Translate

Rabu, 06 Agustus 2014

Senyum Juara Satu




Dua tahun berlalu, masih membekas guratan senyum yang terukir pada wajah teduhmu. Senyum yang itu nampaknya begitu betah bersarang dalam lubuk hatiku, menempel lebih lekat dan lengket. Senyum yang seperti virus, bahkan bayangnya pun selalu membelah diri, hampir memenuhi dimensi waktu luangku dalam berbaris-baris imajinasi. Senyum yang masih menjadi juara satu dalam hatiku.
 Kau pernah terlalu dekat dengan sesorang? Ya, begitu dekat hingga sangat sulit bagiku untuk melukiskannya. Kedekatan yang mampu memunculkan rindu, tapi kami sama-sama bisu untuk mengungkapkan hal itu.
#
Aku selalu ingat, Jumat itu. Ingatan yang selalu lebih pekat dari rumus-rumus fisika, ingatan yang selalu lebih kuat dari berbagai istilah biologi yang terjabar dalam buku bilingual setebal 3 sentimeter yang acap kali memberatkan ranselku. Saat itu, oksigen mungkin tak tersuplai dengan baik ke dalam kelasku. Terlalu pengap dan membuat sistem metabolisme tubuhku bekerja lebih hebat. Aku mengusap keringat sembari memindah dudukku di bawah kipas angin. Dan rupanya, angin yang menari-nari di sela baling-baling kipas itu berhasil membiusku, membuatku benar-benar tak bisa mengelak pada rayuan sang kantuk.
Tidur, sebuah kata menakjubkan yang selama ini paling aku gandrungi. Dan tidur adalah sebuah kata yang selalu saja tiba-tiba berubah menjadi bangun saat sesuatu membuatku terlalu kaget.
            “Fridaaa, ada yang mencarimu!” Sesosok gadis yang hadir dalam mimpi siangku sekonyong-kongong  seperti nyata, bahkan aku baru menyadari bahwa ini sungguh nyata ketika dia mencubit tanganku.
            “Auuuggh, sakit tauk!” Aku bangun dengan tergesa-gesa.
            “Ada yang mencarimu tuh.” Kata Nala sambil beringsut meninggalkan tempat dudukku.
            “Mas Rio, pendamping kita waktu MOS.”
            “Ooooh, kenapa dia?”
            “Tanya aja sendiri, tuh dia di depan kelas.” Nala semakin ketus, mungkin masih tersisa puing-puing kesebalan saat membangunkanku yang sulit keluar dari mimpi tadi.
            “Iya, makasih.” Kataku sambil cengengesan menuju depan pintu,
            “Eh, Mas Rio, ada apa?”
            “Nih ada yang mau kenalan katanya.”
            “Siapa?” Tanyaku penasaran.
            Tiba-tiba muncul seorang lelaki berpawakan tinggi, rambutnya menjulang ke atas acak-acakan, agak basah sepertinya habis keramas, dandanannya terlihat berantakan karena bajunya keluar, ditambah tak ada sepotong hasduk pun yang nyangkut dikerah bajunya, menambah kesan urakan, sepertinya dia anak IPS, menurutku. Karena cowok model seperti itu biasa ditemui di kelas-kelas jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial. Tapi ada yang janggal, dia membawa secarik kertas dan pulpen hitam bermerk pilot, dengan muka yang tertunduk dia segera menyodorkannya padaku. Aneh.
            “Dik, boleh minta nomor hp?” Celetuknya tanpa basa-basi, masih dengan muka yang tertunduk.
            “Haaaaaah?” Aku hanya bisa mengatakan satu kata yang mewakili perasaan kagetku, sambil mengucek-ucek mataku yang masih ngantuk. Dan entah apa yang terfikir di benakku saat itu. Aku mau saja dengan mudah menuliskan nomor hpku pada secarik kertas sobekan berwarna putih yang disodorkannya tadi.
            “Makasih ya.” Dia kemudian berlalu begitu saja, disambut riuh tepuk tangan teman-teman yang tertawa habis-habisan.
            Aku tidak tahu sama sekali asal usulnya. Melihatnya pun belum pernah. Aku tak begitu memperhatikannya saat itu, hanya saja aku sempat membaca nama yang melekat di bajunya, hmmm hanya seberkas warna hitam berinisial “H” yang bisa tertangkap oleh lensa mataku, selanjutnya apa? Aku tak bisa melihat dengan jernih tanpa kaca mata. Tapi ada satu hal yang membuatku merasakan suatu hal yang aneh. Ada gigi gingsul manis yang menyertai senyumannya.
            Dan sejak saat itulah, aku mulai mengenalnya, dan kemudian terlalu mengenalnya.
#
Entah angin dari mana yang membuatku semakin tertarik padanya. Bukan, sama sekali bukan karena kau adalah aktivis futsal, atau lebih lazimnya bisa disebut sebagai atlet futsal andalan sekolah yang sering meraih berbagai medali dalam setiap kejuaraan. Bukan pula karena kau termasuk salah satu model laki-laki yang dianggap keren menurut teman-teman wanita. Aku hanya menyukai kesederhanaan yang terpancar dalam senyum, lengkap dengan gigi gingsul yang menambah kesan menarik, bagiku. Aku juga suka kedewasaanmu, menurutku kau salah satu motivator hebat dalam hidupku. Sebuah kedekatan biasa dan sederhana, namun aku merasa nyaman. Bukan sebuah kedekatan yang berlabel pacaran atau kedekatan-kedekatan beristilah lainnya. Dan aku tak berharap lebih, aku hanya ingin sebuah rasa aneh ini tetap berada dalam tiap degup jantungku memenuhi hari-hariku dan yang paling penting rasa itu mampu melukiskan berbagai gejolak dalam kanvas hatiku, apakah seperti ini yang orang-orang sebut dengan cinta?
“Aku tak mau berteman denganmu lagi kalau semester ini kamu nggak jadi juara satu.”  Raut mukanya mengancam, sekaligus berlagak tanpa dosa.
“Apa? Kau pikir juara satu itu segampang mengancingkan bajumu.” Kataku sambil menunjuk ke arah kancing baju paling atasnya yang terbuka.
“Halaaah, pakek nunjuk-nunjuk segala. Bilang aja mau lihat dada bidangku yang atletis mirip pemain sepak bola Bambang Pamungkas.”
“Apaan sih, nggak lucu tauk, weeeek.” Lidahku tak kuasa menjulur saat mendengannya berkata tak penting macam itu.
“Pokoknya harus juara satu, titik, weeeeek.” Dia merasa tak mau kalah, sambil menjulurkan lidahnya yang panjang bagai lidah bunglon itu, dia membesarkan bola mata dengan menarik kulit tipis di sekitar matanya. Menjijikkan!
#
Hari berlalu begitu cepat. Angin sore ini terasa aneh. Aku tetap berjalan menuju tempat parkir. Angin semakin kencang berkejaran di antara tubuh pendekku. Saat ku mulai mengegas motor mio mungilku, seketika aku terdiam. Dia lagi ternyata. Dari kejauhan tampak lelaki aneh itu lagi berjalan dengan meloncat-loncat ke arah sepeda putih yang bertengger di tiang paling pinggir, tepat diujung barisan tempat motorku terparkir. Kemudian dia melihat ke arahku sambil melambaikan tangannya yang panjang.
“Heeeei pendek, Kau pulang sendirian?” Dia selalu menanyakan sesuatu yang jelas-jelas sudah jelas kalau aku memang pulang sendirian.
“Emang kenapa? Bukannya aku tiap hari juga pulang naik motor sendiri? Atau Kau ingin melamar jadi tukang ojekku? Kau sendiri juga pulang sendirian kan? Dasar aneh.” Aku menghujaninya dengan pertanyaan bertubi-tubi untuk melampiaskan kekesalanku.
Dia malah tertawa cekikikan, mengayuh sepedanya ke arahku. “Selamat yaaa, cie juara kelas, hahahaha.” Sepedanya pergi begitu saja, membiarkanku masih melongo di parkiran sambil mengorek semua ingatanku, dari mana dia tahu hal itu. Ah, mungkin dia terlalu memperhatikanku, atau aku yang memang kege-eran merasa diperhatikannya. Yang jelas firasatku mengatakan kalau kita memang saling memperhaikan. Entahlah, memikirkan hal itu membuat jantungku makin berdebar tak tentu, lebih baik aku segera pulang karena nanti malam adalah acara perpisahan kelas XII. Aku senang karena nanti band favoritku akan tampi sebagai guest star dan aku juga senang tadi sempat bertemu mas mas aneh itu. Tapi tunggu. Nanti malam acara perpisahan, apa itu artinya, hmmm. Mas Hanif? Mungkinkah setelah kelulusan ini kau akan pergi jauh? Mungkinkah kau tetap mengingatkanku? Mungkinkah?
#
“Kenapa nggak pulang?” Lelaki berusia sekitar 18 tahun tiba-tiba duduk di sampingku. Mas Hanif lagi. Tapi kali ini dia tampak berbeda dari biasanya. Dia terlihat lebih rapi memakai kemeja hijau dipadu dengan celana hitam dan kali ini dia memakai sepatu panthofel, bukan sepatu futsal yang biasa menemani tiap langkah kakinya di sekolah.
“Belum dijemput, mungkin orang-orang rumah udah pada tidur, ditelpon nggak diangkat.”
“Sudah ngantuk ya?”
“Enggak kok, ngantuknya udah hilang soalnya tadi band Ungu tampil meriah sekali.”
“Butuh teman? Hehehehe.” Gigi gingsulnya makin terlihat jelas saat dia tertawa dengan khas.
“Mungkin.”
Lama kami hanya berdiam bagai dua buah patung yang dipamerkan di depan gedung Sasana Praja. Malam makin dingin, tampak teman-temanku yang masih asyik berfoto di sekitar taman dan ada juga yang masih duduk-duduk di tangga gedung sambil bernyanyi, mungkin mereka ingin menghabiskan malam perpisahan kali ini dengan canda dan tawa yang masih tersisa. Mungkin juga mereka ingin mengabadikan momen langka nan bersejarah seperti ini.
“Hmm Dik, aku boleh bercerita?”
“Iya?”
“Sebelumnya, selamat ya Kamu udah juara satu, hebat banget. Tapi maaf ya?”
“Iya, hehe. Maaf kenapa Mas?”
“Aku yang selalu mengingatkanmu untuk rajin belajar dan jadi juara kelas, tapi malah nggak bisa ditiru.”
“Maksutmu?” Aku mengernyitkan dahi, antara bingung dan kaget.
“Iya. Tahun ini aku belum bisa nerusin kuliah. Nilaiku masih belum memenuhi syarat untuk bea siswa, bapak juga nggak punya banyak duit, kuliah kan mahal. Sedangkan kakak-kakakku? Mereka lagi banyak hutang, aku nggak mau ngrepotin terus. Mungkin tahun depan aku akan coba SNMPTN jalur tulis.” Dia terdiam, tak berani menatapku.
“Terus apa rencanamu?”
“Aku akan ikut kakakku yang di Bandung, mau kerja atau ngapain aja, yang penting nggak diam di sini, di Ponorogo. Sambil mempersiapkan diri mencoba peruntungan tahun depan. Ya, mungkin aku akan sulit mendengar kecrewetanmu lagi dan akan sulit melihat senyummu yang kalau dipikir-pikir lumayan manis itu, hehehe.”
Aku hanya diam, mencoba menahan bendunagan air mata yang mau ambrol. Dia meneruskan perkataannya.
“Kejarlah mimpimu, bukankah Kau ingin jadi penulis? Kalau Kau sudah mulai belajar di IPA, harus sungguh-sungguh, jangan jadi anak IPA kayak aku ini. Aku masih ingat puisi yang pernah Kau tulis di facebook, aku ingin menjadi merak yang kepak sayap-sayapnya mengantarku menyentuh bianglala. Kau pasti bisa menyentuh bianglalamu. Iya kan?”
Aku hanya bisa diam, diam dan diam. Mulutku seakan membeku tuk sekedar berkata-kata. Dan malam itu aku hanya mampu menunduk, melihat kaki bersepatu panthofel hitam yang bersandar di sebelah kakiku, tanpa memandangnya.
#
Dua bulan berlalu. Belajar di jurusan IPA memang tak semudah apa yang selama ini berputar-putar dalam otakku. Tugas demi tugas, ulangan demi ulangan mulai dari matematika, seni budaya, hingga bahasa Indonesia menjadi hantu yang tak lekang dari setiap hembus nafasku.
“Fridaaaa, bisa terlambat juga Kau. Hahahaha.” Aji, salah satu teman sekelas yang tergabung dalam geng laki-laki super crewet.
“Iya nih, semalem lembur. Abis subuhan tidur lagi, jadinya telat deh”
“Alesan wae! Makanya sekolah tuh yang bener, dispen aja sih, jadinya tugas numpuk kan. Kena hukuman apa kamu tadi? Mbersihin toilet apa nyabutin rumput? Hihihihi.” Dia malah ketawa cekikikan.
Juweh banget sih kamu! Cuma disuruh nyapu lab kimia kok. Tapi yang bikin nggak enak tuh, semprotan bu Etik bikin mukaku basah kuyup.”
“Haha, malah curcol. Mesakno mesakno, eh rasakno ding. Hahahahaha.”
Aku hanya tersenyum sinis menanggapi perkataan Aji. Hari ini rupanya keadaan tak bersikap ramah padaku. Tidur setelah sholat subuh memang membuat hari kacau. Ditambah rasa bad mood di pagi hari, hah lengkap sudah. Sampai siang pun akan terasa bad mood.
Hari yang menyebalkan ini untungnya berlangsung cepat. Aku merasa terhibur karena siang ini berlalu tanpa jadwal rapat satu pun. Dan pulang on time adalah kebahagiaan tersendiri untuk pembantu sekolah sepertiku. Tempat parkir sekolah tampak lebih ramai dari biasanya, mungkin karen aku pulang lebih awal. Deru suara motor terdengar menggema, terpantul pada dinding-dinding kelas. Dari jauh kulihat sesosok lelaki berpawakan tinggi, menunggang sepeda putih. Mas Ha-nif. Ternyata bukan. Mengapa bayangnya selalu bergelantungan manja di mataku? Meski puluhan hari sudah tak membuatmu muncul dihadapanku.
Bagaimana bisa aku melupakan setiap rona pelangi yang berpendar di matamu? Dan kau tahu? Aku tak pernah mencoba menghilangkan semua memori yang tertangkap oleh otakku tentang pelangi itu dan rindu selalu membumbung tinggi ke langit saat pelangi mulai berpendar dalam untaian imaji.
#
Malam sabtu merupakan salah satu malam spesial setelah malam minggu. Ya, karena malam ini aku tak perlu mengerjakan terlalu banyak PR. Hanya dua mata pelajaran yang harus aku lalui esok pagi. Sungguh menyenangkan bukan? Pulang lebih pagi akan membuat otakku istirahat, ya walau pun hampir selalu ada agenda rapat di hari Sabtu setelah jam pelajaran usai.
Kucoba rebahkan badanku di kasur, sebentar saja. Dua jam cukup untuk sekedar merefresh otak sebelum mulai mengerjakan lapak tugas bahasa Indonesia untuk esok. Tiba-tiba ada sebuah SMS membuat handphoneku bergetar.
Dik, kayaknya aku harus pulang.
Kenapa Mas?
Bapakku udah nggak ada.
Aku hanya larut dalam lamunan yang dalam. Kemudian ada sesuatu yang membuat dadaku terasa begitu sesak dan pengap. Batang tenggorokanku rasanya seperti tercekik, panas, dan tanpa menunggu aba-aba, kutumpahkan segala gejolak yang tiada bisa kudefinisikan ini dengan tetes demi tetes air, mengalir dari bendungan mataku yang ambrol.
#
Aku mulai mengerti sekarang. Hidup bukan hanya tentang bagaimana kita mampu bertahan melaluinya, namun hidup adalah bagaimana kita sanggup memberi arti di dalamnya. Sebagai manusia yang lebih lama hidup dua tahun dariku, tentu kau punya sudut pandang lain yang jarang tergambar oleh panca inderaku. Kau memahami hidup dengan perjuangan tanpa lelah, meski takdir kerap membuatmu terperosok dan terluka. Sedangkan aku? Mungkin aku masih terlalu awam memahami hidup yang sesungguhnya, karena bagiku apa yang aku inginkan selalu tercapai hanya dengan sedikit perjuangan. Ya, sedikit perjuangan. Sedangkan kau? Kau perlu berkali-kali berjuang untuk sebuah keinginan yang belum tentu bisa tercapai.
Aku tahu bahwa banyak sekali dimensi yang berbeda antara kau dan aku. Sempat aku diberi tahu beberapa kawan dekatmu kalau tiap hari kau mesti membantu ibukmu mengerjakan semua pekerjaan  rumah. Dan hal itu selalu berlaku saat sebagian besar teman-temanmu sedang berkelut dengan PR dan tugas sekolah atau bahkan justru bermain-main menghabiskan waktu. Belum lagi jika bapakmu sakit, kau  juga yang harus bertanggung jawab atas kesehatannya. Masih tak lekang dalam  ingatanku, kau bahkan sempat bekerja di salah satu percetakan hingga larut malam. Entah apa yang membuatmu melakukan semua itu, aku tak tahu. Kau selalu tersenyum, tertawa dan bersikap konyol dengan menjahili teman-temanmu hanya untuk melampiaskan rasa lelah dan penat yang menderamu.
Dan sekarang, setelah takdir memutuskanmu dengan kasih sayang seorang bapak, kukira lengkap sudah sayatan luka di hatimu. Sulit untuk seorang laki-laki untuk tetap tegak berdiri tanpa didampingi seorang luar biasa yang berwujud sebagai seorang bapak. Dan yang paling membuatku sungguh tak tahu harus berkata apa lagi adalah ketika kuingat bahwa bapakmu pergi disaat kau tiada di sampingnya, kau tak temani nafas terakhirnya berhembus bagai untaian kisah yang terhenti. Kupikir sosok sepertimu pun tetap menangis, meski aku pun tak tahu bagaimana raut wajahmu saat ini.
Aku ingat tiga bulan yang lalu. Saat aku sengaja lewat di depan rumahmu, meski kutahu kau tiada di rumah. Namun kala itu senja membuat rumahmu yang sepi itu nampak ceria. Aku lihat lelaki renta yang uban putihnya tlah memenuhi kepalanya sedang menyiram tanaman. Dia sempat tersenyum ke arahku walau mungkin dia tak mengenal siapa aku. Sesekali dia tutup mulutnya dengan selembar sapu tangan, dan batuknya saat itu sungguh mengerikan. Aku tak tahu batuk jenis apa itu, yang kutahu aku sering dengar batuk seperti itu di televisi yang aktornya menderita sakit parah. Saat itu aku hanya berharap, dia akan baik-baik saja.
Aku juga masih ingat saat aku ikut teman-temanmu mengiringi kepergian bapakmu yang terakhir. Saat itu kudengar isak tangis pecah sesaat setelah jasad bapakmu dikebumikan. Kulihat juga seorang wanita yang tangisnya lebih hebat dari yang lain, mungkin dia kakakmu atau ibumu, pikirku. Saat itu udara yang tampak aneh seakan menelusup ke dalam tubuhku, mengalir dan menyesakkan dadaku. Aku hanya bisa menahannya, menahannya karena aku malu jika saat itu aku menagis.
Aku tampak layu, pulang dari pemakaman itu membuat mulutku kaku tuk sekedar berkata-kata atau pun tersenyum. Kuputuskan tuk menemui kawan dekatku, dan tatkala kujabarkan apa yang tlah terjadi, aku tak bisa lagi membendung sesak di dada ini, kutumpahkan air mata yang entah mengapa air itu secara reflek mengalir begitu saja. Kau tahu? Mengenang saat itu pun seperti mengingatkanku pada sosok bapakku, kucoba tuk tak membayangkan bagaimana jika itu terjadi pada bapakku. Namun imajinasiku memang terkadang membantahku, aku terus saja membayangkan bagaimana rasa kehilangan seorang bapak. Aku jadi kepikiran bapakku. Seorang bapak yang selalu ada untuk hari-hari terberatku. Seorang bapak yang hampir selalu menuruti kemauanku. Seorang bapak yang selalu berusaha menghiburku, meski terkadang aku tak memperhatikannya. Aku ingat saat bapak berusaha memperbaiki ban motorku yang bocor, bapak yang rela mengantarkanku membeli buku gambar saat hujan deras, bapak yang menjemputku pulang larut malam saat ada acara sekolah, bapak yang selalu menyuruhku shalat berjamaah di masjid dan bapak yang mungkin rela melakukan apa pun untukku. Walaupun aku jarang memperhatikannya, walaupun aku sering lupa berterima kasih padanya, walaupun aku masih sering membantahnya.
Ya, Allah pasti punya rencana lain untukmu. Aku baru menyadari bahwa tiap doa yang kita lantunkan pada Allah tak semua bisa terwujudkan. Kadangkala, doa itu akan dikabulkan suatu hari nanti disaat yang tepat, atau doa itu akan berubah menjadi kenyataan yang lebih baik. Dan kupikir, Allah tak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan hambanya, bukankah begitu?
Dua tahun memang tlah berlalu, aku juga tak pernah lagi melihatmu. Tlah lama kau kembali di perantauan dan tlah  lama pula, tak ada satu pun kabar darimu. Kita memang tak lagi bertukar pesan lewat SMS, kita juga tak lagi berjumpa dalam momen-momen sederhana. Celoteh dan gigi gingsul yang selalu menemani senyummu itu masih melekat kuat dalam hatiku. Ya, aku memang merindukanmu. Kucuba untuk menghubungimu, namun rupanya—nomormu tak aktif. Sebenarnya, aku hanya ingin mengetahui keadaanmu, itu saja. Apa kau benar-benar melupakanku? Sempat tersirat dalam nalarku, mengapa kau tiba-tiba hadir dan menghilang tanpa meninggalkan perasaan yang jelas—apa kau juga mencintaiku?
                                                            #
Mas Hanif, sekarang aku sudah lulus. Nilaiku? Lumayan. Kautak akan marah kan bila aku tidak juara satu kali ini? Ujian nasionalnya sulit, apa lagi banyak teman-teman yang curang. Tapi kauharus senang, aku sudah diterima di perguruan tinggi yang pernah aku ceritakan padamu. Aku tetap ingin jadi penulis. Kau dimana? Aku kangen. Senyummu selalu menjadi juara satu di hatiku. Aku tak bisa benar-benar tak memikirkanmu. Dua tahun tak berjumpa. Adakah yang berubah darimu? Hari ini aku akan berangkat ke Depok, naik kereta. Kausuka naik kereta? Ah kupikir kauhanya suka naik sepeda. Oh ya, sepedamu yang putih itu masih di rumah? Atau kaubawa ke Bandung? Hmm. Mas Hanif, aku sayang kamu.
            Aku menuliskannya pada selembar kertas. Kuselipkan dalam binderku. Ya, malam ini aku harus berangkat. Mengadu segala ambisi dan harapanku di perantauan. Entahlah, mengapa rasa itu masih saja bersemayam dalam hati. Aku tak yakin, kelak aku akan bertemu lagi denganmu, atau tidak. Dan anehnya, mengapa aku tak sedikit pun berusaha membunuh rasa yang lama-lama semakin merasuki jiwaku. Mengapa aku masih memendam satu harapan—yang entah masuk akal atau tidak. Bahkan, bila aku dipertemukan sekali lagi denganmu, tak ada yang menjamin apakah kaumasih sendiri—atau tidak.
                                                                        #
            Adzan subuh baru selesai tiga puluh menit yang lalu, syukurlah aku sudah sempat sholt. Kuturun dari motor baruku dan berlari menuju sebuah gedung megah yang setiap hari harus kujejaki. Aku terlambat. Ya, kemacetan membuat motorku stagnasi, tak bergerak, dan pada akhirnya, ia dapat bergerak—walau perlahan. Jakarta selalu seperti ini tiga tahun sudah aku bekerja sebagai jurnalis di media televisi ini. Dan seperti itulah, media masa—tetap saja—penuh tantangan. Kami seakan buron yang selalu dikejar oleh waktu dan deadline. Ya, benar saja, keterlambatanku kini—sedikit banyak—akan berpengaruh besar pada posisiku dan juga rekan-rekan sejawat yang satu tim denganku.
“Frida! Lo terlambat hari ini, bodoh!” Teriak lelaki tinggi besar, berkumis tebal, dan dia adalah atasanku.
“Ma Maaf, Pak.”
“Sudahlah, ga ada waktu lagi, lo dan kawan-kawanmu ini harus segera pergi ke istana negara, itu Prabowo sama Jokowi keburu dateng. Lo mau rating kita turun? Gue pecat lu kalo kagak kelar nih berita.”
“Iya, Pak.” Sial. Gerutuku dalam hati.
“Satu lagi, jangan lupa soal agenda wawancara dengan pengamat politik. Jadwal sama daftar pertanyaannya Dessy yang atur. Lo yang tinggal nanya-nyanya aja. Udah, cepetan pergi! Bikin emosi aja kalian nih.”
                                                            #
Sebenarnya kami tidak terlambat, hanya saja sebagai reporter di salah satu stasiun televisi swasta terkemuka, kami harus tampil maksimal dengan persiapan yang mantap. Ditambah lagi, pimpinan redaksi kami—pak Johan yang ambisus dan tidak pernah ingin kalah. Ya, sebagai jurnalis yang sudah tiga tahun bergabung, aku cukup paham dengan keadaan seperti ini.
Peliputan kunjungan Prabowo dan Jokowi sudah mencapai garis akhir. Pekerjaan kami selanjutnya adalah membuat laporan dan hmm masih ada wawancara. Kami menyiapkannya dengan rapi. Kubaca daftar pertanyaan yang tlah disusun Dessy, berharap wawancara kali ini akan berjalan dengan lancar. Sejak menjadi jurnalis, sudah banyak pengamat politik yang aku wawancarai, dan seperti biasa, aku selalu melakukannya dengan baik dan mendapat respon positif dari pak Johan.
Dari kejauhan, kulihat sesosok lelaki yang tak asing di mataku. Ya, ia pernah kulihat, dan wajah itu benar-benar sangat mirip dengan seseorang yang bayangnya tlah lama hadir di benakku. Gigi gingsul yang hadir dalam senyumnya seakan memutar memoriku tujuh tahun yang lalu. Senyum yang mungkin hingga kini masih kurindukan. Mas Hanif. Tiba-tiba jantungku berdebar abnormal, kucoba baca lagi kertas yang yang kugenggam. Kali ini, bukan daftar pertanyaan yang kucaba, melainkan nama pengmat politik yang tertera di baris paling atas. Pratama Al Hanif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar