Translate

Kamis, 30 Juni 2011

Evaluasi Diri

JIKA SISWI SMA BOLEH BICARA

Ku lukis tulisan abstrak ini
Kala kecewa menggerogoti nalarku
Kala kakiku berpijak pada duri-duri
Kala rasionalku memudar dalam sekejab

Tidak Kawan
Dangkalnya pikirku menyesatkan
Tersadarku bahwa, jasad ini belum mengerti

Selama ini kita menghirup oksigen yamg larut dalam atmosfer. Dan tanpa kita ketahui, berapa lama lagi kita akan tetap melakukan hal itu. Inilah kehidupan yang sajikan keheterogenan pilihan. Sadar atau tidak, takdir tlah memilih kita untuk menjadi salah satu makhluk yang menghuni bentangan pulau-pulau di atas khatulistiwa. Dan Tuhan menciptakan kita dalam keberagaman.


Waktu berlari dengan kekuatan evolusi dan revolusinya tlah berhasil merubah peradaban. Ya, kita memang bernafas disaat semua tlah tertata. Tertata dalam suatu sistem yang bergerak maju dengan tanpa berpaling dari jati dirinya yang telah digali oleh para sesepuh kita. Ya, kita adalah tonggak dari harapan mereka. Namun harapan tak selamanya sejalan dengan keadaan.


Kita, generasi ingusan dipaksa larut dalam suatu keadaan yang lahir dari hasil peleburan diantara pengaruh-pengaruh berskala global dan dampaknya tlah bersenyawa dalam hidup yang kita lalui. kita harus menjaga kemurnian jati diri ditengah gempuran globalisasi dan modernisasi yang dapat memporak-porandakan keseimbangan semesta.


Bertubi-tubi bangsa ini didera problema.

Merasakan batin tersayati oleh hantaman malapetaka yang sebenarnya tumbuh karena tangan-tangan biadab yang hidup di tanah yang dibeli dengan guyuran darah dan air mata, serta sekian banyak nyawa.

Belum tuntas membasmi kebodohan, sengsara karena kemiskinan masih mengudara bebas mengelilingi pratiwi, hingga saudara-saudara kita yang mengadu nasib di luan negeripun juga urung lepas dari kejamnya kesengsaraan.


Mungkin kita sudah jenuh, menyaksikan benturaturan-benturan karena perbedaan. Apa perbedaan selalu identik dengan kekerasan ? Lalu, bagaimana dengan kekerasan terorisme ? Manusia-manusia setengah hewan yang mengatasnamakan “tentang islam” sudah mengobrak-abrik sebagian aspek kehidupan di nusantara. ( Padahal tidak ada agama yang tidak mengajarkan kebaikan bagi sesama ) Mereka juga membuat onar, mempersuasi pemikiran-pemikiran manusia untuk kepentingan mereka, yang jelas-jelas tidak penting. Kawan, apakah kita biarkan yang seperti ini ?


Apalagi pengangguran-pengangguran yang tertimbun di perut bumi, kemudian meletus, meyemb urkan bongkahan-bongkahan material dan lava keputusasaan yang kini menjadi beban dan bergelantungan bak jemuran.


Belum lagi kita dibesarkan oleh orang tua yang sebagian miskin akan keteladanan, bahkan malah berlomba mendayung kapal feri menuju puncak kekuasaan yang ingin menjadi kampium. Dan hasilnya, kita generasi phobia yang terjangkit penyakit apatis dan terhipnotis oleh paham liberal, bahkan banyak diantara kita yang menjadi jalang karena terbelenggu oleh rantai-rantai jamu terlarang.


Mungkin kini diskriminasi dan dekadensi moral adalah hal wajar ? Itulah yang terjadi jika suatu bangsa kehilangan jati diri.


KAWAN !
Sekarang bangsa ini terlalu payah memahami toleransi. Jangankan berbicara tentang hukum, harga diripun bisa dibeli. Perangkat negara seakan menjadi robot-robot yang bersujud pada Tuhan-Tuhan baru. Yaitu para dagelan yang mewajibkan penontonnya untuk tertawa. Padahal itu sama sekali tidak lucu !


Sudah terlalu lama kita tenggelam dalam keterpurukan.

Keadaan konyol inilah yang membuat kita tertatih dalam amukan jiwa. Hal itu menguras energi hingga meneteskan peluh yang berevaporasi menyerbakkan aroma, begitu pekat menelusup nurani.


Sudikah kiranya kita bersama merenovasi sistem yang mengatur kinerja raga kita ? Tentu saja dengan senyawa-senyawa positif yang dapat membuat hidup kita lebih bermakna :)


Marilah kita merajut rangkaian proses yang hasilnya berdampak hebat bagi republik yang hampir tenggelam ini. Masih ada waktu sebelum republik ini benar-benar tenggelam.


Gugahlah nurani, wujudkanlah mimpi, kita dibutuhkan oleh negeri.


Mari kembali pada kodrat kita sebagai bangsa timur yang berjati diri, bangsa yang dibesarkan oleh pengalaman-pengalaman luar biasa.


Cuplikan Pidato DR. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO : "... Tanpa adanya jati diri bangsa, suatu bangsa akan mudah terombang-ambing dan kehilangan arah dalam era globalisasi yang bergerak cepat dewasa ini."
Candi Prambanan, 26 Mei 2007




Ponorogo, 30 Juni 2011