Malam yang semakin habis tak lantas membuatku larut dalam
heningnya benak yang kosong. Kucoba renungkan satu arti yang tersirat dari
kejamnya rindu. Ada satu masa, ketika sesuatu yang terlalu menggebu meracuni
pikiran, harus dihapus. Dengan melupakannya. Karena rasa yang tak pantas hanya
akan menjadi belati yang tajam melukai.Hingga kini tak terbesit dalam logikaku,
pertemuan sesederhana dan sesingkat itu mengapa sanggup merampas semua rasa
yang kumiliki? Aku sempat menghardikmu diam-diam, menganggap kau jahat.
Meletakkan kenangan seberpengaruh itu, namun tak sedikit pun kau berusaha
menyatakan perasaan yang sama denganku. Akhirnya, aku menyadari bahwa semua
itu, salahku. Salahku yang terlalu mendalami pertemuan itu, salahku yang
terlalu memaknai setiap waktu, ketika mataku bertemu dengan matamu. Ketika
percapakan biasa kuanggap terlalu istimewa. Ah mungkin memang aku sungguh
keterlaluan dalam menyikapi segala hal tentangmu.
Rinduku sederhana
Tanpa pelukan yang bercampur rasa dan entah apa
Tanpa kemesraan yang terumbar tanpa makna
Ya, sedernaha
Sesederhana melihat semburat senyum yang tergores di wajahmu yang teduh
Sesederhana melihat rembulan yang terpatri di matamu yang lembut
Rinduku sederhana
Meski dada mulai sesak dipenuhi kerinduan,
namun bisu tiada berpaling
Ia tetap memendam rindu dalam diam
Tanpa pelukan yang bercampur rasa dan entah apa
Tanpa kemesraan yang terumbar tanpa makna
Ya, sedernaha
Sesederhana melihat semburat senyum yang tergores di wajahmu yang teduh
Sesederhana melihat rembulan yang terpatri di matamu yang lembut
Rinduku sederhana
Meski dada mulai sesak dipenuhi kerinduan,
namun bisu tiada berpaling
Ia tetap memendam rindu dalam diam
***
Setahun yang
lalu . . .
“Kau
tidak kemari?”
“Kemana?”
“Ah, kau memang tak peduli dengan
ribuan saudara kita yang menderita di sana.”
“Apa maksudmu?”
“Sudah
kuduga. Apa yang selama ini kaulakukan hingga kabar mereka pun kau tidak
mengetahuinya. Tentang mereka yang puluhan tahun tidur beralaskan darah,
berselimut air mata, beratapkan kepulan asap dan . . .”
“Cukup! Jelaskan maksudmu!”
“Oh, hehe, bahkan aku tak yakin kau
bisa mengerti.”
“Jangan membuatku gila!”
“Bahkan aku juga tak pernah yakin
bila kau itu waras. Hahahaaaa.”
Laili
menutup ponselnya sambil menghakimiku dengan tanda tanya besar yang sulit
kupecahkan. Apa maksudnya, tanyaku dalam hati bertubi-tubi. Laili memang
seperti itu, kawan seperjuanganku di kerohanian islam (Salah satu
ekstrakulikuler keagamaan di sekolah) itu memang terkadang menjengkelkan.
Terlebih sifat militannya terhadap agama seringkali menyinggung orang lain,
termasuk teman-temannya yang tak seteguh itu menjalani hidup sesuai syari’at,
seperti halnya aku. Ia masih saja menegurku yang masih bergelut dengan facebook
dan twitter ketika adzan tiba, bahkan seringkali ia menatapku tajam sambil
menyebutkan ayat-ayat Tuhan saat aku memakai jeans atau pakaian ketat lainnya,
ia berkutbah dihadapanku layaknya ustadzah di televisi, tentang alam akhirat
dan neraka yang begitu mengerikan, dan terkadang itu membuatku merasa takut.
Namun, sebenarnya ia perempuan yang baik.
***
Mentari tak perhitungan kali ini.
Sinarnya berpendar begitu hebat, hampir membakar ubun-ubunku. Kuhela nafas
panjang sambil sejenak memejamkan mata, berharap lelah dapat sirna menjauhiku.
Walapun panas dan lemas menyergap tubuhku namun tak ada sedikitpun dalam
benakku, hasrat untuk membatalkan puasa. Aku datang terlambat kali ini. Masjid
Agung di Barat Aloon-aloon Ponorogo sudah dipenuhi ratusan manusia berpakaian
serba putih dari berbagai latar belakang. Mereka merapat ke tengah aloon-aloon
sambil senantiasa mengumandangkan takbir. “Allahu akbar, allahu akbaarr!”
Layaknya demonstran pada umumnya, mereka membawa spanduk dan aneka banner
bertuliskan Save Gaza, Ponorogo for Gaza, dan sebagainya. “Kita, umat muslim
harus bersatu untuk memerangi kekerasan!” Seru seorang orator yang berdiri di
mimbar kecil nan sederhana. Kami semua larut dalam gempita suasana, api
semangat yang dikobarkan oleh orator membuat kami semakin tenggelam dalam
lautan takbir yang menggema. Sesekali isak tangis pecak di antara demonstran
yang terlalu menghayati dan membayangkan anak-anak kecil tanpa dosa harus
meregang nyawa demi menebus agresi keji bangsa Israel. “Allahu akbar! Kita
harus mendukung mujahid Palestina yang teguh membela bangsanya,
kita harus membela mereka! Sambil terengah-engah, sang orator tetap bersemangat
seperti capres yang giat berkampanye.
“Assalamu’alaikum
Zahra, dikau datang juga rupanya. Gembira hatiku ini melihatmu rapi dan
cantik.”
“Wa’alaikum
salam. Aku ingin belajar peka dan beradaptasi dengan duniamu. Puaskah kau?”
Hingga hari ini aku masih menganggap berkeredung lebar dan berkaus kaki
kemana-mana adalah dunia Laili.
“Duniaku?
Oh, tentu saja bukan. Ini dunia kita, dunia islam.”
“Kau
bahkan memandang semua manusia di muka bumi harus menjadi muslim.”
“Salah
sangka. Tidak sahabatku, perbedaan adalah rahmat. Dan Allahlah yang menjadikan
kita bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kita tahu kebesaran-Nya.”
“Tapi
mengapa kita harus membenci yahudi? Karena mereka bukan islam, iya?”
“Ini
bukan soal agama, sayang. Ini soal HAM, kekerasan, dan perampokan. Ya, kita
benci kekerasan, karena itu kita menentang zionis Israel berkacak pinggang dan
semena-mena terhadap Palestina.”
“Tapi
bukankah nabi mengajarkan kita untuk tidak saling membenci?”
“Kita
tidak akan membenci selama Israel melepaskan Palestina dan menyerukan perdamaian
di muka bumi. Lagi pula, kalau bukan kita siapa lagi sayang? Palestina
membutuhkan kita, bukan hanya umat muslim di sana, tapi umat-umat lain yang
haus akan perdamaian. Bukankah tidak hanya umat islam yang tinggal di Palestina?
Ada banyak sekali pemeluk agama lain yang juga tinggal seatap dengan muslim,
mereka sama-sama memperjuangkan Palaestina.”
“Kau,
hmm benar Laili. Kali ini aku tak membantahmu.” Begitulah, untuk sekian
kalinya, pada akhirnya aku harus mengaku kalah bila berdiskusi dengan Laili, ia
terlalu pandai bagiku, dan terlalu istimewa sebagai seorang karib.
Demonstrasi
kali ini usai, walau mentari tlah berjalan ke barat, namun keningku masih penuh
keringat. Capek. Ya benar, demonstran mana yang tak capek berteriak sambil
berenang menyelami lautan matahari? Aku dan Laili turut berbaur dalam kerumunan
yang berarak menuju masjid. Aku tercengang. Tiba-tiba sesosok tangan hangat
menyentuh lenganku, tangan itu mencengkram dengan halus, namun erat, ia membawa
lenganku seolah mengajakku mengikuti langkahnya yang terburu-buru.
“Rosyid,
ayo bergegas. Waktunya shalat.”
“Maaf
kak, aku bukan Rosyid.” Tangannya yang lembut lantas membuatku tak memberontak.
Ia menoleh. Menyadari bahwa aku bukan orang yang ia maksud, ia melepaskan
tangannya yang bersandar di lenganku. Aku tak mengerti apa yang bergejolak
dalam benak. Ada getar ketika mataku bertemu dengan matanya. Mata itu, teduh.
Aku melihat bianglala terpahat di dalamnya, begitu indah. Wajahnya yang bersih
dengan jenggot tipis yang menghias dagunya, juga peci yang bersarang di
kepalanya menambah kesan alim pada dirinya.
“Astagfirullah.
Maaf, maaf, aku tak sengaja. Maaf, maaf.” Seseorang menerjangku dengan untaian
maaf yang tak habis-habis.
“I
i iya kak, ta tak apa.” Kataku yang terbata-bata. Entah mengapa aku jadi gugup.
Keringat dingin seketika mengucur deras menuruni leher dan pelipis. Ada apa
ini. Mengapa gejolak yang tumbuh begitu aneh dan janggal.
“Maaf,
maafkan saya. Saya tidak sengaja, maaf.”
“Iya,
iya tak apa.” Untuk kedua kalinya aku menjawab dengan kalimat yang sama.
Kalimat yang entah keluar dari mana, ia secara secara refleks keluar begitu
saja sebagai respon dari perkataannya. Karena sebenarnya, aku hanya sibuk
memandanginya, memperhatikan setiap detail pada wajah yang bagiku begitu mempesona.
Ia
berlalu, meski begitu ia masih saja berucap maaf seolah ia tlah melakukan dosa
besar padaku. Pdahal ia hanya tak sengaja menyentuh lenganku tapi mengapa ia
merasa sangat bersalah? Apakah ia terlalu alim hingga menyentuh perempuan
sedikit pun, ia tak berani? Padahal berapa tangan lelaki yang tlah menyentuhku?
Ya Tuhan, kadang aku memang lupa jikalau syari’at tak memperbolehkan dua
manusia lawan jenis yang belum menikah, saling bertukar rasa dalam
sentuhan-sentuhan yang mungkin itu sederhana dan terkesan wajar, namun
sebenarnya ada getar syahwat dalam sentuhan itu. Aku tahu dan aku mengerti,
tapi entah apa yang membuatku tak kunjung gigih mempertahankan syari’at-Nya.
“Sudah
Zahra, sudah. Kulihat kau begitu dalam, memperhatikannya.”
“Siapa
dia?” Aku bertanya pada Laili walau pandanganku masih lekat dengan sosok pria
berjalan cepat menuju masjid. Kuserahkan noktah fokus mataku untuk mengantar
pria itu pergi. Sesekali tampak tangannya sedang menggaruk leher juga siku,
entah benar-benar gatal, atau salah tingkah. Ia sempat beberapa kali menoleh,
mendapati matanya selalu bertemu dengan mataku, ia tersenyum malu-malu, hingga
jarak memutuskan pandanganku.
“Bahkan
tak kaulepas matamu dari tubuhnya, hah?”
“Ma
ma af Lail, hehehe.”
“Seharusnya
kauminta maaf padanya. Hehehe. Dia itu kak Muhammad dipanggilnya Ahmad, ketua
Forum Silaturrahmi Pendamping Rohis (FOSPOR) Ponorogo. Dirimu baru tahu ya?”
“Iya,
hmm. Eh, pendamping Rohis? Dia bukan mahsiswa seperti kita?”
“Dia
lulus tahun ini, dokter muda, alumni UI juga lho, dan cumlaude. Terus ya, dia itu sulung dari 5 bersaudara, tulang punggung
keluarga sejak ia masih duduk di bangku SMA. Rumahnya juga di pelosok desa
Sawoo, di daerah pegunungan, jauh dari Ponorogo kota. Subhanallah.”
“Kamu
tahu banyak ya Lail, soal kak Ahmad.” Nadaku yang datar sebenarnya
mengisyaratkan sebal dan tidak terima, mengapa Laili begitu tahu tentang kak
Ahmad?
“Sedikit
sih, hehehe.”
***
Sejak kali pertama aku bertemu
dengan kak Ahmad, ada yang berbeda dari diriku, tampak begitu aneh. Kesan sederhada yang tertoreh, terlalu
jauh menembus alam batinku. Aku tak mengerti, gejolak apa yang sering tiba-tiba
hadir seperti getar dawai, saat bayangnya terlintas. Ia menjelma siluman yang
seringkali menelusup nalar dan hati. Pertemuanku dengannya tak istimewa. Namun
apa yang membuat bayangnya tak henti tersirat dalam memori? Wajahnya,
tingkahnya, entahlah. Hanya 5 menit matanya dan mataku saling berjumpa dan
hanya 5 detik tangannya yang halus itu, menyentuh lenganku. Namun, sudah 5 hari
tak kunjung aku menyerah, untuk tak memikirkannya. Dan, diam-diam kukira
sah-sah saja bila aku mulai mengikutinya di berbagai sosial media. Aku merasa
betah berlama-lama memandang fotonya yang tertera di facebook atau pun twitter,
kurekam dalam-dalam, lalu kuputar raut wajahnya dalam imajinasi. Dan kegiatan
itu kuulang dan terus kuulang hingga menjadi suatu kenikmatan tersendiri yang
sulit untuk dideskripsikan.
Hari ini aku bergegegas. Kuraih tas
merah favorit dan jam tangan andalan yang selalu menemani segala bentuk kesibukan
yang tlah menjadi rutinitas. Ya, organisasi pemuda-pemuda Islam seperti rohis
sudah kuikuti lebih dari tiga tahun, tepatnya sejak kelas X SMA. Kecintaanku
pada organisasi yang banyak merubah hidupku ini aku buktikan dengan aktif
bergabung di SALAM UI, salah satu UKM dakwah di tingkat kampus. Ketika libur
panjang tiba, aku juga kembali aktif di ikatan alumni rohis SMA, karena
mungkin—walau imanku masih compang-camping—setidaknya aku berusaha menjadi apa
yang diinginkan Tuhanku. Ya, walau hanya dengan berkontribusi di jalan dakwah.
Jalan yang anehnya mengenalkanku pada perasaan aneh itu.
Pukul 14.00 aku tiba di masjid
Al-Kautsar, masjid besar yang terletak di SMA Negeri 1 Ponorogo, mantan
sekolahku.
“Assalamu’alaikum,
maaf terlambat.”
Sambil
kusalami satu per satu, kulempar senyum terbaik untuk anggota komunitas pemuda
Islam yang hadir dalam mimbar diskusi. Seperti biasa kusebar pandanganku ke
seluruh penjuru masjid, untuk memastikan siapa saja yang terketuk hatinya untuk
hadir dalam kegiatan yang dahulu menurutku kurang penting ini. Deg. Kak Ahmad.
Astaga, ia ikut juga. Bunyi jantungku seperti desah yang tak berirama, seperti
maling yang dikejar polisi, tak tentu arah. Aku hanya bisa sesekali menatap
mata bianglala itu, sesekali saja, karena jika berkali-kali, siapa yang tak
curiga? Mencuri pandang, kata orang itu frase yang akurat untuk menyimpulkan
betapa berharganya waktu, walau sedetik, untuk sedekar menemukan mata dengan
cinta. Cinta? Secepat itukah aku menyimpulkannya sebagai cinta? Bukankah cinta
yang terburu-buru itu tak bisa dipercaya? Entahlah.
Kak
Ahmad memang sangat berwibawa. Pembawaannya yang ringan dan suara halusnya yang
khas menurutku sanggup menghipnotis beberapa wanita, mungkin salah satunya
adalah aku. Kali ini ia memimpin rapat. Ia menjelaskan program kerja dan
deskripsi acara dengan sangat lugas dan mudah dipahami. Ya, bakti sosial
sekaligus acara penggalangan dana untuk Palestina tahun ini diketuai oleh kak
Ahmad. Sangat pas dan cocok, menurutku. Karena siapa menduga, ternyata ia juga
merupakan mantan ketua rohis sewaktu SMA. Kak Ahmad memakai baju kemeja biru
yang dipadu dengan celana bahan hitam. Ia terkesan rapi dan, hmm manis juga
ternyata. Hingga diskusi usai pun, mataku masih sesekali, mencuri warnanya,
walau sekilas.
***
Senin,
22 Juli 2014.
Bakti
sosial yang ditujukan untuk warga terbelakang di desa Karangpatihan Kecamatan
Pulung Kabupaten Ponorogo diikuti oleh hampir empat puluh relawan. Semua tahu,
tempat yang akan kami tuju itu sangat jauh dari kota, akses jalan menuju desa
Karangpatihan juga susah. Maklum, salah satu desa yang terletak di pinggiran
kabupaten Ponorogo ini sangat memprihatinkan. Bukan hanya jalannya yang belum
di aspal, tanjakan dan turunan dengan jurang kanan kiri yang membentang akan
menghiasi perjalanan kami. Karena itu, para relawan perempuan tidak disarankan
untuk mengendarai motor sendiri, alias harus dibonceng oleh seorang pria atau
ikut naik mobil.
Ketika
aku tiba di basecamp relawan, sudah
banyak kawan yang tlah berkumpul. Mereka tampak dengan serius mendengarkan
arahan dari kak Ahmad sebelum pemberangkatan. Laili juga sudah hadir, jilbab
panjang yang menjulur, rok, dan kaos kaki tak lupa menghiasi penampilannya.
“Kamu
ikut naik mobil yang itu, Laili?” Sapaku sambil menunjuk ke arah mobil berwarna
putih yang terparkir di samping kami.
“Iya
Zahra, nih lihat aku pakai rok. Ngga mungkin naik motor kan? Kalo kamu?”
“Aku
belum tahu, belum dapat tumpangan nih, aku sengaja pakai celana biar fleksibel,
bisa naik mobil atau dibonceng, naik motor.”
“Kayaknya
kamu harus segera lapor kak Ahmad deh, soalnya mobil seingatku udah penuh. Biar
dicarikan tebengan tar.”
“Iya
Laili, makasih ya.”
Pas
sekali. Kak Ahmad menyuruh relawan perempuan yang belum dapat kendaraan untuk
angkat tangan. Kujulurkan tanganku ke atas tanpa ragu. Ada beberapa relawan
yang turut mengangkat tangan. Ia sangat cekatan dalam mengatasi hal ini.
Dicarikannya satu-satu relawan pria yang belum membonceng siapapun. Dan pada
ujungnya, tinggal aku yang belum.
“Kak,
aku belum nih.” Kuangkat tanganku sambil berdiri tepat di depan kak Ahmad.
“Aku
masih kosong, Dik Zahra bareng aku aja.”
“Hmm,
iya Kak.”
Desah
jantungku hadir lagi. Kali ini lebih keras hingga hampir-hampir merobek dadaku.
Yang benar saja? Aku harus duduk di atas motor, selama lebih dari satu jam,
bersama sosok yang selama ini berkelana dalam pikiranku. Apa sanggup aku
menahan gejolak yang dapat membuatku salah tingkah? Aku hanya berjalan
mengikuti langkah kak Ahmad menuju motor hitamnya. Ia menaiki motornya lalu
menoleh ke belakang, ia melihat mataku seakan mengisyaratkan bahwa aku harus
segera naik. Kukenakan helm dan kunaiki motor itu dengan hati-hati. Kami berada
pada jarak sekitar lima belas centimeter, ada satu tas ransel yang menghalangi
punggungnya bertemu dengan dadaku. Dan kurasa itu tak cukup membuat jantungku
berhenti berdesah.
“Dik
Zahra sudah siap?”
“Sudah
Kak.”
Kak
Ahmad mengendarai motor dengan kecepatan sekitar 70 km/jam. Biasanya, tubuhku
sudah bergetar tak karuan dan nyaliku ikut menipis bila dibonceng melebihi 60
km/jam. Namun entah mengapa kali ini sunggguh berbeda. Aku merasa nyaman walau
tak satu tanganku pun meraih pinggangnya. Dua kilometer pertama perjalanan
kami, tiada kata yang terucap. Kami seperti tenggelam dalam lautan diam. Hingga
kak Ahmad kembali membuka percakapan.
“Dik
Zahra kuliah di UI juga ya?”
“Bener
Kak, kakak tahu dari mana?”
“Temen-temen
komunitas rata-rata juga sudah tahu kalo adik kuliah di sana. Ambil jurusan
Sastra Indonesia kan?”
“Iya
Kak.”
Walau
aku tak yakin, relawan komunitas pemuda Islam yang sebanyak itu sebagian besar
sudah tahu tentang kuliahku. Aku tak ingin bertanya lebih jauh.
“
Diem saja. Biasanya cerewet gitu.”
Dari
mana kak Ahmad tahu kalau aku cerewet? Apakah kak Ahmad diam-diam juga
memerhatikanku? Ah tak mungkin. Lebih baik aku mengubur dalam-dalam
ke-ge-er-anku.
“Kak
Ahmad lulusan UI ya? Pendidikan Dokter? Lulus tahun ini kan ya?”
“Iya,
hehehe tahu aja. Emang kakak terkenal banget ya, sampai dik Zahra tahu gitu.”
“Hehehe.
Kakak kan emang terkenal deh. Eh, keceplosan. Kakak sekarang kerja dimana?”
“Aku
masih magang di RSUD kabupaten Ponorogo untuk beberapa bulan ini. Sambil kadang
nerima panggilan kalo ada yang sakit. Mau nabung dulu biar bisa buka praktek di
rumah”
“Oh,
kakak hebat, baru lulus udah ngeksis aja jadi dokter, hehe.”
“Dik
Zahra suka nulis ya? Pengen jadi penulis gitu?”
“Iya
dong Kak, doakan ya Kak. Aku ngefans banget sama Chairil Anwar. Tar pengen deh
jadi sastrawan terkenal kek dia.”
“Amin.
Kamu pasti bisa kok. Chairil Anwar yang salah satu puisinya berjudul ‘Aku’ itu
ya? Wah kamu pasti bagus deh kalo baca puisi itu. Bacain buat aku dong,
hehehe.”
“Hehe
, kakak bisa aja. Malu dong Kak, masa di jalan gini teriak-teriak.”
Tiba-tiba
ada sebuah lubang cukup besar di depan kami, kak Ahmad seperti tak bisa menghindarinya,
dan sudah kuduga. Ban motor kak Ahmad tanpa dosa menerjang lubang itu, badanku
tak kuasa menahan guncangan yang dapat menjatuhkanku. Segera kuraih pinggang
kak Ahmad dengan erat. Dan syukurlah kami tak terjatuh.
“Maaf
Kak.”
‘Ehm,
iya.”
Kami lalu terdiam. Membiarkan deru
motor mencabik-cabik hening yang kami ciptakan. Mungkin, refleks perbuatanku
tlah menciderai hangat percakapan yang muncul begitu saja. Grogi dan rasa
bersalah menghantuiku. Apa kak Ahmad marah? Mengapa ia terus diam? Hmm, kupendam
pertanyaan itu hanya dalam diam. Oh tidak, aku merasa canggung luar biasa
setelah ketidaksengajaanku tadi. Bagi orang, mungkin biasa berpegangan antar
lawan jenis, tapi bagi kak Ahmad? Aku tak menjamin.
“Dik, Dik Zahra?” Suaranya yang
halus memecah keheningan.
“Iya Kak. Kakak marah ya?” Tolol,
mengapa aku harus bertanya seperti itu pada dia.
“Enggak kok, sudahlah. Allah tidak
marah ketika kita tidak sengaja.”
“Hmm.”
“Dik?”
“Apa Kak?”
“Sempat nggak kamu berpikir untuk
lebih giat membantu sesama.”
“Sempat lah Kak, buktinya aku ikutan
baksos, hehe.”
“Kalau lebih dari itu?”
“Maksud Kakak?”
“Pergi ke Palestina mungkin.”
“Palestina? Hmm aku takut.”
“Apa yang kamu takutkan?”
“Aku takut kalau, aku tak bisa
kembali.”
“Oh, begitu rupanya.”
“Kenapa Kak?”
“Tidak apa-apa.” Senyumnya menjulur
setengah lingkaran ketika ia memutuskan untuk sedikit menoleh ke belakang, ya
ke arahku. Dan siapapu pasti menebak kalau jantungku hampir lepas. Dan itu
benar.
***
Ada ketentraman tersendiri rupanya,
bergaul lebih lama dengan orang-orang macam Laili, macam kak Ahmad. Menurutku,
hanya pakaian yang membedakan mereka, selebihnya, mereka manusia normal.
Manusia-manusia baik yang normal. Mereka tertawa dan bercanda seperti
kebanyakan manusia. Lalu ada kalanya mereka bersujud lebih lama di hadapan
Tuhan untuk memohon sesuatu, sesuatu terserah mereka. Namun satu hal yang baru
kutemui selama ini—kenyataan bahwa mereka terlalu baik. Walaupun menurut banyak
orang, seperti ada jarak antara perempuan dan laki-laki, tapi sebenanrnya jarak
itu hampir tak terlihat ketika kami bekerja sama. Jarak hanya perkara syari’at
yang membatasi pergaulan kami agar tak berlebihan.
Baksos berjalan dengan lancar. Dan
sudah barang tentu, kami harus pulang. Salah satu kegiatan pertama sudah
berhasil diselesaikan. Itu berarti, 3 hari lagi kami berkumpul untuk
penggalangan dana Palestina. Ya, meski lelah, tapi itu semua terbayar dengan
ratusan senyum yang tertanam di wajah mereka, mereka yang untuk makan saja
terlalu kesulitan karena himpitan masalah ekonomi. Kali ini kami pulang agak
larut, tepatnya pukul 22.30. aku menunggu di pinggir jalan, berharap kak Ahmad
segera datang. Dan rupanya terjadi, ia menghampiriku dengan senyum lebar hingga
gigi gingsulnya terlihat menawan. Oh, dia menatapku dan menyerahkan kunci
motornya padaku.
“Kamu
pegang dulu ya, ambil helm dulu. Aku bawa motorku ke sana dulu. Kakak masih ada
urusan bentar, kamu tunggu sini ya. Ada temen kakak yang belum dapat kendaraan.
Maaf akan membuat kamu menunggu.”
“Tak apa Kak.”
Setengah jam kemudian, ia lewat, pas
di depan mataku—membawa seorang perempuan yang duduk satu motor dengannya.
Siapa dia, apakah itu teman kak Ahmad yang belum dapat kendaraan? Entahlah. Lalu,
bagaimana denganku? Bagaimana caraku pulang? Seketika itu, Laili berteriak
sangat nyaring.
“Zahra! Zahra, kau bersama kak
Rosyid saja, sepertinya kak Ahmad mengantar temannya.”
“Iya Laili.” Sahutku penuh
kekecewaan.
Benarkah?
Mengapa kak Ahmad hanya menyuruhku untuk menunggu, ia tak mengatakan bila harus
mengantar perempuan lain. Aku duduk tepat di belakang kak Rosyid. Tidak ada
sama sekali, getar lirih yang kurasakan saat berboncengan dengan kak Ahmad. Aku
hanya diam, mengikuti ke mana motor kak Rosyid melaju. Setelah 4 meter melaju,
aku terpaku melihat kak Ahmad berhenti di samping sebuah mobil, tapi ia tak
bersama perempuan tadi. Dan, kulihat perempuan yang tak kukenal itu di dalam
mobil, berhimpitan dengan penumpang lainnya. Oh Tuhan, rupanya kak Ahmad hanya
mengantarnya ke sebuah mobil. Kak Ahmad menghidupkan motor, dan ia menghampiri
motor kak Rosyid. Sontak, kak Rosyid menghentikan laju motornya.
“Dik
Zahra, motor kak Ahmad sudah free kamu
sama kakak apa tetap sama kak Rosyid saja?”
“Hmm,
terserah Kak, yang penting pulang. Sama kak Rosyid juga tidak apa-apa.” Aku
menjawab dengan refleks bercampur salah tingkah.
“Baiklah.
Hati-hati ya kalian berdua. Semoga selamat sampai tujuan.”
“Oke,
siap.” Kak Rosyid menjawabnya dengan pendek kata, berlalu meninggalkan kak
Ahmad. Dan aku hanya diam, tak menjawab.
Bodoh.
Apa yang kulakukan. Mengapa aku harus mengatakan hal semacam itu? Aku ingin
sekali satu motor lagi dengan kak Ahmad, tapi mengapa kejujuran itu tertutup
oleh bodohnya salah tingah? Kejujuran seakan hanya diam, terpendam dalam dasar
hatiku. Ya, aku baru sadar. Terkadang, tidak ada kesempatan kedua untuk yang
selalu diam dan memendam. Ada penyesalan yang berubi menghakimiku, tak
henti-henti. Oh Tuhan, separah inikah cinta itu?
***
Jumat,
25 Juli 2014
Aku
berjalan ke sana ke mari. Mataku memandang penuh telisik. Mendapati seseorang
yang kucari tak kutemui, aku lalu menyerah. Aku menemukan sebuah bangku tanpa
penguni, lalu duduk di atasnya. Kepalaku terus merunduk, walau sengat mentari
terasa menyiksa, aku tak peduli. Aku hanya memikirkan sosok itu. Sosok lelaki
yang baru-baru ini mengisi hatiku.
“Zahra?
Zahra sedang melamun?”
“Oh,
Laili, ada apa?”
“Ada
surat untukmu.” Lalili menempelkan secarik kertas tepat di atas tanganku.
Assalamu’alaikum. Dik
Zahra, tadi pagi kakak berangkat. Kakak pergi jauh, kamu tahu ke mana? Ke
sebuah negeri yang kini menderita. Ya, ke palestina. Kakak lolos seleksi
relawan, mengalahkan ratusan dokter yang lain. Dan itu artinya, kakak harus
berangkat, kakak tak mungkin menghidari pilihan yang sudah kakak pilih. Pergi
ke sana adalah impian kakak dari dulu. Karena bukankah menjadi manusia harus
bermanfaat? Kakak tak akan tahu bagaimana takdir kakak selanjutnya. Kakak juga
tak menjamin bahwa kakak akan baik-baik saja. Jaga dirimu ya, tetaplah bersama
dengan orang-orang baik, agar kebaikan itu menular. Sampai jumpa, entah kapan
perjumpaan itu terjadi. Wassalam.
“Zahra,
mungkin kau terlalu dalam memikirkannya.” Celoteh Laili ketika melihat mataku yang
penuh kaca.
Mungkin aku akan selalu memendam bayangmu, dalam rinduku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar