Translate

Rabu, 06 Agustus 2014

Masa Depan



            Tidak ada yang mengetahui bagaimana masa depan itu. Ada sebuah takdir yang mengantarkan kita untuk bernafas di alam dunia. Alam yang sangat kejam menyiksa, dan alam yang sangat baik memberi pada manusia. Dan aku selalu yakin bahwa alam ini hanya perantara Tuhan untuk memilih jiwa mana yang pantas berada dalam kasih-Nya di kehidupan abadi.
            Aku sendiri seorang manusia. Aku percaya bahwa Tuhan selalu menetapkan takdir untuk masing-masing hamba. Jodoh, maut, dan rezeki. Tiga hal itulah yang sering disebut oleh guru agama di sekolahku. Dan ia juga selalu semangat ketika menjelaskan suatu ayat yang menyatakan bahwa beserta kesulitan ada kemudahan. Walaupun aku bukan termasuk siswi yang sangat pandai dalam urusan agama, namun aku percaya bahwa Tuhan selalu mempunyai rencana terbaik untuk hamba-Nya.
                                                                        ***
            Namanya Isa. Benar, seperti nama seorang nabi yang dianugerahi sebuah mahakarya Tuhan yang sangat fenomenal, yaitu Injil. Kata orang, nama adalah doa dan mungkin doa orang tuanya, sedikit banyak terkabul. Versiku, Isa adalah siswa terpandai di kelas. Aku melihat dari sudut pandang nilai akademisnya yang selalu paling menonjol dan kemampuannya di bidang lain. Ya, Isa juga teramat lihai menari. Dan percaya atau tidak, sering imajinasiku melayang menembus batas nalar. Aku begitu larut dan menghayati saat  imajinasi itu mulai bergerak. Mungkin, semua orang akan terbahak-bahak dalam tawanya saat mereka mengetahui bahwa aku yang bodoh ini, sangat ingin berada di posisi Isa. Andai sorak pujian acap kali mengiringi hidupku. Guru-guru seakan takluk, seperti halnya kawan-kawan yang selalu berkerumun, mengelilingi duniaku yang terlalu indah tuk dilewatkan. Juga, orang tua yang teramat sempurna dengan kasih sayang, pengertian, dan hartanya yang siap mendukung cita-citaku. Ya, bukankah imajinasi selalu tidak diterima oleh logika?
                                                                        ***
            “Remidi lagi!” Ucapku kesal.
Aku sering sekali seperti itu, mengeluhkan kegagalan pada hal-hal sederhana yang sebenarnya tak akan pernah menghindar dari hidupku.
            “Sudahlah Langit, ini bukan ulangan harian terakhir kok.” Ujarnya bijak.
“Tapi sudah berapa kali aku mendapat nilai di bawah standar? Kamu bahkan tak bisa menghitungnya kan?”
“Tuhan pasti punya rencana. Bukankah Ia selalu memberikan kelebihan atas kekurangan hamba-Nya?”
“Basi tauk.”
Aku meninggalkan Isa yang aku tahu, ia berusaha menghiburku untuk kesekian kalinya. Dan kali ini, aku sangat malas dengan hiburannya yang menurutku selalu lebih condong kepada nasihat-nasihat. Entah karena ia terlalu cerdas sehingga hiburan pun merupa motivasi.
“Hei, tunggu. Langit, Sonngolangit?” Isa berlari sambil mengikuti langkahku.
“Apa sih Sa?”
“Kamu kan udah janji tadi mau ke sanggar bareng. Masa gara-gara nilai biologi tadi kamu jadi marah sama aku.”
“Hmm enggak kok, maaf ya Sa, aku lagi sebel tadi.”
“Iyaa Songgolangit yang cantiiik, hehehe.”
Aku dan Isa berteman dengan sangat akrab. Entahlah, mungkin akan orang mengatakan bahwa kami bersahabat, tapi kami berdua sepakat dengan hal yang sama—sama-sama tak pernah menyinggung perihal status hubungan ini. entah sahabat, teman biasa, atau yang lainnya. Kami ini kawan sekelas, kami juga tergabung di sanggar tari yang sama, bahkan lebih spesifik, kami berada dalam satu grup tari andalan sekolah, grup reog Gajah Manggolo. Dan sudah dapat ditebak, itulah yang membuat kami selalu bersama.
“Langit pakai dong selendangnya. Mau mulai nih.”
“Iya iyaa. Kamu juga belum pakai tuh topeng.”
“Kamu dong yang makekin.”
“Ih, napa mesti aku coba, weeellk.”
Alunan gamelan dan sompret (terompet khas Ponorogo yang dipakai dalam pementasan reog) yang nyaring menggiring kami pada gerak tarian. Tari reog terdiri dari beberapa tokoh dengan ragam gerak yang berbeda. Ada jathil, penari perempuan dengan membawa jaranan--anyaman berbentuk kuda yang melambangkan pasukan berkuda. Ada juga warok, pasukan laki-laki berkumis dan berjenggot tebal dengan pakaian serba hitam, lalu ada klana sewandana, sang prabu yang sangat berwibawa, bujang ganong, prajurit lincah yang sangat atraktif, dan dadak merak yang fenomenal, mereka menari sambil mengenakan topeng besar yang sering disebut sebagai ikon tari reog itu sendiri. Kami sangat bersemangat. Acara Festival Reog Nasional tahun ini harus kami menangkan. Maklum, sebagai salah satu sekolah menengah atas favorit, eksistensi kami sangat dipertaruhkan.
Aku sangat antusias menunjukkan tarian terbaikku, begitu pula dengan teman yang lain. Pada satu waktu, mataku tertuju pada seseorang, ia menari dengan sangat sempurna menurutku. Isa. Kali ini ia begitu gagah, gerakannya juga luwes dan indah. Pantas saja, banyak gadis yang terpikat hatinya setelah melihatnya menari sedemikian gagah. Dan mengapa, ada satu getar aneh yang bergejolak di dalam dadaku.
“Capek Saa?” Kataku sambil mengusapkan tisu pada kening Isa.
“Makasih. Iyalah, kamu nggak capek emang? Sini, duduk.” Isa menarik tanganku hingga aku benar-benar terduduk di sampingnya.
“Capek juga, hehe. Eh Sa, ajarin aku ngerjakan PR dong. Takut dapet nilai jelek lagi nih.”
“Iyaa, kapan? Hari ini? Apa sih yang enggak buat kamu.”
“Ah kamu mah ada-ada aja. Iya, boleh deh. Aku ke rumahmu yaa?”
“Oke deh, siiaapp.”
                                                            ***
            “Assalamu’alaikuum.”
“Wa’alaikum salam. Eh, Langit, silakan masuk. Cari Isa ya? Bentar tante panggilin.” Sebuah tangan halus merangkul pundakku, membawaku masuk ke dalam istananya yang megah.
            “Iya Tante, makasih.”
            “Hai Langit, dateng ya rupanya, niat juga kamu belajar, hehehe”
            “Ah Isa mah ngejek. Tuh Tante, Isanya jahaat.”
“Isa ga boleh gitu, temennya pengen pinter kok diejek sih. Oh ya kalian belajar yang rajin yaa, tante buatkan minum yang enak .
Isa memang beruntung. Ia punya ibu yang mirip dengan malaikat. Tante Riski seorang dokter. Selain cantik, ia juga ibu yang sempurna untuk keluarganya. Ia mengurus setiap detail kebutuhan Isa dan ayahnya tanpa cacat. Tante juga seorang yang dermawan, ia seringkali membuka pengobatan gratis bagi warga di pedesaan yang kekurangan asupan medis. Karena kebaikannya itulah, Isa bercita-cita menjadi seorang dokter. Sangat pas, menurutku. Isa cerdas dan ia juga baik. Apa coba yang perlu diragukan dari kemampuan Isa. Ia pasti akan dengan mudah meraih apa yang ia impikan. Tidak sepertiku.
Aku memang terlahir dari rahim seorang seniman. Ibuku pesinden dan bapakku adalah penari reog. Kami tinggal di desa Sumoroto, desa yang sangat terkenal karena banyak seniman Ponorogo yang terlahir di sana. Namaku pun sangat kental dengan aroma seni. Songgolangit. Itu adalah nama terindah yang pernah kutemui. Nama itu pemberian kakek. Kakek yang seorang dalang mengerti betul istilah-istilah jawa kuno dan juga tokoh-tokoh dalam pewayangan ataupun sendra tari daerah. Kata kakek, songgo berarti penyangga, secara sederhana namaku dapat dimaknai sebagai penyangga langit. Ya, kakek sangat ingin cucu perempuan satu-satunya ini kelak dapat meraih cita-citanya setinggi langit dan dapat bermanfaat untuk orang lain. Songgolangit juga diambil dari nama seorang dewi yang diperebutkan oleh Klana Sewandana dan Singo Barong dalam cerita fiksi asal usul lahirnya Reog Ponorogo. Karena itu, tak heran jika tari reog seakan menjadi nyawa bagi batinku. Aku sangat ingin menjadi penari profesional, kuliah di Institut Seni atau setidaknya menjadi guru tari dengan memilih prodi pendidikan seni tari di salah satu universitas. Namun, bapak selalu melarangku. Ya, kehidupan seniman Ponorogo yang pas-pasan bahkan cenderung kesusahan membuatnya berpikir bahwa alangkah baiknya jika aku memilih jalan hidup yang berbeda—tidak seperti bapak.
Bapak sangat ingin aku menjadi orang sukses kelak. Dan saat ini, definisi sukses menurutnya adalah hanya dengan menjadi seorang dokter. Ia terinspirasi dari kisah dokter Rully, dokter spesialis kulit dan kelamin di kotaku. Selain sukses menjadi dokter di rumah sakit, ia juga berhasil membuka praktik yang hingga kini laris manis dengan antrian yang sangat panjang setiap hari, karena kliniknya juga melayani paket perawatan kecantikan yang sangat digandrungi remaja saat ini. Setiap kali keluar dari rumahnya yang super mewah, ia selalu menunggangi BMW hitam yang pasti mengkilat ketika tersorot sinar mentari. Siapa coba yang tidak ingin sepertinya? Dan yang lebih mengherankan, dokter Rully adalah ayah Isa. Ya Tuhan, mengapa semua seolah saling terkait?
“Hush, nglamun aja. Langiitt.” Isa berteriak sambil mencubit kedua pipiku.
“Isaaa, sakit tauk. Lepasin nggak?” Kutarik tangan Isa, tapi tarikan itu seakan percuma. Aku tak berdaya. Getar aneh itu kembali muncul. Getar itu lirih, namun pasti. Pasti membuat hatiku kalang kabut tak karuan.
“Pelit amat sih, Cuma nyubit pipi juga.” Isa melepaskan tangannya yang menyentuh kedua pipiku yang memerah. Aku bernapas lega. Namun mengapa getar itu tak kunjung reda?
“Kamu nglamun apa sih?” Ia menatapku. Kedua matanya menjelma belati—tajam, dan sepertinya sanggup mencabik-cabik batinku. Ia semakin mendekatkan matanya, mengernyitkan kening,dan gelagatnya seperti seseorang yang sangat penasaran. Hingga matanya benar-binar hanya enam centimeter di depan mataku.
“Jangan dekat dekaaat.” Refleks kedua telapak tanganku menutupi wajahku.
“Kamu napa sih, lebay banget, huuu.”
“Salah kamu juga sih, ngagetin.”
“Kok aku yang salah sih?”
“Iya, kamu.”
“Ya ya ya, wanita memang merasa selalu benar.”
“Biarin, weeellk.”
“Awas yaaa.” Isa mengejarku. Ya, kami berkejaran layaknya anak kecil yang bermain maling-malingan.
“Isaa, lepasin tanganku.”
“Nggak, sampai kamu cerita apa yg kamu lamunin tadi.”
“Nggak maauu Isaaa.”
“Ayolaah, kamu nglamunin aku kan?”
“Enggak, pede amat sih.” Isa tetap menarik tanganku—lebih kuat, hingga akhirnya tanpa sengaja, tubuhku terjatuh tepat di pelukannya.
“Maaf, maaf Langit, aku nggak sengaja.” Sontak Isa melepaskan tubuhku.
“Iya, nggak papa kok.”
Mengapa getar itu ada terus menerus, saat aku terlalu dekat dengan Isa? Apakah benar  getar itu mengisyaratkan adanya rasa yang tumbuh perlahan di dalam hati? Entahlah, aku hanya menahan rasa itu dengan diam. Karena rasa yang tak pantas hadir akan semakin menggoreskan luka dalam batin. Dan mungkin hanya diam yang bisa menutupi rasa itu darinya, atau bahkan lama-lama terpendam, dan sirna. Aku tak mungkin pantas menaruh rasa sedalam itu pada sosok Isa. Ia dan kehidupannya terlalu sempurna untuk bersanding denganku dan kehidupanku yang carut-marut dalam kekurangan.
                                                            ***
Sebulan ini, aku menjelma manusia galau yang sering murung dan melamun. Bukan, bukan hanya perihal getar aneh yang menghantuiku saat benakku memutar memori tentang Isa, namun lebih dari itu. Tentang masa depan. Aku tak pernah sebelumnya, mengkhawatirkan masa depan separah ini. Ya, bapak jatuh sakit. Hipertensinya kambuh, dan kali ini makin parah. Sebulan sudah, bapak tidak menerima tawaran menari di beberapa pementasan reog. Maklum, dalam kondisinya yang sakit, sebagai penari yang memerankan tokoh Singo Barong, membawa Dadak merak yang memiliki berat puluhan kilo dengan menggunakan gigi akan membuatnya semakin pusing. Belum lagi ibuk yang sepi tawaran menyinden. Ya, akhir-akhir ini pementasan wayang kulit memang sudah jarang diminati, sudah terkalahkan oleh pementasan dangdut dan juga konser-konser lagu pop. Dan benar, kondisi keuangan keluargaku sudah dipastikan hampir menyentuh batas krisis. Belum lagi, sebagai siswi kelas XII aku membutuhkan banyak biaya. Apalagi, hmm biaya kuliah. Pikiranku tentang kuliah seakan menjadi hantu yang mengganggu. Aku ingin mengubah nasib keluargaku, membanggakan bapak juga ibuk. Tapi, dengan keterbatasanku dan kemampuanku yang hanya seperti ini apakah aku bisa? Aku bisa saja mengajukan keringanan dan ikut program bidik misi yang diselenggarakan pemerintah bagi siswa kurang mampu. Tapi, nilai raporku tak cukup bersaing dalam ajang SNMPTN. Aku juga tak cukup pandai jika harus bersaing lewat jalur tulis. Dan menurutku, satu-satunya cara agar aku bisa menempuh pendidikan sarjana adalah dengan mendaftar di institut atau sekolah tinggi seni, tapi bukankah belajar di sana butuh biaya? Terlebih lagi, bapak selalu ingin anak perempuannya ini menjadi dokter—seperti cita-cita Isa. Kadang aku berpikir, mengapa aku tak sepandai Isa? Mengapa bapakku tak mendukung keinginanku seperti halnya ayah Isa? Ah, berandai-andai tak akan mengubah keadaan, ia hanya akan menambah daftar panjang kepedihan.
“Songgolangiitt, yeay, kita menang!”
“Apa sih Saa?”
“Kita juara satuuu.” Teriaknya sambil mengoyak-ngoyak pundakku.
“Juara apa?”
“Festival Reog Nasional. FRN! Kita akan makan besaarr.”
“Oh, menang ya rupanya. Syukurlah.”
“Kamu kok nggak semangat sih Lang, biasanya kamu tuh yang paling heboh kalo menang. Kamu mikirin apa sih?”
“Apa kamu lupa, besok pengumpulan angket SNMPTN. Aku bingung.”
“Iya, gak lupa sih. Bingung kenapa? Bukannya kamu pengen banget ambil seni tari ya?”
“Percuma Sa.”
“Percuma kenapa?”
“Aku gak punya biaya.”
“Tapi bukannya ada program bidik misi ya?”
“Nilaiku terlalu buruk untuk bersaing.”
“Kamu jangan pesimis lah, sayaangg. Senyum dong.”
“Hmm sayang?”
“Eh, enggak enggaak, kamu aja pantes dipanggil sayang-sayang. Aku Cuma bercanda tauk. Yeee.”
“Kenapa gak pantes?”
“Ya lihatlah, ngaca. Nilai kamu jelek gitu, mana gak pede lagi. Hahahaaa, tar kalo kamu jadi cewekku, malu lah aku ini. Hahaha.”
“Dasaarr, nyebelin.”
Aku tahu Isa hanya bercanda. Tapi kalimat Isa memang benar. Aku—yang belum tentu kuliah ini—mana pantas bersanding dengan Isa? Isa mungkin akan sangat mudah untuk sukses dalam dunianya. Dan, ia pasti sangat mudah mendapatkan seorang pendamping yang sama hebatnya. Terkadang aku menganggap—diriku ini terlalu banyak berkhayal.
                                                                        ***
            Isa selalu punya hal yang membuatku—dan bahkan semua orang bangga. Sebagai lulusan dengan nilai ijazah terbaik se-Kabupaten Ponorogo sudah cukup membuktikan bahwa Isa memang benar-benar tanpa tandingan—maksudku tanpa tandingan di hatiku. Lengkap sudah. Menurutku ia selalu sukses mendapatkan apa yang ia inginkan—dengan sangat mudah.
            Pendidikan Dokter Universitas Indonesia. Siapa yang tak bergidik mendengarnya. Di sekolahku, pendidikan dokter masih menjadi primadona yang diburu oleh banyak siswa. Dan, sudah menjadi mitos bahwa setiap tahun hanya ada satu tempat untuk pendidikan dokter di UI, hanya mereka yang menduduki juara satu paralel yang pantas mendapatkannya—termasuk Isa. Kali ini, aku memerhatikan Isa dari jauh saja, tak seperti biasanya. Aku hanya tak ingin tawanya yang lepas ternodai olehku. Ya, semenjak dulu aku sering mengecewakan. Apa lagi masalah sekolah. Peringkat ujung selalu menjadi tempat yang pas untukku—menurut semua guru. Dan bagaimana denganku? Aku tidak lolos SNMPTN. Kuliah bagiku hanya mimpi yang sulit untuk terwujud. Benar saja, ayahku semakin parah. Dan bahkan kini ia menderita stroke. Ibuk harus menghidupi kelima anaknya. Ya, sebagai anak sulung aku ikut merasakan kepedihan ibuk. Aku harus bekerja, membantu ibuk. Aku bekerja sebagai penari jathil yang mengisi berbagai pementasan. Dengan kondisi yang seperti ini, mana siap aku—bila Isa melihatku dan bertanya tentang keadaanku. Malu itu wajar, tapi bukan itu sebenarnya yang membuatku enggan bila Isa melihatku. Aku takut, rasa yang tak pantas ini kembali tumbuh, dan subur.
            Empat tahun sudah kami tak bertemu. Sebenarnya Isa sering menghubungiku, namun aku berusaha mengabaikannya. Saat ia libur kuliah, ia juga datang ke rumah—ingin menengokku. Tapi aku selalu menghindar dan berpura-pura sakit atau kalau tidak, aku minta tolong ibuk untuk berbohong. Mengapa aku selalu tidak siap bertemu Isa? Aku hanya ingin khayalan masa laluku terhapus. Dan harapanku untuk memiliki Isa sirna. Kami terpaut jarak yang jauh. Bukan hanya karena Isa kuliah di depok—jauh dari Ponorogo. Namun , kami terpaut jarak dalam banyak hal. Rezeki, nasib, juga masa depan. Ya, kuakui, keburukanku adalah aku selalu menghakimi masa depanku sendiri. Aku sering merasa bahwa tidak ada peluangku untuk berhasil dan membanggakan.
            “Songgolangit. Itu kamu kan?”
            Aku segera menoleh. Isa. Aku terlalu larut dalam lamunan hingga tak menyadari bahwa Isa kini berdiri di sampingku. Benar-benar di sampingku. Aku bergeges pergi dengan berlari, berharap Isa tak mengejarku atau kalau pun ia mengejar—semoga tak terkejar.
  “Mau kemana? Langit, kenapa harus lari?” Harapanku tak berujung nyata. Isa mengejarku dan ia berlari mendahuluiku. Ia mencengkram tanganku, menghentikan langkahku.
            “Lepasin Sa, aku ada urusan.”
            “Urusan apa? Bukannya pementasan sudah selesai?”
            “Kamu gak perlu tahu, lepasin sekarang.”
            “Enggak, kamu selalu menghindar. Ada apa sebenarnya denganmu ini Lang?”
            “Aku gak yakin kamu akan paham, udahlah Sa, lepasin.”
Tanganku memberontak, dan ia berhasil terlepas dari genggaman Isa. Tapi, Isa sungguh nekat kali ini. Ia tetap mengejarku hingga aku mendapatinya terjatuh, ada sebuah batu bear yang menyandung kakinya. Dan darah segar mengucur dari kakinya. Walau sebenarnya, bisa saja aku berlari lebih kencang hingg Isa tak mendapatiku lagi, tapi siapa yang tega melihat sosok yang selama ini bersemayam dalam hati tiba-tiba jatuh dan terluka.
“Isa, kakimu sakit? Berdarah Sa. Aku bawa kamu ke puskesmas ya?” Kataku panik.
“Nggak parah kok Lang, ga usah khawatir kaya gitu.”
Ia bahkan masih sempat tersenyum walau sambil menahan sakit. Akhirnya, aku membawa Isa ke puskesmas. Aku menghela nafas lega, saat kakinya berhasil diobati oleh perawat.
“Masih sakit Sa?”
“Dikit kok, hehe makanya kamu jangan ngajak lari-lari dong.”
“Isaaa, hmmm. Maaf yaa. Aku jadi buat kakimu sakit kaya gini.”
“Enggak, tadi kan aku jatuh sendiri, bukan karena kamu.”
“Hmm”
“Langit?”
“Apa”
“Kenapa sih kamu selalu menghindariku? Kita kan sudah lama berteman. Aku ada salah ya sama kamu?”
“Bukan gitu Saa, hmm.”
“Terus kenapa?”
            “Hmm.” Apa iya aku harus jujur sama Isa kali ini?
                                                                        ***
            “Adik, ayo jangan lari-lari teruuss, mamah capek nih.”
            “Iya iya maah. Mamah lihat deh pesawatnya bagus kan ngiieeng ngieeengg. Hehe.”
            “Iya, bagus, Nak. Kamu kalo udah besar pengen jadi pilot ya?”
            “Iya maaah, adik pengen jadi pilot biar bisa lihat matahari dari deket.”
            “Ya nggak bisa, matahari kan panas, adik gak bisa deket-deket matahari.”
            “Hmm, masa sih Mah?”
            “Hehe, iyaaa.”
            Senyumku mengembang, senang rasanya melihat anakku begitu bahagia. Aku bersyukur karena anakku punya kebahagian yang lebih, ya bahkan jauh lebih bahagia bila dibanding dengan masa kecilku. Saat ini, aku bisa membelikannya mainan apa pun yang ia minta. Oh Tuhan, betapa bahagianya aku kini. Ternyata benar kata guru agamaku dulu, Tuhan adalah seadil-adilnya zat di alam semesta. Ia jauh lebih mengerti, sekali pun apa yang terpendam dalam hatiku. Aku semakin yakin bila rencana Tuhan jauh lebih indah daripada rencana manusia.
          “Mah, lagi apa ini? Waah adik lagi makan ya?” Ia menggendong anakku dengan sepenuh rasa.
          “Papah pulaangg.” Seperti biasa anakku selalu riang pabila ayahnya pulang dari tempatnya bekerja.
          “Wah, iya, Papah pulang. Papah mau disuapin juga?”
          “Hehe, enggak ah, malu nih sama adik. Nanti aja mamah siapin spesial buat papah ya.”
            “Iya sayaangg.”
            Iya, aku sudah menikah dan punya satu orang anak. Sudah enam tahun usia pernikahan kami, dan semua terasa sangat indah. Dan, pernikahan ini membuat hidupku banyak berubah. Suamiku sangat baik. Ia selalu ada waktu untuk keluarga di sela-sela kesibukannya. Kini, aku juga telah mempunyai sanggar tari sendiri. Oh ya, sanggar ini tidak dibiayai oleh suamiku, tapi semua memang hasil dari jerih payahku menekuni dunia seni, terutama tari reog. Aku sekarang tidak tinggal di Ponorogo, aku tinggal di Bekasi, mengikuti suami. Bapak sudah lama meninggal, dan sekarang ibuk kubawa serta ke Bekasi, usianya yang semakin senja juga mengharuskan ia untuk tidak menyinden lagi. Dan sekarang, ibuk punya kesibukan baru—membantuku mengurus sanggar.
            Banyak yang bertanya, bagaimana hidupku bisa seberuntung ini. Sebenarnya, aku tidak memaknainya sebagai keberuntungan. Kegagalanku di masa lalu telah mengajariku banyak hal, terutama belajar untuk menata diri untuk menjadi yang terbaik bagi orang-orang yang aku cintai, termasuk suamiku, Isa. Ya, ataukah ini memang takdir? Entahlah. Isa menjadi peraduan cintaku yang terakhir. Walau harus susah payah memendamnya, dulu. Dan sebenarnya, aku termasuk seseorang yang dianugerahi anugerah. Ya, aku—salah satu manusia yang punya kesempatan kedua. Kesempatan untuk menyatakan, mengutarakan apa yang ada di dalam hatiku. Karena, terkadang tidak ada kesempatan kedua untuk yang selalu diam dan memendam. Dan aku mensyukuri itu. Kejadian saat Isa terjatuh karena mengejarku silam adalah jembatan untukku mengatakan sesuatu, bahwa aku benar-benar mencintai Isa. Dan siapa yang menyangka, Isa pun memendam perasaan yang sama. Bukankah tidak ada yang mengetahui bagaimana masa depan itu?


           






           




           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar