Translate

Sabtu, 26 Juli 2014

Kaca

Aku berkaca pada genangan hujan yang memanja di sudut jalanan. Kulihat mata angkuh yang tiada hendak mengalah pada nurani. Aku takut melihat mata itu, mata yang menajamkan kerut pada dahi, mata yang kejam menebas batang leher lawan pandangnya dan aku semakin ketakutan ketika mata itu meneteskan satu demi satu mata airnya seolah ingin berucap kata. Kami hanya saling memandang, ia tak berkedip, begitu pula aku. Ia tak beranjak sedikit pun, aku juga begitu. Lantas kurasakan deru jiwanya menyeruak, menyesakkan kemelut batinku yang berperang dengan ribuan petanyaan.

"Siapa kau?" Sepotong kata terlontar, mewakili rasa penasaran yang gejolaknya tak tertahan.
"Aku?"
"Iya, kau. Siapa kau?"
"Mengapa kau ingin tahu siapa aku?"
"Aku hanya penasaran."
"Tak perlu."
"Tapi aku benar ingin tahu siapa dirimu."
"Kau sudah tahu."
"Benarkan? Siapa kau ini sebenarnya?"
"Kubilang, kau sudah tahu."
"Apa susahnya menjawab pertanyaan sederhana dariku? Hah?" kataku geram.
"Lalu apa susahnya bersyukur?" balasnya lebih geram. Pertanyaan itu terlalu jauh dari pikiranku, seperti jauhnya pungguk dengan rembulan.
"Mengapa kau tanyakan itu?"
. . .

Hening, pertanyaanku tak terbalas, ia hanya memantul pada dinding-dinding jalanan lalu kembali mengenaiku, seperti boomerang. Ya, mengapa bayangan itu bertanya tentang sesuatu yang tak sedikit pun hadir dalam nafasku? Tuhan, benarkah? Benarkah aku terlalu gagal menjadi seorang hamba hingga Engkau mendobrak benteng batinku dengan gejolak seperti ini?

"Aku adalah dirimu. Ketika malam tersenyum menyapa, kau hanya merupa seonggok guling yang terkapar di atas kasur, tanpa mengetuk pintu-pintu Tuhan. Dan tatkala siang menjelang, tiada kata selain keluh yang keluar dari sepasang bibirmu."


11-12-13
Syukur itu sederhana, saat diri tak suka mengeluh dan selalu berusaha melakukan yang terbaik


Tidak ada komentar:

Posting Komentar