Untuk merak yang selalu mengepak
Saat
imaji menggiring jiwa pada lembayung di ujung jingga
Peluh
membasuh jiwa nan meronta pada lara
Sesak,
kemelut serpih-serpih kemunafikan
yang
masih berpendar bak anai-anai bubus
Tatkala
dunia mewarna mata
dengan
desir angin menyeret fatamorgana
dan
lembut embun betina mebelai tatapan mata merak
Perjalanan menyeret
pincang si asa menyibak masa
Entah kapan tiba angan
berpijar wibawa sinar kejora menyapa
di antara histeris yang
terpendam dalam sayup-sayup redup purnama
Dan saat terbil kembali
mimpi-mimpi terurai bagai bait demi bait harmoni
yang bersandar pada
ranting nan lapuk terseret erosi
Aku
ingin mentari bersorak menghujani merak yang sayapnya mulai mengepak
mengantarkan
biduk ini menggapai sang pelangi
dalam
lirih belai nafas, dalam hening aroma kelas
jalan
Budi Utomo nomor satu, di ujung Oktober
“Kau pernah melukiskan
bekas berkas cerita pada kanvas nila
yang selalu tersenyum
untuk mata dan canda,
bahwa tiap nyawa adalah ilmu yang bermata.
Semuanya, keindahan
cita mencinta serupa merak yang merindu
pada kemuning padi
gemah ripah loh jinawi
Seelok itukah mimpi
membelai mata, mengerlingkan kenangan
atas debu langkah yang
tersapu hembus bius nafas sarat warna?
Hidup
tak cukup dituangkan dalam semangkuk dhawet Jabung
Hidup
tak pula cukup dijabarkan oleh mata, oleh cinta, oleh cita
Karena
hidup sejatinya adalah pelangi
Yang
bisa melukiskannya
Hanyalah merak dengan mata yang terus mengepakkan
sayap-sayap mimpi
Ponorogo,
5 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar