Dua
tahun berlalu, masih membekas guratan senyum yang terukir pada wajah teduhmu.
Senyum yang itu nampaknya begitu betah bersarang dalam lubuk hatiku, menempel
lebih lekat dan lengket. Senyum yang seperti virus, bahkan bayangnya pun selalu
membelah diri, hampir memenuhi dimensi waktu luangku dalam berbaris-baris
imajinasi. Senyum yang masih menjadi juara satu dalam hatiku.
Kau pernah terlalu dekat dengan sesorang? Ya,
begitu dekat hingga sangat sulit bagiku untuk melukiskannya. Kedekatan yang
mampu memunculkan rindu, tapi kami sama-sama bisu untuk mengungkapkan hal itu.
#
Aku
selalu ingat, Jumat itu. Ingatan yang selalu lebih pekat dari rumus-rumus
fisika, ingatan yang selalu lebih kuat dari berbagai istilah biologi yang
terjabar dalam buku bilingual setebal
3 sentimeter yang acap kali memberatkan ranselku. Saat itu, oksigen mungkin tak
tersuplai dengan baik ke dalam kelasku. Terlalu pengap dan membuat sistem
metabolisme tubuhku bekerja lebih hebat. Aku mengusap keringat sembari memindah
dudukku di bawah kipas angin. Dan rupanya, angin yang menari-nari di sela
baling-baling kipas itu berhasil membiusku, membuatku benar-benar tak bisa
mengelak pada rayuan sang kantuk.
Tidur,
sebuah kata menakjubkan yang selama ini paling aku gandrungi. Dan tidur adalah
sebuah kata yang selalu saja tiba-tiba berubah menjadi bangun saat sesuatu
membuatku terlalu kaget.
“Fridaaa, ada yang mencarimu!”
Sesosok gadis yang hadir dalam mimpi siangku sekonyong-kongong seperti nyata, bahkan aku baru menyadari
bahwa ini sungguh nyata ketika dia mencubit tanganku.
“Auuuggh, sakit tauk!” Aku bangun
dengan tergesa-gesa.
“Ada yang mencarimu tuh.” Kata Nala
sambil beringsut meninggalkan tempat dudukku.
“Mas Rio, pendamping kita waktu
MOS.”
“Ooooh, kenapa dia?”
“Tanya aja sendiri, tuh dia di depan
kelas.” Nala semakin ketus, mungkin masih tersisa puing-puing kesebalan saat
membangunkanku yang sulit keluar dari mimpi tadi.
“Iya, makasih.” Kataku sambil
cengengesan menuju depan pintu,
“Eh, Mas Rio, ada apa?”
“Nih ada yang mau kenalan katanya.”
“Siapa?” Tanyaku penasaran.
Tiba-tiba muncul seorang lelaki
berpawakan tinggi, rambutnya menjulang ke atas acak-acakan, agak basah
sepertinya habis keramas, dandanannya terlihat berantakan karena bajunya
keluar, ditambah tak ada sepotong hasduk pun yang nyangkut dikerah bajunya,
menambah kesan urakan, sepertinya dia
anak IPS, menurutku. Karena cowok model seperti itu biasa ditemui di
kelas-kelas jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial. Tapi ada yang janggal, dia membawa
secarik kertas dan pulpen hitam bermerk pilot, dengan muka yang tertunduk dia
segera menyodorkannya padaku. Aneh.
“Dik, boleh minta nomor hp?”
Celetuknya tanpa basa-basi, masih dengan muka yang tertunduk.
“Haaaaaah?” Aku hanya bisa
mengatakan satu kata yang mewakili perasaan kagetku, sambil mengucek-ucek
mataku yang masih ngantuk. Dan entah apa yang terfikir di benakku saat itu. Aku
mau saja dengan mudah menuliskan nomor hpku pada secarik kertas sobekan
berwarna putih yang disodorkannya tadi.
“Makasih ya.” Dia kemudian berlalu
begitu saja, disambut riuh tepuk tangan teman-teman yang tertawa habis-habisan.
Aku tidak tahu sama sekali asal
usulnya. Melihatnya pun belum pernah. Aku tak begitu memperhatikannya saat itu,
hanya saja aku sempat membaca nama yang melekat di bajunya, hmmm hanya seberkas
warna hitam berinisial “H” yang bisa tertangkap oleh lensa mataku, selanjutnya
apa? Aku tak bisa melihat dengan jernih tanpa kaca mata. Tapi ada satu hal yang
membuatku merasakan suatu hal yang aneh. Ada gigi gingsul manis yang menyertai
senyumannya.
Dan sejak saat itulah, aku mulai
mengenalnya, dan kemudian terlalu mengenalnya.
#
Entah
angin dari mana yang membuatku semakin tertarik padanya. Bukan, sama sekali
bukan karena kau adalah aktivis futsal, atau lebih lazimnya bisa disebut
sebagai atlet futsal andalan sekolah yang sering meraih berbagai medali dalam
setiap kejuaraan. Bukan pula karena kau termasuk salah satu model laki-laki
yang dianggap keren menurut teman-teman wanita. Aku hanya menyukai
kesederhanaan yang terpancar dalam senyum, lengkap dengan gigi gingsul yang
menambah kesan menarik, bagiku. Aku juga suka kedewasaanmu, menurutku kau salah
satu motivator hebat dalam hidupku. Sebuah kedekatan biasa dan sederhana, namun
aku merasa nyaman. Bukan sebuah kedekatan yang berlabel pacaran atau kedekatan-kedekatan
beristilah lainnya. Dan aku tak berharap lebih, aku hanya ingin sebuah rasa
aneh ini tetap berada dalam tiap degup jantungku memenuhi hari-hariku dan yang
paling penting rasa itu mampu melukiskan berbagai gejolak dalam kanvas hatiku,
apakah seperti ini yang orang-orang sebut dengan cinta?
“Aku tak
mau berteman denganmu lagi kalau semester ini kamu nggak jadi juara satu.” Raut mukanya mengancam, sekaligus berlagak
tanpa dosa.
“Apa?
Kau pikir juara satu itu segampang mengancingkan bajumu.” Kataku sambil
menunjuk ke arah kancing baju paling atasnya yang terbuka.
“Halaaah,
pakek nunjuk-nunjuk segala. Bilang aja mau lihat dada bidangku yang atletis
mirip pemain sepak bola Bambang Pamungkas.”
“Apaan
sih, nggak lucu tauk, weeeek.” Lidahku tak kuasa menjulur saat mendengannya
berkata tak penting macam itu.
“Pokoknya
harus juara satu, titik, weeeeek.” Dia merasa tak mau kalah, sambil menjulurkan
lidahnya yang panjang bagai lidah bunglon itu, dia membesarkan bola mata dengan
menarik kulit tipis di sekitar matanya. Menjijikkan!
#
Hari
berlalu begitu cepat. Angin sore ini terasa aneh. Aku tetap berjalan menuju
tempat parkir. Angin semakin kencang berkejaran di antara tubuh pendekku. Saat
ku mulai mengegas motor mio mungilku, seketika aku terdiam. Dia lagi ternyata.
Dari kejauhan tampak lelaki aneh itu lagi berjalan dengan meloncat-loncat ke
arah sepeda putih yang bertengger di tiang paling pinggir, tepat diujung
barisan tempat motorku terparkir. Kemudian dia melihat ke arahku sambil
melambaikan tangannya yang panjang.
“Heeeei
pendek, Kau pulang sendirian?” Dia selalu menanyakan sesuatu yang jelas-jelas
sudah jelas kalau aku memang pulang sendirian.
“Emang
kenapa? Bukannya aku tiap hari juga pulang naik motor sendiri? Atau Kau ingin
melamar jadi tukang ojekku? Kau sendiri juga pulang sendirian kan? Dasar aneh.”
Aku menghujaninya dengan pertanyaan bertubi-tubi untuk melampiaskan
kekesalanku.
Dia
malah tertawa cekikikan, mengayuh sepedanya ke arahku. “Selamat yaaa, cie juara
kelas, hahahaha.” Sepedanya pergi begitu saja, membiarkanku masih melongo di
parkiran sambil mengorek semua ingatanku, dari mana dia tahu hal itu. Ah,
mungkin dia terlalu memperhatikanku, atau aku yang memang kege-eran merasa
diperhatikannya. Yang jelas firasatku mengatakan kalau kita memang saling
memperhaikan. Entahlah, memikirkan hal itu membuat jantungku makin berdebar tak
tentu, lebih baik aku segera pulang karena nanti malam adalah acara perpisahan
kelas XII. Aku senang karena nanti band favoritku akan tampi sebagai guest star dan aku juga senang tadi
sempat bertemu mas mas aneh itu. Tapi tunggu. Nanti malam acara perpisahan, apa
itu artinya, hmmm. Mas Hanif? Mungkinkah setelah kelulusan ini kau akan pergi
jauh? Mungkinkah kau tetap mengingatkanku? Mungkinkah?
#
“Kenapa
nggak pulang?” Lelaki berusia sekitar 18 tahun tiba-tiba duduk di sampingku.
Mas Hanif lagi. Tapi kali ini dia tampak berbeda dari biasanya. Dia terlihat
lebih rapi memakai kemeja hijau dipadu dengan celana hitam dan kali ini dia
memakai sepatu panthofel, bukan sepatu futsal yang biasa menemani tiap langkah
kakinya di sekolah.
“Belum
dijemput, mungkin orang-orang rumah udah pada tidur, ditelpon nggak diangkat.”
“Sudah
ngantuk ya?”
“Enggak
kok, ngantuknya udah hilang soalnya tadi band Ungu tampil meriah sekali.”
“Butuh
teman? Hehehehe.” Gigi gingsulnya makin terlihat jelas saat dia tertawa dengan
khas.
“Mungkin.”
Lama
kami hanya berdiam bagai dua buah patung yang dipamerkan di depan gedung Sasana
Praja. Malam makin dingin, tampak teman-temanku yang masih asyik berfoto di
sekitar taman dan ada juga yang masih duduk-duduk di tangga gedung sambil
bernyanyi, mungkin mereka ingin menghabiskan malam perpisahan kali ini dengan
canda dan tawa yang masih tersisa. Mungkin juga mereka ingin mengabadikan momen
langka nan bersejarah seperti ini.
“Hmm Dik,
aku boleh bercerita?”
“Iya?”
“Sebelumnya,
selamat ya Kamu udah juara satu, hebat banget. Tapi maaf ya?”
“Iya,
hehe. Maaf kenapa Mas?”
“Aku
yang selalu mengingatkanmu untuk rajin belajar dan jadi juara kelas, tapi malah
nggak bisa ditiru.”
“Maksutmu?”
Aku mengernyitkan dahi, antara bingung dan kaget.
“Iya.
Tahun ini aku belum bisa nerusin kuliah. Nilaiku masih belum memenuhi syarat
untuk bea siswa, bapak juga nggak punya banyak duit, kuliah kan mahal.
Sedangkan kakak-kakakku? Mereka lagi banyak hutang, aku nggak mau ngrepotin
terus. Mungkin tahun depan aku akan coba SNMPTN jalur tulis.” Dia terdiam, tak
berani menatapku.
“Terus
apa rencanamu?”
“Aku
akan ikut kakakku yang di Bandung, mau kerja atau ngapain aja, yang penting
nggak diam di sini, di Ponorogo. Sambil mempersiapkan diri mencoba peruntungan
tahun depan. Ya, mungkin aku akan sulit mendengar kecrewetanmu lagi dan akan
sulit melihat senyummu yang kalau dipikir-pikir lumayan manis itu, hehehe.”
Aku
hanya diam, mencoba menahan bendunagan air mata yang mau ambrol. Dia meneruskan
perkataannya.
“Kejarlah
mimpimu, bukankah Kau ingin jadi penulis? Kalau Kau sudah mulai belajar di IPA,
harus sungguh-sungguh, jangan jadi anak IPA kayak aku ini. Aku masih ingat
puisi yang pernah Kau tulis di facebook, aku ingin menjadi merak yang kepak
sayap-sayapnya mengantarku menyentuh bianglala. Kau pasti bisa menyentuh
bianglalamu. Iya kan?”
Aku
hanya bisa diam, diam dan diam. Mulutku seakan membeku tuk sekedar
berkata-kata. Dan malam itu aku hanya mampu menunduk, melihat kaki bersepatu
panthofel hitam yang bersandar di sebelah kakiku, tanpa memandangnya.
#
Dua
bulan berlalu. Belajar di jurusan IPA memang tak semudah apa yang selama ini
berputar-putar dalam otakku. Tugas demi tugas, ulangan demi ulangan mulai dari
matematika, seni budaya, hingga bahasa Indonesia menjadi hantu yang tak lekang
dari setiap hembus nafasku.
“Fridaaaa,
bisa terlambat juga Kau. Hahahaha.” Aji, salah satu teman sekelas yang
tergabung dalam geng laki-laki super crewet.
“Iya
nih, semalem lembur. Abis subuhan tidur lagi, jadinya telat deh”
“Alesan wae! Makanya sekolah tuh yang bener,
dispen aja sih, jadinya tugas numpuk kan. Kena hukuman apa kamu tadi? Mbersihin
toilet apa nyabutin rumput? Hihihihi.” Dia malah ketawa cekikikan.
“Juweh banget sih kamu! Cuma disuruh
nyapu lab kimia kok. Tapi yang bikin nggak enak tuh, semprotan bu Etik bikin
mukaku basah kuyup.”
“Haha,
malah curcol. Mesakno mesakno, eh rasakno ding. Hahahahaha.”
Aku
hanya tersenyum sinis menanggapi perkataan Aji. Hari ini rupanya keadaan tak
bersikap ramah padaku. Tidur setelah sholat subuh memang membuat hari kacau.
Ditambah rasa bad mood di pagi hari,
hah lengkap sudah. Sampai siang pun akan terasa bad mood.
Hari
yang menyebalkan ini untungnya berlangsung cepat. Aku merasa terhibur karena
siang ini berlalu tanpa jadwal rapat satu pun. Dan pulang on time adalah kebahagiaan tersendiri untuk pembantu sekolah
sepertiku. Tempat parkir sekolah tampak lebih ramai dari biasanya, mungkin
karen aku pulang lebih awal. Deru suara motor terdengar menggema, terpantul
pada dinding-dinding kelas. Dari jauh kulihat sesosok lelaki berpawakan tinggi,
menunggang sepeda putih. Mas Ha-nif. Ternyata bukan. Mengapa bayangnya selalu
bergelantungan manja di mataku? Meski puluhan hari sudah tak membuatmu muncul
dihadapanku.
Bagaimana
bisa aku melupakan setiap rona pelangi yang berpendar di matamu? Dan kau tahu?
Aku tak pernah mencoba menghilangkan semua memori yang tertangkap oleh otakku
tentang pelangi itu dan rindu selalu membumbung tinggi ke langit saat pelangi
mulai berpendar dalam untaian imaji.
#
Malam
sabtu merupakan salah satu malam spesial setelah malam minggu. Ya, karena malam
ini aku tak perlu mengerjakan terlalu banyak PR. Hanya dua mata pelajaran yang
harus aku lalui esok pagi. Sungguh menyenangkan bukan? Pulang lebih pagi akan
membuat otakku istirahat, ya walau pun hampir selalu ada agenda rapat di hari
Sabtu setelah jam pelajaran usai.
Kucoba
rebahkan badanku di kasur, sebentar saja. Dua jam cukup untuk sekedar merefresh otak sebelum mulai mengerjakan
lapak tugas bahasa Indonesia untuk esok. Tiba-tiba ada sebuah SMS membuat handphoneku bergetar.
Dik, kayaknya aku harus pulang.
Kenapa Mas?
Bapakku udah nggak ada.
Aku
hanya larut dalam lamunan yang dalam. Kemudian ada sesuatu yang membuat dadaku
terasa begitu sesak dan pengap. Batang tenggorokanku rasanya seperti tercekik,
panas, dan tanpa menunggu aba-aba, kutumpahkan segala gejolak yang tiada bisa
kudefinisikan ini dengan tetes demi tetes air, mengalir dari bendungan mataku
yang ambrol.
#
Aku
mulai mengerti sekarang. Hidup bukan hanya tentang bagaimana kita mampu
bertahan melaluinya, namun hidup adalah bagaimana kita sanggup memberi arti di
dalamnya. Sebagai manusia yang lebih lama hidup dua tahun dariku, tentu kau
punya sudut pandang lain yang jarang tergambar oleh panca inderaku. Kau
memahami hidup dengan perjuangan tanpa lelah, meski takdir kerap membuatmu
terperosok dan terluka. Sedangkan aku? Mungkin aku masih terlalu awam memahami
hidup yang sesungguhnya, karena bagiku apa yang aku inginkan selalu tercapai
hanya dengan sedikit perjuangan. Ya, sedikit perjuangan. Sedangkan kau? Kau
perlu berkali-kali berjuang untuk sebuah keinginan yang belum tentu bisa
tercapai.
Aku tahu
bahwa banyak sekali dimensi yang berbeda antara kau dan aku. Sempat aku diberi
tahu beberapa kawan dekatmu kalau tiap hari kau mesti membantu ibukmu
mengerjakan semua pekerjaan rumah. Dan
hal itu selalu berlaku saat sebagian besar teman-temanmu sedang berkelut dengan
PR dan tugas sekolah atau bahkan justru bermain-main menghabiskan waktu. Belum
lagi jika bapakmu sakit, kau juga yang
harus bertanggung jawab atas kesehatannya. Masih tak lekang dalam ingatanku, kau bahkan sempat bekerja di salah
satu percetakan hingga larut malam. Entah apa yang membuatmu melakukan semua
itu, aku tak tahu. Kau selalu tersenyum, tertawa dan bersikap konyol dengan
menjahili teman-temanmu hanya untuk melampiaskan rasa lelah dan penat yang
menderamu.
Dan
sekarang, setelah takdir memutuskanmu dengan kasih sayang seorang bapak, kukira
lengkap sudah sayatan luka di hatimu. Sulit untuk seorang laki-laki untuk tetap
tegak berdiri tanpa didampingi seorang luar biasa yang berwujud sebagai seorang
bapak. Dan yang paling membuatku sungguh tak tahu harus berkata apa lagi adalah
ketika kuingat bahwa bapakmu pergi disaat kau tiada di sampingnya, kau tak
temani nafas terakhirnya berhembus bagai untaian kisah yang terhenti. Kupikir
sosok sepertimu pun tetap menangis, meski aku pun tak tahu bagaimana raut
wajahmu saat ini.
Aku
ingat tiga bulan yang lalu. Saat aku sengaja lewat di depan rumahmu, meski
kutahu kau tiada di rumah. Namun kala itu senja membuat rumahmu yang sepi itu
nampak ceria. Aku lihat lelaki renta yang uban putihnya tlah memenuhi kepalanya
sedang menyiram tanaman. Dia sempat tersenyum ke arahku walau mungkin dia tak
mengenal siapa aku. Sesekali dia tutup mulutnya dengan selembar sapu tangan,
dan batuknya saat itu sungguh mengerikan. Aku tak tahu batuk jenis apa itu, yang
kutahu aku sering dengar batuk seperti itu di televisi yang aktornya menderita
sakit parah. Saat itu aku hanya berharap, dia akan baik-baik saja.
Aku juga
masih ingat saat aku ikut teman-temanmu mengiringi kepergian bapakmu yang
terakhir. Saat itu kudengar isak tangis pecah sesaat setelah jasad bapakmu
dikebumikan. Kulihat juga seorang wanita yang tangisnya lebih hebat dari yang
lain, mungkin dia kakakmu atau ibumu, pikirku. Saat itu udara yang tampak aneh
seakan menelusup ke dalam tubuhku, mengalir dan menyesakkan dadaku. Aku hanya
bisa menahannya, menahannya karena aku malu jika saat itu aku menagis.
Aku
tampak layu, pulang dari pemakaman itu membuat mulutku kaku tuk sekedar
berkata-kata atau pun tersenyum. Kuputuskan tuk menemui kawan dekatku, dan
tatkala kujabarkan apa yang tlah terjadi, aku tak bisa lagi membendung sesak di
dada ini, kutumpahkan air mata yang entah mengapa air itu secara reflek
mengalir begitu saja. Kau tahu? Mengenang saat itu pun seperti mengingatkanku
pada sosok bapakku, kucoba tuk tak membayangkan bagaimana jika itu terjadi pada
bapakku. Namun imajinasiku memang terkadang membantahku, aku terus saja
membayangkan bagaimana rasa kehilangan seorang bapak. Aku jadi kepikiran
bapakku. Seorang bapak yang selalu ada untuk hari-hari terberatku. Seorang
bapak yang hampir selalu menuruti kemauanku. Seorang bapak yang selalu berusaha
menghiburku, meski terkadang aku tak memperhatikannya. Aku ingat saat bapak
berusaha memperbaiki ban motorku yang bocor, bapak yang rela mengantarkanku
membeli buku gambar saat hujan deras, bapak yang menjemputku pulang larut malam
saat ada acara sekolah, bapak yang selalu menyuruhku shalat berjamaah di masjid
dan bapak yang mungkin rela melakukan apa pun untukku. Walaupun aku jarang
memperhatikannya, walaupun aku sering lupa berterima kasih padanya, walaupun
aku masih sering membantahnya.
Ya,
Allah pasti punya rencana lain untukmu. Aku baru menyadari bahwa tiap doa yang
kita lantunkan pada Allah tak semua bisa terwujudkan. Kadangkala, doa itu akan
dikabulkan suatu hari nanti disaat yang tepat, atau doa itu akan berubah
menjadi kenyataan yang lebih baik. Dan kupikir, Allah tak akan memberi cobaan
di luar batas kemampuan hambanya, bukankah begitu?
Dua
tahun memang tlah berlalu, aku juga tak pernah lagi melihatmu. Tlah lama kau
kembali di perantauan dan tlah lama
pula, tak ada satu pun kabar darimu. Kita memang tak lagi bertukar pesan lewat
SMS, kita juga tak lagi berjumpa dalam momen-momen sederhana. Celoteh dan gigi
gingsul yang selalu menemani senyummu itu masih melekat kuat dalam hatiku. Ya,
aku memang merindukanmu. Kucuba untuk menghubungimu, namun rupanya—nomormu tak
aktif. Sebenarnya, aku hanya ingin mengetahui keadaanmu, itu saja. Apa kau
benar-benar melupakanku? Sempat tersirat dalam nalarku, mengapa kau tiba-tiba
hadir dan menghilang tanpa meninggalkan perasaan yang jelas—apa kau juga
mencintaiku?
#
Mas Hanif, sekarang aku sudah lulus.
Nilaiku? Lumayan. Kautak akan marah kan bila aku tidak juara satu kali ini?
Ujian nasionalnya sulit, apa lagi banyak teman-teman yang curang. Tapi kauharus
senang, aku sudah diterima di perguruan tinggi yang pernah aku ceritakan
padamu. Aku tetap ingin jadi penulis. Kau dimana? Aku kangen. Senyummu selalu
menjadi juara satu di hatiku. Aku tak bisa benar-benar tak memikirkanmu. Dua
tahun tak berjumpa. Adakah yang berubah darimu? Hari ini aku akan berangkat ke
Depok, naik kereta. Kausuka naik kereta? Ah kupikir kauhanya suka naik sepeda.
Oh ya, sepedamu yang putih itu masih di rumah? Atau kaubawa ke Bandung? Hmm.
Mas Hanif, aku sayang kamu.
Aku
menuliskannya pada selembar kertas. Kuselipkan dalam binderku. Ya, malam ini
aku harus berangkat. Mengadu segala ambisi dan harapanku di perantauan.
Entahlah, mengapa rasa itu masih saja bersemayam dalam hati. Aku tak yakin,
kelak aku akan bertemu lagi denganmu, atau tidak. Dan anehnya, mengapa aku tak
sedikit pun berusaha membunuh rasa yang lama-lama semakin merasuki jiwaku.
Mengapa aku masih memendam satu harapan—yang entah masuk akal atau tidak.
Bahkan, bila aku dipertemukan sekali lagi denganmu, tak ada yang menjamin
apakah kaumasih sendiri—atau tidak.
#
Adzan subuh baru selesai tiga puluh
menit yang lalu, syukurlah aku sudah sempat sholt. Kuturun dari motor baruku
dan berlari menuju sebuah gedung megah yang setiap hari harus kujejaki. Aku terlambat.
Ya, kemacetan membuat motorku stagnasi, tak bergerak, dan pada akhirnya, ia
dapat bergerak—walau perlahan. Jakarta selalu seperti ini tiga tahun sudah aku
bekerja sebagai jurnalis di media televisi ini. Dan seperti itulah, media
masa—tetap saja—penuh tantangan. Kami seakan buron yang selalu dikejar oleh
waktu dan deadline. Ya, benar saja,
keterlambatanku kini—sedikit banyak—akan berpengaruh besar pada posisiku dan
juga rekan-rekan sejawat yang satu tim denganku.
“Frida!
Lo terlambat hari ini, bodoh!” Teriak lelaki tinggi besar, berkumis tebal, dan
dia adalah atasanku.
“Ma
Maaf, Pak.”
“Sudahlah,
ga ada waktu lagi, lo dan kawan-kawanmu ini harus segera pergi ke istana
negara, itu Prabowo sama Jokowi keburu dateng. Lo mau rating kita turun? Gue
pecat lu kalo kagak kelar nih berita.”
“Iya,
Pak.” Sial. Gerutuku dalam hati.
“Satu
lagi, jangan lupa soal agenda wawancara dengan pengamat politik. Jadwal sama
daftar pertanyaannya Dessy yang atur. Lo yang tinggal nanya-nyanya aja. Udah,
cepetan pergi! Bikin emosi aja kalian nih.”
#
Sebenarnya
kami tidak terlambat, hanya saja sebagai reporter di salah satu stasiun
televisi swasta terkemuka, kami harus tampil maksimal dengan persiapan yang
mantap. Ditambah lagi, pimpinan redaksi kami—pak Johan yang ambisus dan tidak
pernah ingin kalah. Ya, sebagai jurnalis yang sudah tiga tahun bergabung, aku
cukup paham dengan keadaan seperti ini.
Peliputan
kunjungan Prabowo dan Jokowi sudah mencapai garis akhir. Pekerjaan kami
selanjutnya adalah membuat laporan dan hmm masih ada wawancara. Kami
menyiapkannya dengan rapi. Kubaca daftar pertanyaan yang tlah disusun Dessy,
berharap wawancara kali ini akan berjalan dengan lancar. Sejak menjadi
jurnalis, sudah banyak pengamat politik yang aku wawancarai, dan seperti biasa,
aku selalu melakukannya dengan baik dan mendapat respon positif dari pak Johan.
Dari
kejauhan, kulihat sesosok lelaki yang tak asing di mataku. Ya, ia pernah
kulihat, dan wajah itu benar-benar sangat mirip dengan seseorang yang bayangnya
tlah lama hadir di benakku. Gigi gingsul yang hadir dalam senyumnya seakan
memutar memoriku tujuh tahun yang lalu. Senyum yang mungkin hingga kini masih
kurindukan. Mas Hanif. Tiba-tiba jantungku berdebar abnormal, kucoba baca lagi
kertas yang yang kugenggam. Kali ini, bukan daftar pertanyaan yang kucaba,
melainkan nama pengmat politik yang tertera di baris paling atas. Pratama Al
Hanif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar