Aku berkaca pada genangan hujan
yang memanja di sudut jalanan. Kulihat mata angkuh yang tiada hendak mengalah
pada nurani. Aku takut melihat mata itu, mata yang menajamkan kerut pada dahi,
mata yang kejam menebas batang leher lawan pandangnya dan aku semakin ketakutan
ketika mata itu meneteskan satu demi satu mata airnya seolah ingin berucap
kata. Kami hanya saling memandang, ia tak berkedip, begitu pula aku. Ia tak
beranjak sedikit pun, aku juga begitu. Lantas kurasakan deru jiwanya menyeruak,
menyesakkan kemelut batinku yang berperang dengan ribuan petanyaan.
"Siapa kau?" Sepotong
kata terlontar, mewakili rasa penasaran yang gejolaknya tak tertahan.
"Aku?"
"Iya, kau. Siapa kau?"
"Mengapa kau ingin tahu
siapa aku?"
"Aku hanya penasaran."
"Tak perlu."
"Tapi aku benar ingin tahu
siapa dirimu."
"Kau sudah tahu."
"Benarkan? Siapa kau ini
sebenarnya?"
"Kubilang, kau sudah
tahu."
"Apa susahnya menjawab
pertanyaan sederhana dariku? Hah?" kataku geram.
"Lalu apa susahnya
bersyukur?" balasnya lebih geram. Pertanyaan itu terlalu jauh dari
pikiranku, seperti jauhnya pungguk dengan rembulan.
"Mengapa kau tanyakan
itu?"
. . .
Hening, pertanyaanku tak
terbalas, ia hanya memantul pada dinding-dinding jalanan lalu kembali
mengenaiku, seperti boomerang. Ya, mengapa bayangan itu bertanya tentang
sesuatu yang tak sedikit pun hadir dalam nafasku? Tuhan, benarkah? Benarkah aku
terlalu gagal menjadi seorang hamba hingga Engkau mendobrak benteng batinku
dengan gejolak seperti ini?
"Aku adalah dirimu. Ketika
malam tersenyum menyapa, kau hanya merupa seonggok guling yang terkapar di atas
kasur, tanpa mengetuk pintu-pintu Tuhan. Dan tatkala siang menjelang, tiada
kata selain keluh yang keluar dari sepasang bibirmu."
11-12-13
Syukur itu sederhana, saat diri
tak suka mengeluh dan selalu berusaha melakukan yang terbaik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar