Tidak ada yang mengetahui bagaimana
masa depan itu. Ada sebuah takdir yang mengantarkan kita untuk bernafas di alam
dunia. Alam yang sangat kejam menyiksa, dan alam yang sangat baik memberi pada
manusia. Dan aku selalu yakin bahwa alam ini hanya perantara Tuhan untuk
memilih jiwa mana yang pantas berada dalam kasih-Nya di kehidupan abadi.
Aku sendiri seorang manusia. Aku
percaya bahwa Tuhan selalu menetapkan takdir untuk masing-masing hamba. Jodoh,
maut, dan rezeki. Tiga hal itulah yang sering disebut oleh guru agama di
sekolahku. Dan ia juga selalu semangat ketika menjelaskan suatu ayat yang
menyatakan bahwa beserta kesulitan ada kemudahan. Walaupun aku bukan termasuk
siswi yang sangat pandai dalam urusan agama, namun aku percaya bahwa Tuhan
selalu mempunyai rencana terbaik untuk hamba-Nya.
***
Namanya Isa. Benar, seperti nama
seorang nabi yang dianugerahi sebuah mahakarya Tuhan yang sangat fenomenal,
yaitu Injil. Kata orang, nama adalah doa dan mungkin doa orang tuanya, sedikit
banyak terkabul. Versiku, Isa adalah siswa terpandai di kelas. Aku melihat dari
sudut pandang nilai akademisnya yang selalu paling menonjol dan kemampuannya di
bidang lain. Ya, Isa juga teramat lihai menari. Dan percaya atau tidak, sering
imajinasiku melayang menembus batas nalar. Aku begitu larut dan menghayati saat imajinasi itu mulai bergerak. Mungkin, semua
orang akan terbahak-bahak dalam tawanya saat mereka mengetahui bahwa aku yang
bodoh ini, sangat ingin berada di posisi Isa. Andai sorak pujian acap kali
mengiringi hidupku. Guru-guru seakan takluk, seperti halnya kawan-kawan yang
selalu berkerumun, mengelilingi duniaku yang terlalu indah tuk dilewatkan.
Juga, orang tua yang teramat sempurna dengan kasih sayang, pengertian, dan
hartanya yang siap mendukung cita-citaku. Ya, bukankah imajinasi selalu tidak
diterima oleh logika?
***
“Remidi lagi!” Ucapku kesal.
Aku
sering sekali seperti itu, mengeluhkan kegagalan pada hal-hal sederhana yang
sebenarnya tak akan pernah menghindar dari hidupku.
“Sudahlah Langit, ini bukan ulangan
harian terakhir kok.” Ujarnya bijak.
“Tapi
sudah berapa kali aku mendapat nilai di bawah standar? Kamu bahkan tak bisa
menghitungnya kan?”
“Tuhan
pasti punya rencana. Bukankah Ia selalu memberikan kelebihan atas kekurangan
hamba-Nya?”
“Basi
tauk.”
Aku
meninggalkan Isa yang aku tahu, ia berusaha menghiburku untuk kesekian kalinya.
Dan kali ini, aku sangat malas dengan hiburannya yang menurutku selalu lebih
condong kepada nasihat-nasihat. Entah karena ia terlalu cerdas sehingga hiburan
pun merupa motivasi.
“Hei,
tunggu. Langit, Sonngolangit?” Isa berlari sambil mengikuti langkahku.
“Apa sih
Sa?”
“Kamu
kan udah janji tadi mau ke sanggar bareng. Masa gara-gara nilai biologi tadi
kamu jadi marah sama aku.”
“Hmm
enggak kok, maaf ya Sa, aku lagi sebel tadi.”
“Iyaa
Songgolangit yang cantiiik, hehehe.”
Aku dan
Isa berteman dengan sangat akrab. Entahlah, mungkin akan orang mengatakan bahwa
kami bersahabat, tapi kami berdua sepakat dengan hal yang sama—sama-sama tak
pernah menyinggung perihal status hubungan ini. entah sahabat, teman biasa,
atau yang lainnya. Kami ini kawan sekelas, kami juga tergabung di sanggar tari
yang sama, bahkan lebih spesifik, kami berada dalam satu grup tari andalan
sekolah, grup reog Gajah Manggolo. Dan sudah dapat ditebak, itulah yang membuat
kami selalu bersama.
“Langit
pakai dong selendangnya. Mau mulai nih.”
“Iya
iyaa. Kamu juga belum pakai tuh topeng.”
“Kamu
dong yang makekin.”
“Ih,
napa mesti aku coba, weeellk.”
Alunan
gamelan dan sompret (terompet khas Ponorogo yang dipakai dalam pementasan reog)
yang nyaring menggiring kami pada gerak tarian. Tari reog terdiri dari beberapa
tokoh dengan ragam gerak yang berbeda. Ada jathil, penari perempuan dengan
membawa jaranan--anyaman berbentuk kuda yang melambangkan pasukan berkuda. Ada
juga warok, pasukan laki-laki berkumis dan berjenggot tebal dengan pakaian
serba hitam, lalu ada klana sewandana, sang prabu yang sangat berwibawa, bujang
ganong, prajurit lincah yang sangat atraktif, dan dadak merak yang fenomenal,
mereka menari sambil mengenakan topeng besar yang sering disebut sebagai ikon
tari reog itu sendiri. Kami sangat bersemangat. Acara Festival Reog Nasional
tahun ini harus kami menangkan. Maklum, sebagai salah satu sekolah menengah
atas favorit, eksistensi kami sangat dipertaruhkan.
Aku
sangat antusias menunjukkan tarian terbaikku, begitu pula dengan teman yang
lain. Pada satu waktu, mataku tertuju pada seseorang, ia menari dengan sangat
sempurna menurutku. Isa. Kali ini ia begitu gagah, gerakannya juga luwes dan
indah. Pantas saja, banyak gadis yang terpikat hatinya setelah melihatnya
menari sedemikian gagah. Dan mengapa, ada satu getar aneh yang bergejolak di
dalam dadaku.
“Capek
Saa?” Kataku sambil mengusapkan tisu pada kening Isa.
“Makasih.
Iyalah, kamu nggak capek emang? Sini, duduk.” Isa menarik tanganku hingga aku
benar-benar terduduk di sampingnya.
“Capek
juga, hehe. Eh Sa, ajarin aku ngerjakan PR dong. Takut dapet nilai jelek lagi
nih.”
“Iyaa,
kapan? Hari ini? Apa sih yang enggak buat kamu.”
“Ah kamu
mah ada-ada aja. Iya, boleh deh. Aku ke rumahmu yaa?”
“Oke
deh, siiaapp.”
***
“Assalamu’alaikuum.”
“Wa’alaikum
salam. Eh, Langit, silakan masuk. Cari Isa ya? Bentar tante panggilin.” Sebuah
tangan halus merangkul pundakku, membawaku masuk ke dalam istananya yang megah.
“Iya Tante, makasih.”
“Hai Langit, dateng ya rupanya, niat
juga kamu belajar, hehehe”
“Ah Isa mah ngejek. Tuh Tante,
Isanya jahaat.”
“Isa ga
boleh gitu, temennya pengen pinter kok diejek sih. Oh ya kalian belajar yang
rajin yaa, tante buatkan minum yang enak .
Isa
memang beruntung. Ia punya ibu yang mirip dengan malaikat. Tante Riski seorang
dokter. Selain cantik, ia juga ibu yang sempurna untuk keluarganya. Ia mengurus
setiap detail kebutuhan Isa dan ayahnya tanpa cacat. Tante juga seorang yang
dermawan, ia seringkali membuka pengobatan gratis bagi warga di pedesaan yang
kekurangan asupan medis. Karena kebaikannya itulah, Isa bercita-cita menjadi
seorang dokter. Sangat pas, menurutku. Isa cerdas dan ia juga baik. Apa coba
yang perlu diragukan dari kemampuan Isa. Ia pasti akan dengan mudah meraih apa
yang ia impikan. Tidak sepertiku.
Aku
memang terlahir dari rahim seorang seniman. Ibuku pesinden dan bapakku adalah
penari reog. Kami tinggal di desa Sumoroto, desa yang sangat terkenal karena
banyak seniman Ponorogo yang terlahir di sana. Namaku pun sangat kental dengan
aroma seni. Songgolangit. Itu adalah nama terindah yang pernah kutemui. Nama
itu pemberian kakek. Kakek yang seorang dalang mengerti betul istilah-istilah
jawa kuno dan juga tokoh-tokoh dalam pewayangan ataupun sendra tari daerah.
Kata kakek, songgo berarti penyangga, secara sederhana namaku dapat dimaknai sebagai
penyangga langit. Ya, kakek sangat ingin cucu perempuan satu-satunya ini kelak
dapat meraih cita-citanya setinggi langit dan dapat bermanfaat untuk orang
lain. Songgolangit juga diambil dari nama seorang dewi yang diperebutkan oleh
Klana Sewandana dan Singo Barong dalam cerita fiksi asal usul lahirnya Reog
Ponorogo. Karena itu, tak heran jika tari reog seakan menjadi nyawa bagi
batinku. Aku sangat ingin menjadi penari profesional, kuliah di Institut Seni
atau setidaknya menjadi guru tari dengan memilih prodi pendidikan seni tari di
salah satu universitas. Namun, bapak selalu melarangku. Ya, kehidupan seniman
Ponorogo yang pas-pasan bahkan cenderung kesusahan membuatnya berpikir bahwa
alangkah baiknya jika aku memilih jalan hidup yang berbeda—tidak seperti bapak.
Bapak
sangat ingin aku menjadi orang sukses kelak. Dan saat ini, definisi sukses
menurutnya adalah hanya dengan menjadi seorang dokter. Ia terinspirasi dari
kisah dokter Rully, dokter spesialis kulit dan kelamin di kotaku. Selain sukses
menjadi dokter di rumah sakit, ia juga berhasil membuka praktik yang hingga
kini laris manis dengan antrian yang sangat panjang setiap hari, karena
kliniknya juga melayani paket perawatan kecantikan yang sangat digandrungi
remaja saat ini. Setiap kali keluar dari rumahnya yang super mewah, ia selalu
menunggangi BMW hitam yang pasti mengkilat ketika tersorot sinar mentari. Siapa
coba yang tidak ingin sepertinya? Dan yang lebih mengherankan, dokter Rully
adalah ayah Isa. Ya Tuhan, mengapa semua seolah saling terkait?
“Hush,
nglamun aja. Langiitt.” Isa berteriak sambil mencubit kedua pipiku.
“Isaaa, sakit tauk. Lepasin nggak?” Kutarik tangan
Isa, tapi tarikan itu seakan percuma. Aku tak berdaya. Getar aneh itu kembali muncul.
Getar itu lirih, namun pasti. Pasti membuat hatiku kalang kabut tak karuan.
“Pelit amat sih, Cuma nyubit pipi juga.” Isa
melepaskan tangannya yang menyentuh kedua pipiku yang memerah. Aku bernapas
lega. Namun mengapa getar itu tak kunjung reda?
“Kamu nglamun apa sih?” Ia menatapku. Kedua matanya
menjelma belati—tajam, dan sepertinya sanggup mencabik-cabik batinku. Ia semakin
mendekatkan matanya, mengernyitkan kening,dan gelagatnya seperti seseorang yang
sangat penasaran. Hingga matanya benar-binar hanya enam centimeter di depan
mataku.
“Jangan dekat dekaaat.” Refleks kedua telapak
tanganku menutupi wajahku.
“Kamu napa sih, lebay banget, huuu.”
“Salah kamu juga sih, ngagetin.”
“Kok aku yang salah sih?”
“Iya, kamu.”
“Ya ya ya, wanita memang merasa selalu benar.”
“Biarin, weeellk.”
“Awas yaaa.” Isa mengejarku. Ya, kami berkejaran
layaknya anak kecil yang bermain maling-malingan.
“Isaa, lepasin tanganku.”
“Nggak, sampai kamu cerita apa yg kamu lamunin tadi.”
“Nggak maauu Isaaa.”
“Ayolaah, kamu nglamunin aku kan?”
“Enggak, pede amat sih.” Isa tetap menarik
tanganku—lebih kuat, hingga akhirnya tanpa sengaja, tubuhku terjatuh tepat di
pelukannya.
“Maaf, maaf Langit, aku nggak sengaja.” Sontak Isa
melepaskan tubuhku.
“Iya, nggak papa kok.”
Mengapa
getar itu ada terus menerus, saat aku terlalu dekat dengan Isa? Apakah
benar getar itu mengisyaratkan adanya
rasa yang tumbuh perlahan di dalam hati? Entahlah, aku hanya menahan rasa itu
dengan diam. Karena rasa yang tak pantas hadir akan semakin menggoreskan luka
dalam batin. Dan mungkin hanya diam yang bisa menutupi rasa itu darinya, atau
bahkan lama-lama terpendam, dan sirna. Aku tak mungkin pantas menaruh rasa
sedalam itu pada sosok Isa. Ia dan kehidupannya terlalu sempurna untuk
bersanding denganku dan kehidupanku yang carut-marut dalam kekurangan.
***
Sebulan
ini, aku menjelma manusia galau yang sering murung dan melamun. Bukan, bukan
hanya perihal getar aneh yang menghantuiku saat benakku memutar memori tentang
Isa, namun lebih dari itu. Tentang masa depan. Aku tak pernah sebelumnya,
mengkhawatirkan masa depan separah ini. Ya, bapak jatuh sakit. Hipertensinya
kambuh, dan kali ini makin parah. Sebulan sudah, bapak tidak menerima tawaran
menari di beberapa pementasan reog. Maklum, dalam kondisinya yang sakit,
sebagai penari yang memerankan tokoh Singo Barong, membawa Dadak merak yang
memiliki berat puluhan kilo dengan menggunakan gigi akan membuatnya semakin
pusing. Belum lagi ibuk yang sepi tawaran menyinden. Ya, akhir-akhir ini
pementasan wayang kulit memang sudah jarang diminati, sudah terkalahkan oleh
pementasan dangdut dan juga konser-konser lagu pop. Dan benar, kondisi keuangan
keluargaku sudah dipastikan hampir menyentuh batas krisis. Belum lagi, sebagai
siswi kelas XII aku membutuhkan banyak biaya. Apalagi, hmm biaya kuliah.
Pikiranku tentang kuliah seakan menjadi hantu yang mengganggu. Aku ingin
mengubah nasib keluargaku, membanggakan bapak juga ibuk. Tapi, dengan
keterbatasanku dan kemampuanku yang hanya seperti ini apakah aku bisa? Aku bisa
saja mengajukan keringanan dan ikut program bidik misi yang diselenggarakan
pemerintah bagi siswa kurang mampu. Tapi, nilai raporku tak cukup bersaing
dalam ajang SNMPTN. Aku juga tak cukup pandai jika harus bersaing lewat jalur
tulis. Dan menurutku, satu-satunya cara agar aku bisa menempuh pendidikan
sarjana adalah dengan mendaftar di institut atau sekolah tinggi seni, tapi
bukankah belajar di sana butuh biaya? Terlebih lagi, bapak selalu ingin anak
perempuannya ini menjadi dokter—seperti cita-cita Isa. Kadang aku berpikir,
mengapa aku tak sepandai Isa? Mengapa bapakku tak mendukung keinginanku seperti
halnya ayah Isa? Ah, berandai-andai tak akan mengubah keadaan, ia hanya akan
menambah daftar panjang kepedihan.
“Songgolangiitt,
yeay, kita menang!”
“Apa sih
Saa?”
“Kita
juara satuuu.” Teriaknya sambil mengoyak-ngoyak pundakku.
“Juara
apa?”
“Festival
Reog Nasional. FRN! Kita akan makan besaarr.”
“Oh,
menang ya rupanya. Syukurlah.”
“Kamu
kok nggak semangat sih Lang, biasanya kamu tuh yang paling heboh kalo menang. Kamu
mikirin apa sih?”
“Apa
kamu lupa, besok pengumpulan angket SNMPTN. Aku bingung.”
“Iya,
gak lupa sih. Bingung kenapa? Bukannya kamu pengen banget ambil seni tari ya?”
“Percuma
Sa.”
“Percuma
kenapa?”
“Aku gak
punya biaya.”
“Tapi
bukannya ada program bidik misi ya?”
“Nilaiku
terlalu buruk untuk bersaing.”
“Kamu
jangan pesimis lah, sayaangg. Senyum dong.”
“Hmm
sayang?”
“Eh,
enggak enggaak, kamu aja pantes dipanggil sayang-sayang. Aku Cuma bercanda
tauk. Yeee.”
“Kenapa
gak pantes?”
“Ya
lihatlah, ngaca. Nilai kamu jelek gitu, mana gak pede lagi. Hahahaaa, tar kalo
kamu jadi cewekku, malu lah aku ini. Hahaha.”
“Dasaarr,
nyebelin.”
Aku
tahu Isa hanya bercanda. Tapi kalimat Isa memang benar. Aku—yang belum tentu
kuliah ini—mana pantas bersanding dengan Isa? Isa mungkin akan sangat mudah
untuk sukses dalam dunianya. Dan, ia pasti sangat mudah mendapatkan seorang
pendamping yang sama hebatnya. Terkadang aku menganggap—diriku ini terlalu
banyak berkhayal.
***
Isa selalu punya hal yang
membuatku—dan bahkan semua orang bangga. Sebagai lulusan dengan nilai ijazah
terbaik se-Kabupaten Ponorogo sudah cukup membuktikan bahwa Isa memang
benar-benar tanpa tandingan—maksudku tanpa tandingan di hatiku. Lengkap sudah.
Menurutku ia selalu sukses mendapatkan apa yang ia inginkan—dengan sangat
mudah.
Pendidikan Dokter Universitas
Indonesia. Siapa yang tak bergidik mendengarnya. Di sekolahku, pendidikan
dokter masih menjadi primadona yang diburu oleh banyak siswa. Dan, sudah
menjadi mitos bahwa setiap tahun hanya ada satu tempat untuk pendidikan dokter
di UI, hanya mereka yang menduduki juara satu paralel yang pantas
mendapatkannya—termasuk Isa. Kali ini, aku memerhatikan Isa dari jauh saja, tak
seperti biasanya. Aku hanya tak ingin tawanya yang lepas ternodai olehku. Ya,
semenjak dulu aku sering mengecewakan. Apa lagi masalah sekolah. Peringkat
ujung selalu menjadi tempat yang pas untukku—menurut semua guru. Dan bagaimana
denganku? Aku tidak lolos SNMPTN. Kuliah bagiku hanya mimpi yang sulit untuk
terwujud. Benar saja, ayahku semakin parah. Dan bahkan kini ia menderita
stroke. Ibuk harus menghidupi kelima anaknya. Ya, sebagai anak sulung aku ikut
merasakan kepedihan ibuk. Aku harus bekerja, membantu ibuk. Aku bekerja sebagai
penari jathil yang mengisi berbagai pementasan. Dengan kondisi yang seperti
ini, mana siap aku—bila Isa melihatku dan bertanya tentang keadaanku. Malu itu
wajar, tapi bukan itu sebenarnya yang membuatku enggan bila Isa melihatku. Aku
takut, rasa yang tak pantas ini kembali tumbuh, dan subur.
Empat tahun sudah kami tak bertemu.
Sebenarnya Isa sering menghubungiku, namun aku berusaha mengabaikannya. Saat ia
libur kuliah, ia juga datang ke rumah—ingin menengokku. Tapi aku selalu
menghindar dan berpura-pura sakit atau kalau tidak, aku minta tolong ibuk untuk
berbohong. Mengapa aku selalu tidak siap bertemu Isa? Aku hanya ingin khayalan
masa laluku terhapus. Dan harapanku untuk memiliki Isa sirna. Kami terpaut
jarak yang jauh. Bukan hanya karena Isa kuliah di depok—jauh dari Ponorogo.
Namun , kami terpaut jarak dalam banyak hal. Rezeki, nasib, juga masa depan.
Ya, kuakui, keburukanku adalah aku selalu menghakimi masa depanku sendiri. Aku
sering merasa bahwa tidak ada peluangku untuk berhasil dan membanggakan.
“Songgolangit. Itu kamu kan?”
Aku segera menoleh. Isa. Aku terlalu
larut dalam lamunan hingga tak menyadari bahwa Isa kini berdiri di sampingku.
Benar-benar di sampingku. Aku bergeges pergi dengan berlari, berharap Isa tak
mengejarku atau kalau pun ia mengejar—semoga tak terkejar.
“Mau kemana? Langit,
kenapa harus lari?” Harapanku tak berujung nyata. Isa mengejarku dan ia berlari
mendahuluiku. Ia mencengkram tanganku, menghentikan langkahku.
“Lepasin Sa, aku ada urusan.”
“Urusan apa? Bukannya pementasan
sudah selesai?”
“Kamu gak perlu tahu, lepasin
sekarang.”
“Enggak, kamu selalu menghindar. Ada
apa sebenarnya denganmu ini Lang?”
“Aku
gak yakin kamu akan paham, udahlah Sa, lepasin.”
Tanganku
memberontak, dan ia berhasil terlepas dari genggaman Isa. Tapi, Isa sungguh
nekat kali ini. Ia tetap mengejarku hingga aku mendapatinya terjatuh, ada
sebuah batu bear yang menyandung kakinya. Dan darah segar mengucur dari
kakinya. Walau sebenarnya, bisa saja aku berlari lebih kencang hingg Isa tak
mendapatiku lagi, tapi siapa yang tega melihat sosok yang selama ini bersemayam
dalam hati tiba-tiba jatuh dan terluka.
“Isa,
kakimu sakit? Berdarah Sa. Aku bawa kamu ke puskesmas ya?” Kataku panik.
“Nggak
parah kok Lang, ga usah khawatir kaya gitu.”
Ia
bahkan masih sempat tersenyum walau sambil menahan sakit. Akhirnya, aku membawa
Isa ke puskesmas. Aku menghela nafas lega, saat kakinya berhasil diobati oleh
perawat.
“Masih
sakit Sa?”
“Dikit
kok, hehe makanya kamu jangan ngajak lari-lari dong.”
“Isaaa,
hmmm. Maaf yaa. Aku jadi buat kakimu sakit kaya gini.”
“Enggak,
tadi kan aku jatuh sendiri, bukan karena kamu.”
“Hmm”
“Langit?”
“Apa”
“Kenapa
sih kamu selalu menghindariku? Kita kan sudah lama berteman. Aku ada salah ya
sama kamu?”
“Bukan
gitu Saa, hmm.”
“Terus
kenapa?”
“Hmm.” Apa iya aku harus jujur sama
Isa kali ini?
***
“Adik, ayo jangan lari-lari teruuss,
mamah capek nih.”
“Iya iya maah. Mamah lihat deh
pesawatnya bagus kan ngiieeng ngieeengg. Hehe.”
“Iya, bagus, Nak. Kamu kalo udah
besar pengen jadi pilot ya?”
“Iya maaah, adik pengen jadi pilot biar
bisa lihat matahari dari deket.”
“Ya nggak bisa, matahari kan panas,
adik gak bisa deket-deket matahari.”
“Hmm, masa sih Mah?”
“Hehe, iyaaa.”
Senyumku mengembang, senang rasanya
melihat anakku begitu bahagia. Aku bersyukur karena anakku punya kebahagian
yang lebih, ya bahkan jauh lebih bahagia bila dibanding dengan masa kecilku.
Saat ini, aku bisa membelikannya mainan apa pun yang ia minta. Oh Tuhan, betapa
bahagianya aku kini. Ternyata benar kata guru agamaku dulu, Tuhan adalah
seadil-adilnya zat di alam semesta. Ia jauh lebih mengerti, sekali pun apa yang
terpendam dalam hatiku. Aku semakin yakin bila rencana Tuhan jauh lebih indah
daripada rencana manusia.
“Mah,
lagi apa ini? Waah adik lagi makan ya?” Ia menggendong anakku dengan sepenuh
rasa.
“Papah
pulaangg.” Seperti biasa anakku selalu riang pabila ayahnya pulang dari
tempatnya bekerja.
“Wah,
iya, Papah pulang. Papah mau disuapin juga?”
“Hehe,
enggak ah, malu nih sama adik. Nanti aja mamah siapin spesial buat papah ya.”
“Iya sayaangg.”
Iya, aku sudah menikah dan punya
satu orang anak. Sudah enam tahun usia pernikahan kami, dan semua terasa sangat
indah. Dan, pernikahan ini membuat hidupku banyak berubah. Suamiku sangat baik.
Ia selalu ada waktu untuk keluarga di sela-sela kesibukannya. Kini, aku juga
telah mempunyai sanggar tari sendiri. Oh ya, sanggar ini tidak dibiayai oleh
suamiku, tapi semua memang hasil dari jerih payahku menekuni dunia seni,
terutama tari reog. Aku sekarang tidak tinggal di Ponorogo, aku tinggal di
Bekasi, mengikuti suami. Bapak sudah lama meninggal, dan sekarang ibuk kubawa
serta ke Bekasi, usianya yang semakin senja juga mengharuskan ia untuk tidak
menyinden lagi. Dan sekarang, ibuk punya kesibukan baru—membantuku mengurus
sanggar.
Banyak yang bertanya, bagaimana
hidupku bisa seberuntung ini. Sebenarnya, aku tidak memaknainya sebagai
keberuntungan. Kegagalanku di masa lalu telah mengajariku banyak hal, terutama
belajar untuk menata diri untuk menjadi yang terbaik bagi orang-orang yang aku
cintai, termasuk suamiku, Isa. Ya, ataukah ini memang takdir? Entahlah. Isa
menjadi peraduan cintaku yang terakhir. Walau harus susah payah memendamnya,
dulu. Dan sebenarnya, aku termasuk seseorang yang dianugerahi anugerah. Ya,
aku—salah satu manusia yang punya kesempatan kedua. Kesempatan untuk
menyatakan, mengutarakan apa yang ada di dalam hatiku. Karena, terkadang tidak
ada kesempatan kedua untuk yang selalu diam dan memendam. Dan aku mensyukuri
itu. Kejadian saat Isa terjatuh karena mengejarku silam adalah jembatan untukku
mengatakan sesuatu, bahwa aku benar-benar mencintai Isa. Dan siapa yang
menyangka, Isa pun memendam perasaan yang sama. Bukankah tidak ada yang
mengetahui bagaimana masa depan itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar