Translate

Rabu, 06 Agustus 2014

Rinduku

Malam yang semakin habis tak lantas membuatku larut dalam heningnya benak yang kosong. Kucoba renungkan satu arti yang tersirat dari kejamnya rindu. Ada satu masa, ketika sesuatu yang terlalu menggebu meracuni pikiran, harus dihapus. Dengan melupakannya. Karena rasa yang tak pantas hanya akan menjadi belati yang tajam melukai.Hingga kini tak terbesit dalam logikaku, pertemuan sesederhana dan sesingkat itu mengapa sanggup merampas semua rasa yang kumiliki? Aku sempat menghardikmu diam-diam, menganggap kau jahat. Meletakkan kenangan seberpengaruh itu, namun tak sedikit pun kau berusaha menyatakan perasaan yang sama denganku. Akhirnya, aku menyadari bahwa semua itu, salahku. Salahku yang terlalu mendalami pertemuan itu, salahku yang terlalu memaknai setiap waktu, ketika mataku bertemu dengan matamu. Ketika percapakan biasa kuanggap terlalu istimewa. Ah mungkin memang aku sungguh keterlaluan dalam menyikapi segala hal tentangmu.

Rinduku sederhana
Tanpa pelukan yang bercampur rasa dan entah apa 
Tanpa kemesraan yang terumbar tanpa makna
Ya, sedernaha
Sesederhana melihat semburat senyum yang tergores di wajahmu yang teduh 
Sesederhana melihat rembulan yang terpatri di matamu yang lembut 

Rinduku sederhana 
Meski dada mulai sesak dipenuhi kerinduan, 
namun bisu tiada berpaling 
Ia tetap memendam rindu dalam diam
                                                                        ***
Setahun yang lalu . . .
“Kau tidak kemari?”
            “Kemana?”
            “Ah, kau memang tak peduli dengan ribuan saudara kita yang menderita di sana.”
            “Apa maksudmu?”
“Sudah kuduga. Apa yang selama ini kaulakukan hingga kabar mereka pun kau tidak mengetahuinya. Tentang mereka yang puluhan tahun tidur beralaskan darah, berselimut air mata, beratapkan kepulan asap dan . . .”
            “Cukup! Jelaskan maksudmu!”
            “Oh, hehe, bahkan aku tak yakin kau bisa mengerti.”
            “Jangan membuatku gila!”
            “Bahkan aku juga tak pernah yakin bila kau itu waras. Hahahaaaa.”
Laili menutup ponselnya sambil menghakimiku dengan tanda tanya besar yang sulit kupecahkan. Apa maksudnya, tanyaku dalam hati bertubi-tubi. Laili memang seperti itu, kawan seperjuanganku di kerohanian islam (Salah satu ekstrakulikuler keagamaan di sekolah) itu memang terkadang menjengkelkan. Terlebih sifat militannya terhadap agama seringkali menyinggung orang lain, termasuk teman-temannya yang tak seteguh itu menjalani hidup sesuai syari’at, seperti halnya aku. Ia masih saja menegurku yang masih bergelut dengan facebook dan twitter ketika adzan tiba, bahkan seringkali ia menatapku tajam sambil menyebutkan ayat-ayat Tuhan saat aku memakai jeans atau pakaian ketat lainnya, ia berkutbah dihadapanku layaknya ustadzah di televisi, tentang alam akhirat dan neraka yang begitu mengerikan, dan terkadang itu membuatku merasa takut. Namun, sebenarnya ia perempuan yang baik.
                                                                        ***
            Mentari tak perhitungan kali ini. Sinarnya berpendar begitu hebat, hampir membakar ubun-ubunku. Kuhela nafas panjang sambil sejenak memejamkan mata, berharap lelah dapat sirna menjauhiku. Walapun panas dan lemas menyergap tubuhku namun tak ada sedikitpun dalam benakku, hasrat untuk membatalkan puasa. Aku datang terlambat kali ini. Masjid Agung di Barat Aloon-aloon Ponorogo sudah dipenuhi ratusan manusia berpakaian serba putih dari berbagai latar belakang. Mereka merapat ke tengah aloon-aloon sambil senantiasa mengumandangkan takbir. “Allahu akbar, allahu akbaarr!” Layaknya demonstran pada umumnya, mereka membawa spanduk dan aneka banner bertuliskan Save Gaza, Ponorogo for Gaza, dan sebagainya. “Kita, umat muslim harus bersatu untuk memerangi kekerasan!” Seru seorang orator yang berdiri di mimbar kecil nan sederhana. Kami semua larut dalam gempita suasana, api semangat yang dikobarkan oleh orator membuat kami semakin tenggelam dalam lautan takbir yang menggema. Sesekali isak tangis pecak di antara demonstran yang terlalu menghayati dan membayangkan anak-anak kecil tanpa dosa harus meregang nyawa demi menebus agresi keji bangsa Israel. “Allahu akbar! Kita harus mendukung mujahid Palestina yang teguh membela bangsanya, kita harus membela mereka! Sambil terengah-engah, sang orator tetap bersemangat seperti capres yang giat berkampanye.
“Assalamu’alaikum Zahra, dikau datang juga rupanya. Gembira hatiku ini melihatmu rapi dan cantik.”
“Wa’alaikum salam. Aku ingin belajar peka dan beradaptasi dengan duniamu. Puaskah kau?” Hingga hari ini aku masih menganggap berkeredung lebar dan berkaus kaki kemana-mana adalah dunia Laili.
“Duniaku? Oh, tentu saja bukan. Ini dunia kita, dunia islam.”
“Kau bahkan memandang semua manusia di muka bumi harus menjadi muslim.”
“Salah sangka. Tidak sahabatku, perbedaan adalah rahmat. Dan Allahlah yang menjadikan kita bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kita tahu kebesaran-Nya.”
“Tapi mengapa kita harus membenci yahudi? Karena mereka bukan islam, iya?”
“Ini bukan soal agama, sayang. Ini soal HAM, kekerasan, dan perampokan. Ya, kita benci kekerasan, karena itu kita menentang zionis Israel berkacak pinggang dan semena-mena terhadap Palestina.”
“Tapi bukankah nabi mengajarkan kita untuk tidak saling membenci?”
“Kita tidak akan membenci selama Israel melepaskan Palestina dan menyerukan perdamaian di muka bumi. Lagi pula, kalau bukan kita siapa lagi sayang? Palestina membutuhkan kita, bukan hanya umat muslim di sana, tapi umat-umat lain yang haus akan perdamaian. Bukankah tidak hanya umat islam yang tinggal di Palestina? Ada banyak sekali pemeluk agama lain yang juga tinggal seatap dengan muslim, mereka sama-sama memperjuangkan Palaestina.”
“Kau, hmm benar Laili. Kali ini aku tak membantahmu.” Begitulah, untuk sekian kalinya, pada akhirnya aku harus mengaku kalah bila berdiskusi dengan Laili, ia terlalu pandai bagiku, dan terlalu istimewa sebagai seorang karib.
Demonstrasi kali ini usai, walau mentari tlah berjalan ke barat, namun keningku masih penuh keringat. Capek. Ya benar, demonstran mana yang tak capek berteriak sambil berenang menyelami lautan matahari? Aku dan Laili turut berbaur dalam kerumunan yang berarak menuju masjid. Aku tercengang. Tiba-tiba sesosok tangan hangat menyentuh lenganku, tangan itu mencengkram dengan halus, namun erat, ia membawa lenganku seolah mengajakku mengikuti langkahnya yang terburu-buru.
“Rosyid, ayo bergegas. Waktunya shalat.”
“Maaf kak, aku bukan Rosyid.” Tangannya yang lembut lantas membuatku tak memberontak. Ia menoleh. Menyadari bahwa aku bukan orang yang ia maksud, ia melepaskan tangannya yang bersandar di lenganku. Aku tak mengerti apa yang bergejolak dalam benak. Ada getar ketika mataku bertemu dengan matanya. Mata itu, teduh. Aku melihat bianglala terpahat di dalamnya, begitu indah. Wajahnya yang bersih dengan jenggot tipis yang menghias dagunya, juga peci yang bersarang di kepalanya menambah kesan alim pada dirinya.
“Astagfirullah. Maaf, maaf, aku tak sengaja. Maaf, maaf.” Seseorang menerjangku dengan untaian maaf yang tak habis-habis.
“I i iya kak, ta tak apa.” Kataku yang terbata-bata. Entah mengapa aku jadi gugup. Keringat dingin seketika mengucur deras menuruni leher dan pelipis. Ada apa ini. Mengapa gejolak yang tumbuh begitu aneh dan janggal.
“Maaf, maafkan saya. Saya tidak sengaja, maaf.”
“Iya, iya tak apa.” Untuk kedua kalinya aku menjawab dengan kalimat yang sama. Kalimat yang entah keluar dari mana, ia secara secara refleks keluar begitu saja sebagai respon dari perkataannya. Karena sebenarnya, aku hanya sibuk memandanginya, memperhatikan setiap detail pada wajah yang bagiku begitu mempesona.
Ia berlalu, meski begitu ia masih saja berucap maaf seolah ia tlah melakukan dosa besar padaku. Pdahal ia hanya tak sengaja menyentuh lenganku tapi mengapa ia merasa sangat bersalah? Apakah ia terlalu alim hingga menyentuh perempuan sedikit pun, ia tak berani? Padahal berapa tangan lelaki yang tlah menyentuhku? Ya Tuhan, kadang aku memang lupa jikalau syari’at tak memperbolehkan dua manusia lawan jenis yang belum menikah, saling bertukar rasa dalam sentuhan-sentuhan yang mungkin itu sederhana dan terkesan wajar, namun sebenarnya ada getar syahwat dalam sentuhan itu. Aku tahu dan aku mengerti, tapi entah apa yang membuatku tak kunjung gigih mempertahankan syari’at-Nya.
“Sudah Zahra, sudah. Kulihat kau begitu dalam, memperhatikannya.”
“Siapa dia?” Aku bertanya pada Laili walau pandanganku masih lekat dengan sosok pria berjalan cepat menuju masjid. Kuserahkan noktah fokus mataku untuk mengantar pria itu pergi. Sesekali tampak tangannya sedang menggaruk leher juga siku, entah benar-benar gatal, atau salah tingkah. Ia sempat beberapa kali menoleh, mendapati matanya selalu bertemu dengan mataku, ia tersenyum malu-malu, hingga jarak memutuskan pandanganku.
“Bahkan tak kaulepas matamu dari tubuhnya, hah?”
“Ma ma af Lail, hehehe.”
“Seharusnya kauminta maaf padanya. Hehehe. Dia itu kak Muhammad dipanggilnya Ahmad, ketua Forum Silaturrahmi Pendamping Rohis (FOSPOR) Ponorogo. Dirimu baru tahu ya?”
“Iya, hmm. Eh, pendamping Rohis? Dia bukan mahsiswa seperti kita?”
“Dia lulus tahun ini, dokter muda, alumni UI juga lho, dan cumlaude. Terus ya, dia itu sulung dari 5 bersaudara, tulang punggung keluarga sejak ia masih duduk di bangku SMA. Rumahnya juga di pelosok desa Sawoo, di daerah pegunungan, jauh dari Ponorogo kota. Subhanallah.”
“Kamu tahu banyak ya Lail, soal kak Ahmad.” Nadaku yang datar sebenarnya mengisyaratkan sebal dan tidak terima, mengapa Laili begitu tahu tentang kak Ahmad?
“Sedikit sih, hehehe.”
                                                                        ***
            Sejak kali pertama aku bertemu dengan kak Ahmad, ada yang berbeda dari diriku, tampak begitu aneh. Kesan sederhada yang tertoreh, terlalu jauh menembus alam batinku. Aku tak mengerti, gejolak apa yang sering tiba-tiba hadir seperti getar dawai, saat bayangnya terlintas. Ia menjelma siluman yang seringkali menelusup nalar dan hati. Pertemuanku dengannya tak istimewa. Namun apa yang membuat bayangnya tak henti tersirat dalam memori? Wajahnya, tingkahnya, entahlah. Hanya 5 menit matanya dan mataku saling berjumpa dan hanya 5 detik tangannya yang halus itu, menyentuh lenganku. Namun, sudah 5 hari tak kunjung aku menyerah, untuk tak memikirkannya. Dan, diam-diam kukira sah-sah saja bila aku mulai mengikutinya di berbagai sosial media. Aku merasa betah berlama-lama memandang fotonya yang tertera di facebook atau pun twitter, kurekam dalam-dalam, lalu kuputar raut wajahnya dalam imajinasi. Dan kegiatan itu kuulang dan terus kuulang hingga menjadi suatu kenikmatan tersendiri yang sulit untuk dideskripsikan.
            Hari ini aku bergegegas. Kuraih tas merah favorit dan jam tangan andalan yang selalu menemani segala bentuk kesibukan yang tlah menjadi rutinitas. Ya, organisasi pemuda-pemuda Islam seperti rohis sudah kuikuti lebih dari tiga tahun, tepatnya sejak kelas X SMA. Kecintaanku pada organisasi yang banyak merubah hidupku ini aku buktikan dengan aktif bergabung di SALAM UI, salah satu UKM dakwah di tingkat kampus. Ketika libur panjang tiba, aku juga kembali aktif di ikatan alumni rohis SMA, karena mungkin—walau imanku masih compang-camping—setidaknya aku berusaha menjadi apa yang diinginkan Tuhanku. Ya, walau hanya dengan berkontribusi di jalan dakwah. Jalan yang anehnya mengenalkanku pada perasaan aneh itu.
            Pukul 14.00 aku tiba di masjid Al-Kautsar, masjid besar yang terletak di SMA Negeri 1 Ponorogo, mantan sekolahku.
“Assalamu’alaikum, maaf terlambat.”
Sambil kusalami satu per satu, kulempar senyum terbaik untuk anggota komunitas pemuda Islam yang hadir dalam mimbar diskusi. Seperti biasa kusebar pandanganku ke seluruh penjuru masjid, untuk memastikan siapa saja yang terketuk hatinya untuk hadir dalam kegiatan yang dahulu menurutku kurang penting ini. Deg. Kak Ahmad. Astaga, ia ikut juga. Bunyi jantungku seperti desah yang tak berirama, seperti maling yang dikejar polisi, tak tentu arah. Aku hanya bisa sesekali menatap mata bianglala itu, sesekali saja, karena jika berkali-kali, siapa yang tak curiga? Mencuri pandang, kata orang itu frase yang akurat untuk menyimpulkan betapa berharganya waktu, walau sedetik, untuk sedekar menemukan mata dengan cinta. Cinta? Secepat itukah aku menyimpulkannya sebagai cinta? Bukankah cinta yang terburu-buru itu tak bisa dipercaya? Entahlah.
Kak Ahmad memang sangat berwibawa. Pembawaannya yang ringan dan suara halusnya yang khas menurutku sanggup menghipnotis beberapa wanita, mungkin salah satunya adalah aku. Kali ini ia memimpin rapat. Ia menjelaskan program kerja dan deskripsi acara dengan sangat lugas dan mudah dipahami. Ya, bakti sosial sekaligus acara penggalangan dana untuk Palestina tahun ini diketuai oleh kak Ahmad. Sangat pas dan cocok, menurutku. Karena siapa menduga, ternyata ia juga merupakan mantan ketua rohis sewaktu SMA. Kak Ahmad memakai baju kemeja biru yang dipadu dengan celana bahan hitam. Ia terkesan rapi dan, hmm manis juga ternyata. Hingga diskusi usai pun, mataku masih sesekali, mencuri warnanya, walau sekilas.
                                                                        ***
Senin, 22 Juli 2014.
Bakti sosial yang ditujukan untuk warga terbelakang di desa Karangpatihan Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo diikuti oleh hampir empat puluh relawan. Semua tahu, tempat yang akan kami tuju itu sangat jauh dari kota, akses jalan menuju desa Karangpatihan juga susah. Maklum, salah satu desa yang terletak di pinggiran kabupaten Ponorogo ini sangat memprihatinkan. Bukan hanya jalannya yang belum di aspal, tanjakan dan turunan dengan jurang kanan kiri yang membentang akan menghiasi perjalanan kami. Karena itu, para relawan perempuan tidak disarankan untuk mengendarai motor sendiri, alias harus dibonceng oleh seorang pria atau ikut naik mobil.
Ketika aku tiba di basecamp relawan, sudah banyak kawan yang tlah berkumpul. Mereka tampak dengan serius mendengarkan arahan dari kak Ahmad sebelum pemberangkatan. Laili juga sudah hadir, jilbab panjang yang menjulur, rok, dan kaos kaki tak lupa menghiasi penampilannya.
“Kamu ikut naik mobil yang itu, Laili?” Sapaku sambil menunjuk ke arah mobil berwarna putih yang terparkir di samping kami.
“Iya Zahra, nih lihat aku pakai rok. Ngga mungkin naik motor kan? Kalo kamu?”
“Aku belum tahu, belum dapat tumpangan nih, aku sengaja pakai celana biar fleksibel, bisa naik mobil atau dibonceng, naik motor.”
“Kayaknya kamu harus segera lapor kak Ahmad deh, soalnya mobil seingatku udah penuh. Biar dicarikan tebengan tar.”
“Iya Laili, makasih ya.”
Pas sekali. Kak Ahmad menyuruh relawan perempuan yang belum dapat kendaraan untuk angkat tangan. Kujulurkan tanganku ke atas tanpa ragu. Ada beberapa relawan yang turut mengangkat tangan. Ia sangat cekatan dalam mengatasi hal ini. Dicarikannya satu-satu relawan pria yang belum membonceng siapapun. Dan pada ujungnya, tinggal aku yang belum.
“Kak, aku belum nih.” Kuangkat tanganku sambil berdiri tepat di depan kak Ahmad.
“Aku masih kosong, Dik Zahra bareng aku aja.”
“Hmm, iya Kak.”
Desah jantungku hadir lagi. Kali ini lebih keras hingga hampir-hampir merobek dadaku. Yang benar saja? Aku harus duduk di atas motor, selama lebih dari satu jam, bersama sosok yang selama ini berkelana dalam pikiranku. Apa sanggup aku menahan gejolak yang dapat membuatku salah tingkah? Aku hanya berjalan mengikuti langkah kak Ahmad menuju motor hitamnya. Ia menaiki motornya lalu menoleh ke belakang, ia melihat mataku seakan mengisyaratkan bahwa aku harus segera naik. Kukenakan helm dan kunaiki motor itu dengan hati-hati. Kami berada pada jarak sekitar lima belas centimeter, ada satu tas ransel yang menghalangi punggungnya bertemu dengan dadaku. Dan kurasa itu tak cukup membuat jantungku berhenti berdesah.
“Dik Zahra sudah siap?”
“Sudah Kak.”
Kak Ahmad mengendarai motor dengan kecepatan sekitar 70 km/jam. Biasanya, tubuhku sudah bergetar tak karuan dan nyaliku ikut menipis bila dibonceng melebihi 60 km/jam. Namun entah mengapa kali ini sunggguh berbeda. Aku merasa nyaman walau tak satu tanganku pun meraih pinggangnya. Dua kilometer pertama perjalanan kami, tiada kata yang terucap. Kami seperti tenggelam dalam lautan diam. Hingga kak Ahmad kembali membuka percakapan.
“Dik Zahra kuliah di UI juga ya?”
“Bener Kak, kakak tahu dari mana?”
“Temen-temen komunitas rata-rata juga sudah tahu kalo adik kuliah di sana. Ambil jurusan Sastra Indonesia kan?”
“Iya Kak.”
Walau aku tak yakin, relawan komunitas pemuda Islam yang sebanyak itu sebagian besar sudah tahu tentang kuliahku. Aku tak ingin bertanya lebih jauh.
“ Diem saja. Biasanya cerewet gitu.”
Dari mana kak Ahmad tahu kalau aku cerewet? Apakah kak Ahmad diam-diam juga memerhatikanku? Ah tak mungkin. Lebih baik aku mengubur dalam-dalam ke-ge-er-anku.
“Kak Ahmad lulusan UI ya? Pendidikan Dokter? Lulus tahun ini kan ya?”
“Iya, hehehe tahu aja. Emang kakak terkenal banget ya, sampai dik Zahra tahu gitu.”
“Hehehe. Kakak kan emang terkenal deh. Eh, keceplosan. Kakak sekarang kerja dimana?”
“Aku masih magang di RSUD kabupaten Ponorogo untuk beberapa bulan ini. Sambil kadang nerima panggilan kalo ada yang sakit. Mau nabung dulu biar bisa buka praktek di rumah”
“Oh, kakak hebat, baru lulus udah ngeksis aja jadi dokter, hehe.”
“Dik Zahra suka nulis ya? Pengen jadi penulis gitu?”
“Iya dong Kak, doakan ya Kak. Aku ngefans banget sama Chairil Anwar. Tar pengen deh jadi sastrawan terkenal kek dia.”
“Amin. Kamu pasti bisa kok. Chairil Anwar yang salah satu puisinya berjudul ‘Aku’ itu ya? Wah kamu pasti bagus deh kalo baca puisi itu. Bacain buat aku dong, hehehe.”
“Hehe , kakak bisa aja. Malu dong Kak, masa di jalan gini teriak-teriak.”
Tiba-tiba ada sebuah lubang cukup besar di depan kami, kak Ahmad seperti tak bisa menghindarinya, dan sudah kuduga. Ban motor kak Ahmad tanpa dosa menerjang lubang itu, badanku tak kuasa menahan guncangan yang dapat menjatuhkanku. Segera kuraih pinggang kak Ahmad dengan erat. Dan syukurlah kami tak terjatuh.
“Maaf Kak.”
‘Ehm, iya.”
            Kami lalu terdiam. Membiarkan deru motor mencabik-cabik hening yang kami ciptakan. Mungkin, refleks perbuatanku tlah menciderai hangat percakapan yang muncul begitu saja. Grogi dan rasa bersalah menghantuiku. Apa kak Ahmad marah? Mengapa ia terus diam? Hmm, kupendam pertanyaan itu hanya dalam diam. Oh tidak, aku merasa canggung luar biasa setelah ketidaksengajaanku tadi. Bagi orang, mungkin biasa berpegangan antar lawan jenis, tapi bagi kak Ahmad? Aku tak menjamin.
            “Dik, Dik Zahra?” Suaranya yang halus memecah keheningan.
            “Iya Kak. Kakak marah ya?” Tolol, mengapa aku harus bertanya seperti itu pada dia.
            “Enggak kok, sudahlah. Allah tidak marah ketika kita tidak sengaja.”
            “Hmm.”
            “Dik?”
            “Apa Kak?”
            “Sempat nggak kamu berpikir untuk lebih giat membantu sesama.”
            “Sempat lah Kak, buktinya aku ikutan baksos, hehe.”
            “Kalau lebih dari itu?”
            “Maksud Kakak?”
            “Pergi ke Palestina mungkin.”
            “Palestina? Hmm aku takut.”
            “Apa yang kamu takutkan?”
            “Aku takut kalau, aku tak bisa kembali.”
            “Oh, begitu rupanya.”
            “Kenapa Kak?”
            “Tidak apa-apa.” Senyumnya menjulur setengah lingkaran ketika ia memutuskan untuk sedikit menoleh ke belakang, ya ke arahku. Dan siapapu pasti menebak kalau jantungku hampir lepas. Dan itu benar.
                                                                        ***
            Ada ketentraman tersendiri rupanya, bergaul lebih lama dengan orang-orang macam Laili, macam kak Ahmad. Menurutku, hanya pakaian yang membedakan mereka, selebihnya, mereka manusia normal. Manusia-manusia baik yang normal. Mereka tertawa dan bercanda seperti kebanyakan manusia. Lalu ada kalanya mereka bersujud lebih lama di hadapan Tuhan untuk memohon sesuatu, sesuatu terserah mereka. Namun satu hal yang baru kutemui selama ini—kenyataan bahwa mereka terlalu baik. Walaupun menurut banyak orang, seperti ada jarak antara perempuan dan laki-laki, tapi sebenanrnya jarak itu hampir tak terlihat ketika kami bekerja sama. Jarak hanya perkara syari’at yang membatasi pergaulan kami agar tak berlebihan.
            Baksos berjalan dengan lancar. Dan sudah barang tentu, kami harus pulang. Salah satu kegiatan pertama sudah berhasil diselesaikan. Itu berarti, 3 hari lagi kami berkumpul untuk penggalangan dana Palestina. Ya, meski lelah, tapi itu semua terbayar dengan ratusan senyum yang tertanam di wajah mereka, mereka yang untuk makan saja terlalu kesulitan karena himpitan masalah ekonomi. Kali ini kami pulang agak larut, tepatnya pukul 22.30. aku menunggu di pinggir jalan, berharap kak Ahmad segera datang. Dan rupanya terjadi, ia menghampiriku dengan senyum lebar hingga gigi gingsulnya terlihat menawan. Oh, dia menatapku dan menyerahkan kunci motornya padaku.
“Kamu pegang dulu ya, ambil helm dulu. Aku bawa motorku ke sana dulu. Kakak masih ada urusan bentar, kamu tunggu sini ya. Ada temen kakak yang belum dapat kendaraan. Maaf akan membuat kamu menunggu.”
            “Tak apa Kak.”
            Setengah jam kemudian, ia lewat, pas di depan mataku—membawa seorang perempuan yang duduk satu motor dengannya. Siapa dia, apakah itu teman kak Ahmad yang belum dapat kendaraan? Entahlah. Lalu, bagaimana denganku? Bagaimana caraku pulang? Seketika itu, Laili berteriak sangat nyaring.
            “Zahra! Zahra, kau bersama kak Rosyid saja, sepertinya kak Ahmad mengantar temannya.”
            “Iya Laili.” Sahutku penuh kekecewaan.
Benarkah? Mengapa kak Ahmad hanya menyuruhku untuk menunggu, ia tak mengatakan bila harus mengantar perempuan lain. Aku duduk tepat di belakang kak Rosyid. Tidak ada sama sekali, getar lirih yang kurasakan saat berboncengan dengan kak Ahmad. Aku hanya diam, mengikuti ke mana motor kak Rosyid melaju. Setelah 4 meter melaju, aku terpaku melihat kak Ahmad berhenti di samping sebuah mobil, tapi ia tak bersama perempuan tadi. Dan, kulihat perempuan yang tak kukenal itu di dalam mobil, berhimpitan dengan penumpang lainnya. Oh Tuhan, rupanya kak Ahmad hanya mengantarnya ke sebuah mobil. Kak Ahmad menghidupkan motor, dan ia menghampiri motor kak Rosyid. Sontak, kak Rosyid menghentikan laju motornya.
“Dik Zahra, motor kak Ahmad sudah free kamu sama kakak apa tetap sama kak Rosyid saja?”
“Hmm, terserah Kak, yang penting pulang. Sama kak Rosyid juga tidak apa-apa.” Aku menjawab dengan refleks bercampur salah tingkah.
“Baiklah. Hati-hati ya kalian berdua. Semoga selamat sampai tujuan.”
“Oke, siap.” Kak Rosyid menjawabnya dengan pendek kata, berlalu meninggalkan kak Ahmad.  Dan aku hanya diam, tak menjawab.
Bodoh. Apa yang kulakukan. Mengapa aku harus mengatakan hal semacam itu? Aku ingin sekali satu motor lagi dengan kak Ahmad, tapi mengapa kejujuran itu tertutup oleh bodohnya salah tingah? Kejujuran seakan hanya diam, terpendam dalam dasar hatiku. Ya, aku baru sadar. Terkadang, tidak ada kesempatan kedua untuk yang selalu diam dan memendam. Ada penyesalan yang berubi menghakimiku, tak henti-henti. Oh Tuhan, separah inikah cinta itu?
                                                            ***
Jumat, 25 Juli 2014
Aku berjalan ke sana ke mari. Mataku memandang penuh telisik. Mendapati seseorang yang kucari tak kutemui, aku lalu menyerah. Aku menemukan sebuah bangku tanpa penguni, lalu duduk di atasnya. Kepalaku terus merunduk, walau sengat mentari terasa menyiksa, aku tak peduli. Aku hanya memikirkan sosok itu. Sosok lelaki yang baru-baru ini mengisi hatiku.
“Zahra? Zahra sedang melamun?”
“Oh, Laili, ada apa?”
“Ada surat untukmu.” Lalili menempelkan secarik kertas tepat di atas tanganku.

Assalamu’alaikum. Dik Zahra, tadi pagi kakak berangkat. Kakak pergi jauh, kamu tahu ke mana? Ke sebuah negeri yang kini menderita. Ya, ke palestina. Kakak lolos seleksi relawan, mengalahkan ratusan dokter yang lain. Dan itu artinya, kakak harus berangkat, kakak tak mungkin menghidari pilihan yang sudah kakak pilih. Pergi ke sana adalah impian kakak dari dulu. Karena bukankah menjadi manusia harus bermanfaat? Kakak tak akan tahu bagaimana takdir kakak selanjutnya. Kakak juga tak menjamin bahwa kakak akan baik-baik saja. Jaga dirimu ya, tetaplah bersama dengan orang-orang baik, agar kebaikan itu menular. Sampai jumpa, entah kapan perjumpaan itu terjadi. Wassalam. 

“Zahra, mungkin kau terlalu dalam memikirkannya.” Celoteh Laili ketika melihat mataku yang penuh kaca.
Mungkin aku akan selalu memendam bayangmu, dalam rinduku.
















































Tidak ada komentar:

Posting Komentar