JIKA SISWI SMA BOLEH BICARA
Ku lukis tulisan abstrak ini
Kala kecewa menggerogoti nalarku
Kala kakiku berpijak pada duri-duri
Kala rasionalku memudar dalam sekejab
Tidak Kawan
Dangkalnya pikirku menyesatkan
Tersadarku bahwa, jasad ini belum mengerti
Selama ini kita menghirup oksigen yamg larut dalam
atmosfer. Dan tanpa kita ketahui, berapa lama lagi kita akan tetap melakukan
hal itu. Inilah kehidupan yang sajikan keheterogenan pilihan. Sadar atau tidak,
takdir tlah memilih kita untuk menjadi salah satu makhluk yang menghuni
bentangan pulau-pulau di atas khatulistiwa. Dan Tuhan menciptakan kita dalam
keberagaman.
Waktu berlari dengan kekuatan evolusi dan revolusinya
tlah berhasil merubah peradaban. Ya, kita memang bernafas disaat semua tlah
tertata. Tertata dalam suatu sistem yang bergerak maju dengan tanpa berpaling
dari jati dirinya yang telah digali oleh para sesepuh kita. Ya, kita adalah
tonggak dari harapan mereka. Namun harapan tak selamanya sejalan dengan
keadaan.
Kita, generasi ingusan dipaksa larut dalam suatu keadaan
yang lahir dari hasil peleburan diantara pengaruh-pengaruh berskala global dan
dampaknya tlah bersenyawa dalam hidup yang kita lalui. kita harus menjaga
kemurnian jati diri ditengah gempuran globalisasi dan modernisasi yang dapat
memporak-porandakan keseimbangan semesta.
Bertubi-tubi bangsa ini didera problema.
Merasakan batin tersayati oleh hantaman malapetaka yang
sebenarnya tumbuh karena tangan-tangan biadab yang hidup di tanah yang dibeli
dengan guyuran darah dan air mata, serta sekian banyak nyawa.
Belum tuntas membasmi kebodohan, sengsara karena
kemiskinan masih mengudara bebas mengelilingi pratiwi, hingga saudara-saudara
kita yang mengadu nasib di luan negeripun juga urung lepas dari kejamnya
kesengsaraan.
Mungkin kita sudah jenuh, menyaksikan
benturaturan-benturan karena perbedaan. Apa perbedaan selalu identik dengan
kekerasan ? Lalu, bagaimana dengan kekerasan terorisme ? Manusia-manusia
setengah hewan yang mengatasnamakan “tentang islam” sudah mengobrak-abrik
sebagian aspek kehidupan di nusantara. ( Padahal tidak ada agama yang tidak
mengajarkan kebaikan bagi sesama ) Mereka juga membuat onar, mempersuasi
pemikiran-pemikiran manusia untuk kepentingan mereka, yang jelas-jelas tidak penting.
Kawan, apakah kita biarkan yang seperti ini ?
Apalagi pengangguran-pengangguran yang tertimbun di perut
bumi, kemudian meletus, meyemb urkan bongkahan-bongkahan material dan lava
keputusasaan yang kini menjadi beban dan bergelantungan bak jemuran.
Belum lagi kita dibesarkan oleh orang tua yang sebagian
miskin akan keteladanan, bahkan malah berlomba mendayung kapal feri menuju
puncak kekuasaan yang ingin menjadi kampium. Dan hasilnya, kita generasi phobia
yang terjangkit penyakit apatis dan terhipnotis oleh paham liberal, bahkan
banyak diantara kita yang menjadi jalang karena terbelenggu oleh rantai-rantai
jamu terlarang.
Mungkin kini diskriminasi dan dekadensi moral adalah hal
wajar ? Itulah yang terjadi jika suatu bangsa kehilangan jati diri.
KAWAN !
Sekarang bangsa ini terlalu payah memahami toleransi.
Jangankan berbicara tentang hukum, harga diripun bisa dibeli. Perangkat negara
seakan menjadi robot-robot yang bersujud pada Tuhan-Tuhan baru. Yaitu para
dagelan yang mewajibkan penontonnya untuk tertawa. Padahal itu sama sekali
tidak lucu !
Sudah terlalu lama kita tenggelam dalam keterpurukan.
Keadaan konyol inilah yang membuat kita tertatih dalam
amukan jiwa. Hal itu menguras energi hingga meneteskan peluh yang berevaporasi
menyerbakkan aroma, begitu pekat menelusup nurani.
Sudikah kiranya kita bersama merenovasi sistem yang
mengatur kinerja raga kita ? Tentu saja dengan senyawa-senyawa positif yang
dapat membuat hidup kita lebih bermakna :)
Marilah kita merajut rangkaian proses yang hasilnya
berdampak hebat bagi republik yang hampir tenggelam ini. Masih ada waktu
sebelum republik ini benar-benar tenggelam.
Gugahlah nurani, wujudkanlah mimpi, kita dibutuhkan oleh
negeri.
Mari kembali pada kodrat kita sebagai bangsa timur yang
berjati diri, bangsa yang dibesarkan oleh pengalaman-pengalaman luar biasa.
Cuplikan Pidato DR. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO : "...
Tanpa adanya jati diri bangsa, suatu bangsa akan mudah terombang-ambing dan
kehilangan arah dalam era globalisasi yang bergerak cepat dewasa ini."
Candi Prambanan, 26 Mei 2007
Ponorogo, 30 Juni 2011