janggalnya, mengapa hati ini membesar luas seperti tanah lapang ? Mampus ! Benda mampus itu lagi, tertawa ? Ketika ku temui jalan berkelok sesaat setelah elektron melepaskan diri dari senyawa yang ku ramu.

Ketika tangan kananku memutar batang stir pelengkap keanggunan mesin yang ku tunggangi, serasa raga kelam ini melayang dihantarkan beliung, dan tumpukan beban di ubun-ubunku, sekejab sirna. Tapi ketika suatu benda memaksaku menghentikan laju mesinku,sesaat jantung ini bergetar tanpa irama dan sesegera merambat di sekujur tubuhku. Dengan sumbangnya konsentrasi, ku hela nafas sangat panjang.

Bahkan sempat ku naiki kuda hijau. Berkeliling di suatu dimensi yang mungkin tak asing buat inderaku. Entahlah. Ada suatu sudut dimana aku mencoba mengingat semua yang mungkin tlah masuk daftar sampah di memoriku. Tapi ketika warna itu mulai agak jelas, ah ku tutup diari usang yang mungkin, menjadi tumpukan terbawah di dalam nalarku. Kuhela nafas panjang, sangat panjang. Dan benda itu, bergetar lagi, lalu . . . . .

Apa yang membuat suatu benda bergetar karena getaran suatu benda yang lain ? Tidak selain terikat dalam rumus resonansi. Dan apa pula yang terjadi jika getaran itu menjadi-jadi, hah ? Mungkin saja kedua benda tersebut tetap berfrekwensi sama, atau sebaliknya.

AKU BERPALING
Dari rekayasa yang sempat mengacaukan fokusku. Dan ditengah interval singkat itu, secara mendadak oh tidak. Pelangi, ku sebut lagi pelangi untuk menamakannya. Parahnya, bertubi-tubi tak kusangka. Dan tetesa air telah melubangi membran dari batuan kapur yang menyelimuti suatuorgan yang orang-orang menyebutnya hati.

Hidup itu PILIHAN. Seperti aku yang memilih menikmati situasi dengan bersandar pada karpet yang menurutku tidak terlalu bersih sambil memandangi gambar presiden di atas papan usang putih nan mengkilap, dan lagi-lagi bias pelangi baluti sepasang mataku.

Sepasang indera yang dapat menangkap cahaya itupun seketika terperanga, dan dengan tergesa-gesa jadi fokus pada suatu benda, ia bertuliskan "seribu rupiah" sebagai penunjuk nominalnya. Ku pandangi, terus-menerus hingga pedih, tapi tak jua ku temui inspirasi yang ku cari. Lagi-lagi, bias pelangi baluti penglihatanku.

Terfokusku pada suatu noktah terjauh dari penglihatan, tanpa kedipan. Kemudian ku coba rasakan ganas ultaviolet yang menelusup hebat dalam atmosfer. Dan pada perempat ketermanguan, ku temui hamparan ilalang yang bergetar, mengemakan sajak-sajak melodi di antara tebing yang ku kira curam, tapi entah dimana. "Bukankah resonansi itu proses bergetarnya suatu benda dikarenakan ada benda lain yang bergetar dengan frekwensi yang sama ?" Dan lagi-lagi dejavu, bias pelangi baluti indera penangkap cahayaku.

Pilihan? Konyol.

Selasa, 11 Oktober 2011

Suratan Budaya

Temukanlah suatu dimensi yang berjati diri
Terbujur beberapa derajat di equator yang membara api
Adalah simpanan dari sang mayapada, berjuta misteri
Tanyakan pada samudera, jika kau ragu akan kalimat ini

Tampak
Benderangnya bintang dengan pijaran warna keemasan yang menjabarkan keagungan asa,
Biasan cahaya yang jadi penghias langit pada sekon-sekon fortuna,
Aroma mawar yang tersebar menyegarkan hela nafas siapa saja,
Serta kerikil-kerikil nirwana bertabur sejumlah pasir di lingkup-lingkup sakral bak mustika
Namun waktu membawanya pada satu kondisi yang berbeda

“Amukan petir masih kudapati getarannya.
Sentuhan elektromagnetik itu berhasrat pada kumparan yang sejak dahulu mempesona.
Konyol, laksana lakon perangsang tawa.
Ya, tentang dinasti yang longsor karena petaka.
Entah berwujud apa.”

Belati masa menggelora
Jelmaan bayu mengerosi sendi-sendi daya pikat sewujud region, sebut saja tiruan surga
Dan saat jarum jam berputar layaknya baling-baling pesawat, yang nampak adalah interpretasi rumit orang-orang pasca aksara
Tentang nusa yang kehilangan beberapa inderanya
Itulah yang menggugah para pendahulu menitis pada raga-raga muda untuk tanda bahaya
Akan suratan budaya bangsa yang semoga tak purna

“Jangan dustai kodrat alami.
Yang hendaknya kau pikul dengan keanggunan pundak suci.
Seperti kesetiaan sang dewi malam pada pertiwi.”



Ponorogo, 11 Oktober 2011