Bianglala menghunuskan keyakinan pada kepak tangan-tangan merak
menguraikan pekat kemelut realita dengan molaritas yang pas
karena tak selamanya malam sehitam kopi
Bianglala
Beda mata beda rasa, beda pena beda makna
Translate
Rabu, 06 Agustus 2014
Rinduku
Malam yang semakin habis tak lantas membuatku larut dalam
heningnya benak yang kosong. Kucoba renungkan satu arti yang tersirat dari
kejamnya rindu. Ada satu masa, ketika sesuatu yang terlalu menggebu meracuni
pikiran, harus dihapus. Dengan melupakannya. Karena rasa yang tak pantas hanya
akan menjadi belati yang tajam melukai.Hingga kini tak terbesit dalam logikaku,
pertemuan sesederhana dan sesingkat itu mengapa sanggup merampas semua rasa
yang kumiliki? Aku sempat menghardikmu diam-diam, menganggap kau jahat.
Meletakkan kenangan seberpengaruh itu, namun tak sedikit pun kau berusaha
menyatakan perasaan yang sama denganku. Akhirnya, aku menyadari bahwa semua
itu, salahku. Salahku yang terlalu mendalami pertemuan itu, salahku yang
terlalu memaknai setiap waktu, ketika mataku bertemu dengan matamu. Ketika
percapakan biasa kuanggap terlalu istimewa. Ah mungkin memang aku sungguh
keterlaluan dalam menyikapi segala hal tentangmu.
Rinduku sederhana
Tanpa pelukan yang bercampur rasa dan entah apa
Tanpa kemesraan yang terumbar tanpa makna
Ya, sedernaha
Sesederhana melihat semburat senyum yang tergores di wajahmu yang teduh
Sesederhana melihat rembulan yang terpatri di matamu yang lembut
Rinduku sederhana
Meski dada mulai sesak dipenuhi kerinduan,
namun bisu tiada berpaling
Ia tetap memendam rindu dalam diam
Tanpa pelukan yang bercampur rasa dan entah apa
Tanpa kemesraan yang terumbar tanpa makna
Ya, sedernaha
Sesederhana melihat semburat senyum yang tergores di wajahmu yang teduh
Sesederhana melihat rembulan yang terpatri di matamu yang lembut
Rinduku sederhana
Meski dada mulai sesak dipenuhi kerinduan,
namun bisu tiada berpaling
Ia tetap memendam rindu dalam diam
***
Setahun yang
lalu . . .
“Kau
tidak kemari?”
“Kemana?”
“Ah, kau memang tak peduli dengan
ribuan saudara kita yang menderita di sana.”
“Apa maksudmu?”
“Sudah
kuduga. Apa yang selama ini kaulakukan hingga kabar mereka pun kau tidak
mengetahuinya. Tentang mereka yang puluhan tahun tidur beralaskan darah,
berselimut air mata, beratapkan kepulan asap dan . . .”
“Cukup! Jelaskan maksudmu!”
“Oh, hehe, bahkan aku tak yakin kau
bisa mengerti.”
“Jangan membuatku gila!”
“Bahkan aku juga tak pernah yakin
bila kau itu waras. Hahahaaaa.”
Laili
menutup ponselnya sambil menghakimiku dengan tanda tanya besar yang sulit
kupecahkan. Apa maksudnya, tanyaku dalam hati bertubi-tubi. Laili memang
seperti itu, kawan seperjuanganku di kerohanian islam (Salah satu
ekstrakulikuler keagamaan di sekolah) itu memang terkadang menjengkelkan.
Terlebih sifat militannya terhadap agama seringkali menyinggung orang lain,
termasuk teman-temannya yang tak seteguh itu menjalani hidup sesuai syari’at,
seperti halnya aku. Ia masih saja menegurku yang masih bergelut dengan facebook
dan twitter ketika adzan tiba, bahkan seringkali ia menatapku tajam sambil
menyebutkan ayat-ayat Tuhan saat aku memakai jeans atau pakaian ketat lainnya,
ia berkutbah dihadapanku layaknya ustadzah di televisi, tentang alam akhirat
dan neraka yang begitu mengerikan, dan terkadang itu membuatku merasa takut.
Namun, sebenarnya ia perempuan yang baik.
***
Mentari tak perhitungan kali ini.
Sinarnya berpendar begitu hebat, hampir membakar ubun-ubunku. Kuhela nafas
panjang sambil sejenak memejamkan mata, berharap lelah dapat sirna menjauhiku.
Walapun panas dan lemas menyergap tubuhku namun tak ada sedikitpun dalam
benakku, hasrat untuk membatalkan puasa. Aku datang terlambat kali ini. Masjid
Agung di Barat Aloon-aloon Ponorogo sudah dipenuhi ratusan manusia berpakaian
serba putih dari berbagai latar belakang. Mereka merapat ke tengah aloon-aloon
sambil senantiasa mengumandangkan takbir. “Allahu akbar, allahu akbaarr!”
Layaknya demonstran pada umumnya, mereka membawa spanduk dan aneka banner
bertuliskan Save Gaza, Ponorogo for Gaza, dan sebagainya. “Kita, umat muslim
harus bersatu untuk memerangi kekerasan!” Seru seorang orator yang berdiri di
mimbar kecil nan sederhana. Kami semua larut dalam gempita suasana, api
semangat yang dikobarkan oleh orator membuat kami semakin tenggelam dalam
lautan takbir yang menggema. Sesekali isak tangis pecak di antara demonstran
yang terlalu menghayati dan membayangkan anak-anak kecil tanpa dosa harus
meregang nyawa demi menebus agresi keji bangsa Israel. “Allahu akbar! Kita
harus mendukung mujahid Palestina yang teguh membela bangsanya,
kita harus membela mereka! Sambil terengah-engah, sang orator tetap bersemangat
seperti capres yang giat berkampanye.
“Assalamu’alaikum
Zahra, dikau datang juga rupanya. Gembira hatiku ini melihatmu rapi dan
cantik.”
“Wa’alaikum
salam. Aku ingin belajar peka dan beradaptasi dengan duniamu. Puaskah kau?”
Hingga hari ini aku masih menganggap berkeredung lebar dan berkaus kaki
kemana-mana adalah dunia Laili.
“Duniaku?
Oh, tentu saja bukan. Ini dunia kita, dunia islam.”
“Kau
bahkan memandang semua manusia di muka bumi harus menjadi muslim.”
“Salah
sangka. Tidak sahabatku, perbedaan adalah rahmat. Dan Allahlah yang menjadikan
kita bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kita tahu kebesaran-Nya.”
“Tapi
mengapa kita harus membenci yahudi? Karena mereka bukan islam, iya?”
“Ini
bukan soal agama, sayang. Ini soal HAM, kekerasan, dan perampokan. Ya, kita
benci kekerasan, karena itu kita menentang zionis Israel berkacak pinggang dan
semena-mena terhadap Palestina.”
“Tapi
bukankah nabi mengajarkan kita untuk tidak saling membenci?”
“Kita
tidak akan membenci selama Israel melepaskan Palestina dan menyerukan perdamaian
di muka bumi. Lagi pula, kalau bukan kita siapa lagi sayang? Palestina
membutuhkan kita, bukan hanya umat muslim di sana, tapi umat-umat lain yang
haus akan perdamaian. Bukankah tidak hanya umat islam yang tinggal di Palestina?
Ada banyak sekali pemeluk agama lain yang juga tinggal seatap dengan muslim,
mereka sama-sama memperjuangkan Palaestina.”
“Kau,
hmm benar Laili. Kali ini aku tak membantahmu.” Begitulah, untuk sekian
kalinya, pada akhirnya aku harus mengaku kalah bila berdiskusi dengan Laili, ia
terlalu pandai bagiku, dan terlalu istimewa sebagai seorang karib.
Demonstrasi
kali ini usai, walau mentari tlah berjalan ke barat, namun keningku masih penuh
keringat. Capek. Ya benar, demonstran mana yang tak capek berteriak sambil
berenang menyelami lautan matahari? Aku dan Laili turut berbaur dalam kerumunan
yang berarak menuju masjid. Aku tercengang. Tiba-tiba sesosok tangan hangat
menyentuh lenganku, tangan itu mencengkram dengan halus, namun erat, ia membawa
lenganku seolah mengajakku mengikuti langkahnya yang terburu-buru.
“Rosyid,
ayo bergegas. Waktunya shalat.”
“Maaf
kak, aku bukan Rosyid.” Tangannya yang lembut lantas membuatku tak memberontak.
Ia menoleh. Menyadari bahwa aku bukan orang yang ia maksud, ia melepaskan
tangannya yang bersandar di lenganku. Aku tak mengerti apa yang bergejolak
dalam benak. Ada getar ketika mataku bertemu dengan matanya. Mata itu, teduh.
Aku melihat bianglala terpahat di dalamnya, begitu indah. Wajahnya yang bersih
dengan jenggot tipis yang menghias dagunya, juga peci yang bersarang di
kepalanya menambah kesan alim pada dirinya.
“Astagfirullah.
Maaf, maaf, aku tak sengaja. Maaf, maaf.” Seseorang menerjangku dengan untaian
maaf yang tak habis-habis.
“I
i iya kak, ta tak apa.” Kataku yang terbata-bata. Entah mengapa aku jadi gugup.
Keringat dingin seketika mengucur deras menuruni leher dan pelipis. Ada apa
ini. Mengapa gejolak yang tumbuh begitu aneh dan janggal.
“Maaf,
maafkan saya. Saya tidak sengaja, maaf.”
“Iya,
iya tak apa.” Untuk kedua kalinya aku menjawab dengan kalimat yang sama.
Kalimat yang entah keluar dari mana, ia secara secara refleks keluar begitu
saja sebagai respon dari perkataannya. Karena sebenarnya, aku hanya sibuk
memandanginya, memperhatikan setiap detail pada wajah yang bagiku begitu mempesona.
Ia
berlalu, meski begitu ia masih saja berucap maaf seolah ia tlah melakukan dosa
besar padaku. Pdahal ia hanya tak sengaja menyentuh lenganku tapi mengapa ia
merasa sangat bersalah? Apakah ia terlalu alim hingga menyentuh perempuan
sedikit pun, ia tak berani? Padahal berapa tangan lelaki yang tlah menyentuhku?
Ya Tuhan, kadang aku memang lupa jikalau syari’at tak memperbolehkan dua
manusia lawan jenis yang belum menikah, saling bertukar rasa dalam
sentuhan-sentuhan yang mungkin itu sederhana dan terkesan wajar, namun
sebenarnya ada getar syahwat dalam sentuhan itu. Aku tahu dan aku mengerti,
tapi entah apa yang membuatku tak kunjung gigih mempertahankan syari’at-Nya.
“Sudah
Zahra, sudah. Kulihat kau begitu dalam, memperhatikannya.”
“Siapa
dia?” Aku bertanya pada Laili walau pandanganku masih lekat dengan sosok pria
berjalan cepat menuju masjid. Kuserahkan noktah fokus mataku untuk mengantar
pria itu pergi. Sesekali tampak tangannya sedang menggaruk leher juga siku,
entah benar-benar gatal, atau salah tingkah. Ia sempat beberapa kali menoleh,
mendapati matanya selalu bertemu dengan mataku, ia tersenyum malu-malu, hingga
jarak memutuskan pandanganku.
“Bahkan
tak kaulepas matamu dari tubuhnya, hah?”
“Ma
ma af Lail, hehehe.”
“Seharusnya
kauminta maaf padanya. Hehehe. Dia itu kak Muhammad dipanggilnya Ahmad, ketua
Forum Silaturrahmi Pendamping Rohis (FOSPOR) Ponorogo. Dirimu baru tahu ya?”
“Iya,
hmm. Eh, pendamping Rohis? Dia bukan mahsiswa seperti kita?”
“Dia
lulus tahun ini, dokter muda, alumni UI juga lho, dan cumlaude. Terus ya, dia itu sulung dari 5 bersaudara, tulang punggung
keluarga sejak ia masih duduk di bangku SMA. Rumahnya juga di pelosok desa
Sawoo, di daerah pegunungan, jauh dari Ponorogo kota. Subhanallah.”
“Kamu
tahu banyak ya Lail, soal kak Ahmad.” Nadaku yang datar sebenarnya
mengisyaratkan sebal dan tidak terima, mengapa Laili begitu tahu tentang kak
Ahmad?
“Sedikit
sih, hehehe.”
***
Sejak kali pertama aku bertemu
dengan kak Ahmad, ada yang berbeda dari diriku, tampak begitu aneh. Kesan sederhada yang tertoreh, terlalu
jauh menembus alam batinku. Aku tak mengerti, gejolak apa yang sering tiba-tiba
hadir seperti getar dawai, saat bayangnya terlintas. Ia menjelma siluman yang
seringkali menelusup nalar dan hati. Pertemuanku dengannya tak istimewa. Namun
apa yang membuat bayangnya tak henti tersirat dalam memori? Wajahnya,
tingkahnya, entahlah. Hanya 5 menit matanya dan mataku saling berjumpa dan
hanya 5 detik tangannya yang halus itu, menyentuh lenganku. Namun, sudah 5 hari
tak kunjung aku menyerah, untuk tak memikirkannya. Dan, diam-diam kukira
sah-sah saja bila aku mulai mengikutinya di berbagai sosial media. Aku merasa
betah berlama-lama memandang fotonya yang tertera di facebook atau pun twitter,
kurekam dalam-dalam, lalu kuputar raut wajahnya dalam imajinasi. Dan kegiatan
itu kuulang dan terus kuulang hingga menjadi suatu kenikmatan tersendiri yang
sulit untuk dideskripsikan.
Hari ini aku bergegegas. Kuraih tas
merah favorit dan jam tangan andalan yang selalu menemani segala bentuk kesibukan
yang tlah menjadi rutinitas. Ya, organisasi pemuda-pemuda Islam seperti rohis
sudah kuikuti lebih dari tiga tahun, tepatnya sejak kelas X SMA. Kecintaanku
pada organisasi yang banyak merubah hidupku ini aku buktikan dengan aktif
bergabung di SALAM UI, salah satu UKM dakwah di tingkat kampus. Ketika libur
panjang tiba, aku juga kembali aktif di ikatan alumni rohis SMA, karena
mungkin—walau imanku masih compang-camping—setidaknya aku berusaha menjadi apa
yang diinginkan Tuhanku. Ya, walau hanya dengan berkontribusi di jalan dakwah.
Jalan yang anehnya mengenalkanku pada perasaan aneh itu.
Pukul 14.00 aku tiba di masjid
Al-Kautsar, masjid besar yang terletak di SMA Negeri 1 Ponorogo, mantan
sekolahku.
“Assalamu’alaikum,
maaf terlambat.”
Sambil
kusalami satu per satu, kulempar senyum terbaik untuk anggota komunitas pemuda
Islam yang hadir dalam mimbar diskusi. Seperti biasa kusebar pandanganku ke
seluruh penjuru masjid, untuk memastikan siapa saja yang terketuk hatinya untuk
hadir dalam kegiatan yang dahulu menurutku kurang penting ini. Deg. Kak Ahmad.
Astaga, ia ikut juga. Bunyi jantungku seperti desah yang tak berirama, seperti
maling yang dikejar polisi, tak tentu arah. Aku hanya bisa sesekali menatap
mata bianglala itu, sesekali saja, karena jika berkali-kali, siapa yang tak
curiga? Mencuri pandang, kata orang itu frase yang akurat untuk menyimpulkan
betapa berharganya waktu, walau sedetik, untuk sedekar menemukan mata dengan
cinta. Cinta? Secepat itukah aku menyimpulkannya sebagai cinta? Bukankah cinta
yang terburu-buru itu tak bisa dipercaya? Entahlah.
Kak
Ahmad memang sangat berwibawa. Pembawaannya yang ringan dan suara halusnya yang
khas menurutku sanggup menghipnotis beberapa wanita, mungkin salah satunya
adalah aku. Kali ini ia memimpin rapat. Ia menjelaskan program kerja dan
deskripsi acara dengan sangat lugas dan mudah dipahami. Ya, bakti sosial
sekaligus acara penggalangan dana untuk Palestina tahun ini diketuai oleh kak
Ahmad. Sangat pas dan cocok, menurutku. Karena siapa menduga, ternyata ia juga
merupakan mantan ketua rohis sewaktu SMA. Kak Ahmad memakai baju kemeja biru
yang dipadu dengan celana bahan hitam. Ia terkesan rapi dan, hmm manis juga
ternyata. Hingga diskusi usai pun, mataku masih sesekali, mencuri warnanya,
walau sekilas.
***
Senin,
22 Juli 2014.
Bakti
sosial yang ditujukan untuk warga terbelakang di desa Karangpatihan Kecamatan
Pulung Kabupaten Ponorogo diikuti oleh hampir empat puluh relawan. Semua tahu,
tempat yang akan kami tuju itu sangat jauh dari kota, akses jalan menuju desa
Karangpatihan juga susah. Maklum, salah satu desa yang terletak di pinggiran
kabupaten Ponorogo ini sangat memprihatinkan. Bukan hanya jalannya yang belum
di aspal, tanjakan dan turunan dengan jurang kanan kiri yang membentang akan
menghiasi perjalanan kami. Karena itu, para relawan perempuan tidak disarankan
untuk mengendarai motor sendiri, alias harus dibonceng oleh seorang pria atau
ikut naik mobil.
Ketika
aku tiba di basecamp relawan, sudah
banyak kawan yang tlah berkumpul. Mereka tampak dengan serius mendengarkan
arahan dari kak Ahmad sebelum pemberangkatan. Laili juga sudah hadir, jilbab
panjang yang menjulur, rok, dan kaos kaki tak lupa menghiasi penampilannya.
“Kamu
ikut naik mobil yang itu, Laili?” Sapaku sambil menunjuk ke arah mobil berwarna
putih yang terparkir di samping kami.
“Iya
Zahra, nih lihat aku pakai rok. Ngga mungkin naik motor kan? Kalo kamu?”
“Aku
belum tahu, belum dapat tumpangan nih, aku sengaja pakai celana biar fleksibel,
bisa naik mobil atau dibonceng, naik motor.”
“Kayaknya
kamu harus segera lapor kak Ahmad deh, soalnya mobil seingatku udah penuh. Biar
dicarikan tebengan tar.”
“Iya
Laili, makasih ya.”
Pas
sekali. Kak Ahmad menyuruh relawan perempuan yang belum dapat kendaraan untuk
angkat tangan. Kujulurkan tanganku ke atas tanpa ragu. Ada beberapa relawan
yang turut mengangkat tangan. Ia sangat cekatan dalam mengatasi hal ini.
Dicarikannya satu-satu relawan pria yang belum membonceng siapapun. Dan pada
ujungnya, tinggal aku yang belum.
“Kak,
aku belum nih.” Kuangkat tanganku sambil berdiri tepat di depan kak Ahmad.
“Aku
masih kosong, Dik Zahra bareng aku aja.”
“Hmm,
iya Kak.”
Desah
jantungku hadir lagi. Kali ini lebih keras hingga hampir-hampir merobek dadaku.
Yang benar saja? Aku harus duduk di atas motor, selama lebih dari satu jam,
bersama sosok yang selama ini berkelana dalam pikiranku. Apa sanggup aku
menahan gejolak yang dapat membuatku salah tingkah? Aku hanya berjalan
mengikuti langkah kak Ahmad menuju motor hitamnya. Ia menaiki motornya lalu
menoleh ke belakang, ia melihat mataku seakan mengisyaratkan bahwa aku harus
segera naik. Kukenakan helm dan kunaiki motor itu dengan hati-hati. Kami berada
pada jarak sekitar lima belas centimeter, ada satu tas ransel yang menghalangi
punggungnya bertemu dengan dadaku. Dan kurasa itu tak cukup membuat jantungku
berhenti berdesah.
“Dik
Zahra sudah siap?”
“Sudah
Kak.”
Kak
Ahmad mengendarai motor dengan kecepatan sekitar 70 km/jam. Biasanya, tubuhku
sudah bergetar tak karuan dan nyaliku ikut menipis bila dibonceng melebihi 60
km/jam. Namun entah mengapa kali ini sunggguh berbeda. Aku merasa nyaman walau
tak satu tanganku pun meraih pinggangnya. Dua kilometer pertama perjalanan
kami, tiada kata yang terucap. Kami seperti tenggelam dalam lautan diam. Hingga
kak Ahmad kembali membuka percakapan.
“Dik
Zahra kuliah di UI juga ya?”
“Bener
Kak, kakak tahu dari mana?”
“Temen-temen
komunitas rata-rata juga sudah tahu kalo adik kuliah di sana. Ambil jurusan
Sastra Indonesia kan?”
“Iya
Kak.”
Walau
aku tak yakin, relawan komunitas pemuda Islam yang sebanyak itu sebagian besar
sudah tahu tentang kuliahku. Aku tak ingin bertanya lebih jauh.
“
Diem saja. Biasanya cerewet gitu.”
Dari
mana kak Ahmad tahu kalau aku cerewet? Apakah kak Ahmad diam-diam juga
memerhatikanku? Ah tak mungkin. Lebih baik aku mengubur dalam-dalam
ke-ge-er-anku.
“Kak
Ahmad lulusan UI ya? Pendidikan Dokter? Lulus tahun ini kan ya?”
“Iya,
hehehe tahu aja. Emang kakak terkenal banget ya, sampai dik Zahra tahu gitu.”
“Hehehe.
Kakak kan emang terkenal deh. Eh, keceplosan. Kakak sekarang kerja dimana?”
“Aku
masih magang di RSUD kabupaten Ponorogo untuk beberapa bulan ini. Sambil kadang
nerima panggilan kalo ada yang sakit. Mau nabung dulu biar bisa buka praktek di
rumah”
“Oh,
kakak hebat, baru lulus udah ngeksis aja jadi dokter, hehe.”
“Dik
Zahra suka nulis ya? Pengen jadi penulis gitu?”
“Iya
dong Kak, doakan ya Kak. Aku ngefans banget sama Chairil Anwar. Tar pengen deh
jadi sastrawan terkenal kek dia.”
“Amin.
Kamu pasti bisa kok. Chairil Anwar yang salah satu puisinya berjudul ‘Aku’ itu
ya? Wah kamu pasti bagus deh kalo baca puisi itu. Bacain buat aku dong,
hehehe.”
“Hehe
, kakak bisa aja. Malu dong Kak, masa di jalan gini teriak-teriak.”
Tiba-tiba
ada sebuah lubang cukup besar di depan kami, kak Ahmad seperti tak bisa menghindarinya,
dan sudah kuduga. Ban motor kak Ahmad tanpa dosa menerjang lubang itu, badanku
tak kuasa menahan guncangan yang dapat menjatuhkanku. Segera kuraih pinggang
kak Ahmad dengan erat. Dan syukurlah kami tak terjatuh.
“Maaf
Kak.”
‘Ehm,
iya.”
Kami lalu terdiam. Membiarkan deru
motor mencabik-cabik hening yang kami ciptakan. Mungkin, refleks perbuatanku
tlah menciderai hangat percakapan yang muncul begitu saja. Grogi dan rasa
bersalah menghantuiku. Apa kak Ahmad marah? Mengapa ia terus diam? Hmm, kupendam
pertanyaan itu hanya dalam diam. Oh tidak, aku merasa canggung luar biasa
setelah ketidaksengajaanku tadi. Bagi orang, mungkin biasa berpegangan antar
lawan jenis, tapi bagi kak Ahmad? Aku tak menjamin.
“Dik, Dik Zahra?” Suaranya yang
halus memecah keheningan.
“Iya Kak. Kakak marah ya?” Tolol,
mengapa aku harus bertanya seperti itu pada dia.
“Enggak kok, sudahlah. Allah tidak
marah ketika kita tidak sengaja.”
“Hmm.”
“Dik?”
“Apa Kak?”
“Sempat nggak kamu berpikir untuk
lebih giat membantu sesama.”
“Sempat lah Kak, buktinya aku ikutan
baksos, hehe.”
“Kalau lebih dari itu?”
“Maksud Kakak?”
“Pergi ke Palestina mungkin.”
“Palestina? Hmm aku takut.”
“Apa yang kamu takutkan?”
“Aku takut kalau, aku tak bisa
kembali.”
“Oh, begitu rupanya.”
“Kenapa Kak?”
“Tidak apa-apa.” Senyumnya menjulur
setengah lingkaran ketika ia memutuskan untuk sedikit menoleh ke belakang, ya
ke arahku. Dan siapapu pasti menebak kalau jantungku hampir lepas. Dan itu
benar.
***
Ada ketentraman tersendiri rupanya,
bergaul lebih lama dengan orang-orang macam Laili, macam kak Ahmad. Menurutku,
hanya pakaian yang membedakan mereka, selebihnya, mereka manusia normal.
Manusia-manusia baik yang normal. Mereka tertawa dan bercanda seperti
kebanyakan manusia. Lalu ada kalanya mereka bersujud lebih lama di hadapan
Tuhan untuk memohon sesuatu, sesuatu terserah mereka. Namun satu hal yang baru
kutemui selama ini—kenyataan bahwa mereka terlalu baik. Walaupun menurut banyak
orang, seperti ada jarak antara perempuan dan laki-laki, tapi sebenanrnya jarak
itu hampir tak terlihat ketika kami bekerja sama. Jarak hanya perkara syari’at
yang membatasi pergaulan kami agar tak berlebihan.
Baksos berjalan dengan lancar. Dan
sudah barang tentu, kami harus pulang. Salah satu kegiatan pertama sudah
berhasil diselesaikan. Itu berarti, 3 hari lagi kami berkumpul untuk
penggalangan dana Palestina. Ya, meski lelah, tapi itu semua terbayar dengan
ratusan senyum yang tertanam di wajah mereka, mereka yang untuk makan saja
terlalu kesulitan karena himpitan masalah ekonomi. Kali ini kami pulang agak
larut, tepatnya pukul 22.30. aku menunggu di pinggir jalan, berharap kak Ahmad
segera datang. Dan rupanya terjadi, ia menghampiriku dengan senyum lebar hingga
gigi gingsulnya terlihat menawan. Oh, dia menatapku dan menyerahkan kunci
motornya padaku.
“Kamu
pegang dulu ya, ambil helm dulu. Aku bawa motorku ke sana dulu. Kakak masih ada
urusan bentar, kamu tunggu sini ya. Ada temen kakak yang belum dapat kendaraan.
Maaf akan membuat kamu menunggu.”
“Tak apa Kak.”
Setengah jam kemudian, ia lewat, pas
di depan mataku—membawa seorang perempuan yang duduk satu motor dengannya.
Siapa dia, apakah itu teman kak Ahmad yang belum dapat kendaraan? Entahlah. Lalu,
bagaimana denganku? Bagaimana caraku pulang? Seketika itu, Laili berteriak
sangat nyaring.
“Zahra! Zahra, kau bersama kak
Rosyid saja, sepertinya kak Ahmad mengantar temannya.”
“Iya Laili.” Sahutku penuh
kekecewaan.
Benarkah?
Mengapa kak Ahmad hanya menyuruhku untuk menunggu, ia tak mengatakan bila harus
mengantar perempuan lain. Aku duduk tepat di belakang kak Rosyid. Tidak ada
sama sekali, getar lirih yang kurasakan saat berboncengan dengan kak Ahmad. Aku
hanya diam, mengikuti ke mana motor kak Rosyid melaju. Setelah 4 meter melaju,
aku terpaku melihat kak Ahmad berhenti di samping sebuah mobil, tapi ia tak
bersama perempuan tadi. Dan, kulihat perempuan yang tak kukenal itu di dalam
mobil, berhimpitan dengan penumpang lainnya. Oh Tuhan, rupanya kak Ahmad hanya
mengantarnya ke sebuah mobil. Kak Ahmad menghidupkan motor, dan ia menghampiri
motor kak Rosyid. Sontak, kak Rosyid menghentikan laju motornya.
“Dik
Zahra, motor kak Ahmad sudah free kamu
sama kakak apa tetap sama kak Rosyid saja?”
“Hmm,
terserah Kak, yang penting pulang. Sama kak Rosyid juga tidak apa-apa.” Aku
menjawab dengan refleks bercampur salah tingkah.
“Baiklah.
Hati-hati ya kalian berdua. Semoga selamat sampai tujuan.”
“Oke,
siap.” Kak Rosyid menjawabnya dengan pendek kata, berlalu meninggalkan kak
Ahmad. Dan aku hanya diam, tak menjawab.
Bodoh.
Apa yang kulakukan. Mengapa aku harus mengatakan hal semacam itu? Aku ingin
sekali satu motor lagi dengan kak Ahmad, tapi mengapa kejujuran itu tertutup
oleh bodohnya salah tingah? Kejujuran seakan hanya diam, terpendam dalam dasar
hatiku. Ya, aku baru sadar. Terkadang, tidak ada kesempatan kedua untuk yang
selalu diam dan memendam. Ada penyesalan yang berubi menghakimiku, tak
henti-henti. Oh Tuhan, separah inikah cinta itu?
***
Jumat,
25 Juli 2014
Aku
berjalan ke sana ke mari. Mataku memandang penuh telisik. Mendapati seseorang
yang kucari tak kutemui, aku lalu menyerah. Aku menemukan sebuah bangku tanpa
penguni, lalu duduk di atasnya. Kepalaku terus merunduk, walau sengat mentari
terasa menyiksa, aku tak peduli. Aku hanya memikirkan sosok itu. Sosok lelaki
yang baru-baru ini mengisi hatiku.
“Zahra?
Zahra sedang melamun?”
“Oh,
Laili, ada apa?”
“Ada
surat untukmu.” Lalili menempelkan secarik kertas tepat di atas tanganku.
Assalamu’alaikum. Dik
Zahra, tadi pagi kakak berangkat. Kakak pergi jauh, kamu tahu ke mana? Ke
sebuah negeri yang kini menderita. Ya, ke palestina. Kakak lolos seleksi
relawan, mengalahkan ratusan dokter yang lain. Dan itu artinya, kakak harus
berangkat, kakak tak mungkin menghidari pilihan yang sudah kakak pilih. Pergi
ke sana adalah impian kakak dari dulu. Karena bukankah menjadi manusia harus
bermanfaat? Kakak tak akan tahu bagaimana takdir kakak selanjutnya. Kakak juga
tak menjamin bahwa kakak akan baik-baik saja. Jaga dirimu ya, tetaplah bersama
dengan orang-orang baik, agar kebaikan itu menular. Sampai jumpa, entah kapan
perjumpaan itu terjadi. Wassalam.
“Zahra,
mungkin kau terlalu dalam memikirkannya.” Celoteh Laili ketika melihat mataku yang
penuh kaca.
Mungkin aku akan selalu memendam bayangmu, dalam rinduku.
Masa Depan
Tidak ada yang mengetahui bagaimana
masa depan itu. Ada sebuah takdir yang mengantarkan kita untuk bernafas di alam
dunia. Alam yang sangat kejam menyiksa, dan alam yang sangat baik memberi pada
manusia. Dan aku selalu yakin bahwa alam ini hanya perantara Tuhan untuk
memilih jiwa mana yang pantas berada dalam kasih-Nya di kehidupan abadi.
Aku sendiri seorang manusia. Aku
percaya bahwa Tuhan selalu menetapkan takdir untuk masing-masing hamba. Jodoh,
maut, dan rezeki. Tiga hal itulah yang sering disebut oleh guru agama di
sekolahku. Dan ia juga selalu semangat ketika menjelaskan suatu ayat yang
menyatakan bahwa beserta kesulitan ada kemudahan. Walaupun aku bukan termasuk
siswi yang sangat pandai dalam urusan agama, namun aku percaya bahwa Tuhan
selalu mempunyai rencana terbaik untuk hamba-Nya.
***
Namanya Isa. Benar, seperti nama
seorang nabi yang dianugerahi sebuah mahakarya Tuhan yang sangat fenomenal,
yaitu Injil. Kata orang, nama adalah doa dan mungkin doa orang tuanya, sedikit
banyak terkabul. Versiku, Isa adalah siswa terpandai di kelas. Aku melihat dari
sudut pandang nilai akademisnya yang selalu paling menonjol dan kemampuannya di
bidang lain. Ya, Isa juga teramat lihai menari. Dan percaya atau tidak, sering
imajinasiku melayang menembus batas nalar. Aku begitu larut dan menghayati saat imajinasi itu mulai bergerak. Mungkin, semua
orang akan terbahak-bahak dalam tawanya saat mereka mengetahui bahwa aku yang
bodoh ini, sangat ingin berada di posisi Isa. Andai sorak pujian acap kali
mengiringi hidupku. Guru-guru seakan takluk, seperti halnya kawan-kawan yang
selalu berkerumun, mengelilingi duniaku yang terlalu indah tuk dilewatkan.
Juga, orang tua yang teramat sempurna dengan kasih sayang, pengertian, dan
hartanya yang siap mendukung cita-citaku. Ya, bukankah imajinasi selalu tidak
diterima oleh logika?
***
“Remidi lagi!” Ucapku kesal.
Aku
sering sekali seperti itu, mengeluhkan kegagalan pada hal-hal sederhana yang
sebenarnya tak akan pernah menghindar dari hidupku.
“Sudahlah Langit, ini bukan ulangan
harian terakhir kok.” Ujarnya bijak.
“Tapi
sudah berapa kali aku mendapat nilai di bawah standar? Kamu bahkan tak bisa
menghitungnya kan?”
“Tuhan
pasti punya rencana. Bukankah Ia selalu memberikan kelebihan atas kekurangan
hamba-Nya?”
“Basi
tauk.”
Aku
meninggalkan Isa yang aku tahu, ia berusaha menghiburku untuk kesekian kalinya.
Dan kali ini, aku sangat malas dengan hiburannya yang menurutku selalu lebih
condong kepada nasihat-nasihat. Entah karena ia terlalu cerdas sehingga hiburan
pun merupa motivasi.
“Hei,
tunggu. Langit, Sonngolangit?” Isa berlari sambil mengikuti langkahku.
“Apa sih
Sa?”
“Kamu
kan udah janji tadi mau ke sanggar bareng. Masa gara-gara nilai biologi tadi
kamu jadi marah sama aku.”
“Hmm
enggak kok, maaf ya Sa, aku lagi sebel tadi.”
“Iyaa
Songgolangit yang cantiiik, hehehe.”
Aku dan
Isa berteman dengan sangat akrab. Entahlah, mungkin akan orang mengatakan bahwa
kami bersahabat, tapi kami berdua sepakat dengan hal yang sama—sama-sama tak
pernah menyinggung perihal status hubungan ini. entah sahabat, teman biasa,
atau yang lainnya. Kami ini kawan sekelas, kami juga tergabung di sanggar tari
yang sama, bahkan lebih spesifik, kami berada dalam satu grup tari andalan
sekolah, grup reog Gajah Manggolo. Dan sudah dapat ditebak, itulah yang membuat
kami selalu bersama.
“Langit
pakai dong selendangnya. Mau mulai nih.”
“Iya
iyaa. Kamu juga belum pakai tuh topeng.”
“Kamu
dong yang makekin.”
“Ih,
napa mesti aku coba, weeellk.”
Alunan
gamelan dan sompret (terompet khas Ponorogo yang dipakai dalam pementasan reog)
yang nyaring menggiring kami pada gerak tarian. Tari reog terdiri dari beberapa
tokoh dengan ragam gerak yang berbeda. Ada jathil, penari perempuan dengan
membawa jaranan--anyaman berbentuk kuda yang melambangkan pasukan berkuda. Ada
juga warok, pasukan laki-laki berkumis dan berjenggot tebal dengan pakaian
serba hitam, lalu ada klana sewandana, sang prabu yang sangat berwibawa, bujang
ganong, prajurit lincah yang sangat atraktif, dan dadak merak yang fenomenal,
mereka menari sambil mengenakan topeng besar yang sering disebut sebagai ikon
tari reog itu sendiri. Kami sangat bersemangat. Acara Festival Reog Nasional
tahun ini harus kami menangkan. Maklum, sebagai salah satu sekolah menengah
atas favorit, eksistensi kami sangat dipertaruhkan.
Aku
sangat antusias menunjukkan tarian terbaikku, begitu pula dengan teman yang
lain. Pada satu waktu, mataku tertuju pada seseorang, ia menari dengan sangat
sempurna menurutku. Isa. Kali ini ia begitu gagah, gerakannya juga luwes dan
indah. Pantas saja, banyak gadis yang terpikat hatinya setelah melihatnya
menari sedemikian gagah. Dan mengapa, ada satu getar aneh yang bergejolak di
dalam dadaku.
“Capek
Saa?” Kataku sambil mengusapkan tisu pada kening Isa.
“Makasih.
Iyalah, kamu nggak capek emang? Sini, duduk.” Isa menarik tanganku hingga aku
benar-benar terduduk di sampingnya.
“Capek
juga, hehe. Eh Sa, ajarin aku ngerjakan PR dong. Takut dapet nilai jelek lagi
nih.”
“Iyaa,
kapan? Hari ini? Apa sih yang enggak buat kamu.”
“Ah kamu
mah ada-ada aja. Iya, boleh deh. Aku ke rumahmu yaa?”
“Oke
deh, siiaapp.”
***
“Assalamu’alaikuum.”
“Wa’alaikum
salam. Eh, Langit, silakan masuk. Cari Isa ya? Bentar tante panggilin.” Sebuah
tangan halus merangkul pundakku, membawaku masuk ke dalam istananya yang megah.
“Iya Tante, makasih.”
“Hai Langit, dateng ya rupanya, niat
juga kamu belajar, hehehe”
“Ah Isa mah ngejek. Tuh Tante,
Isanya jahaat.”
“Isa ga
boleh gitu, temennya pengen pinter kok diejek sih. Oh ya kalian belajar yang
rajin yaa, tante buatkan minum yang enak .
Isa
memang beruntung. Ia punya ibu yang mirip dengan malaikat. Tante Riski seorang
dokter. Selain cantik, ia juga ibu yang sempurna untuk keluarganya. Ia mengurus
setiap detail kebutuhan Isa dan ayahnya tanpa cacat. Tante juga seorang yang
dermawan, ia seringkali membuka pengobatan gratis bagi warga di pedesaan yang
kekurangan asupan medis. Karena kebaikannya itulah, Isa bercita-cita menjadi
seorang dokter. Sangat pas, menurutku. Isa cerdas dan ia juga baik. Apa coba
yang perlu diragukan dari kemampuan Isa. Ia pasti akan dengan mudah meraih apa
yang ia impikan. Tidak sepertiku.
Aku
memang terlahir dari rahim seorang seniman. Ibuku pesinden dan bapakku adalah
penari reog. Kami tinggal di desa Sumoroto, desa yang sangat terkenal karena
banyak seniman Ponorogo yang terlahir di sana. Namaku pun sangat kental dengan
aroma seni. Songgolangit. Itu adalah nama terindah yang pernah kutemui. Nama
itu pemberian kakek. Kakek yang seorang dalang mengerti betul istilah-istilah
jawa kuno dan juga tokoh-tokoh dalam pewayangan ataupun sendra tari daerah.
Kata kakek, songgo berarti penyangga, secara sederhana namaku dapat dimaknai sebagai
penyangga langit. Ya, kakek sangat ingin cucu perempuan satu-satunya ini kelak
dapat meraih cita-citanya setinggi langit dan dapat bermanfaat untuk orang
lain. Songgolangit juga diambil dari nama seorang dewi yang diperebutkan oleh
Klana Sewandana dan Singo Barong dalam cerita fiksi asal usul lahirnya Reog
Ponorogo. Karena itu, tak heran jika tari reog seakan menjadi nyawa bagi
batinku. Aku sangat ingin menjadi penari profesional, kuliah di Institut Seni
atau setidaknya menjadi guru tari dengan memilih prodi pendidikan seni tari di
salah satu universitas. Namun, bapak selalu melarangku. Ya, kehidupan seniman
Ponorogo yang pas-pasan bahkan cenderung kesusahan membuatnya berpikir bahwa
alangkah baiknya jika aku memilih jalan hidup yang berbeda—tidak seperti bapak.
Bapak
sangat ingin aku menjadi orang sukses kelak. Dan saat ini, definisi sukses
menurutnya adalah hanya dengan menjadi seorang dokter. Ia terinspirasi dari
kisah dokter Rully, dokter spesialis kulit dan kelamin di kotaku. Selain sukses
menjadi dokter di rumah sakit, ia juga berhasil membuka praktik yang hingga
kini laris manis dengan antrian yang sangat panjang setiap hari, karena
kliniknya juga melayani paket perawatan kecantikan yang sangat digandrungi
remaja saat ini. Setiap kali keluar dari rumahnya yang super mewah, ia selalu
menunggangi BMW hitam yang pasti mengkilat ketika tersorot sinar mentari. Siapa
coba yang tidak ingin sepertinya? Dan yang lebih mengherankan, dokter Rully
adalah ayah Isa. Ya Tuhan, mengapa semua seolah saling terkait?
“Hush,
nglamun aja. Langiitt.” Isa berteriak sambil mencubit kedua pipiku.
“Isaaa, sakit tauk. Lepasin nggak?” Kutarik tangan
Isa, tapi tarikan itu seakan percuma. Aku tak berdaya. Getar aneh itu kembali muncul.
Getar itu lirih, namun pasti. Pasti membuat hatiku kalang kabut tak karuan.
“Pelit amat sih, Cuma nyubit pipi juga.” Isa
melepaskan tangannya yang menyentuh kedua pipiku yang memerah. Aku bernapas
lega. Namun mengapa getar itu tak kunjung reda?
“Kamu nglamun apa sih?” Ia menatapku. Kedua matanya
menjelma belati—tajam, dan sepertinya sanggup mencabik-cabik batinku. Ia semakin
mendekatkan matanya, mengernyitkan kening,dan gelagatnya seperti seseorang yang
sangat penasaran. Hingga matanya benar-binar hanya enam centimeter di depan
mataku.
“Jangan dekat dekaaat.” Refleks kedua telapak
tanganku menutupi wajahku.
“Kamu napa sih, lebay banget, huuu.”
“Salah kamu juga sih, ngagetin.”
“Kok aku yang salah sih?”
“Iya, kamu.”
“Ya ya ya, wanita memang merasa selalu benar.”
“Biarin, weeellk.”
“Awas yaaa.” Isa mengejarku. Ya, kami berkejaran
layaknya anak kecil yang bermain maling-malingan.
“Isaa, lepasin tanganku.”
“Nggak, sampai kamu cerita apa yg kamu lamunin tadi.”
“Nggak maauu Isaaa.”
“Ayolaah, kamu nglamunin aku kan?”
“Enggak, pede amat sih.” Isa tetap menarik
tanganku—lebih kuat, hingga akhirnya tanpa sengaja, tubuhku terjatuh tepat di
pelukannya.
“Maaf, maaf Langit, aku nggak sengaja.” Sontak Isa
melepaskan tubuhku.
“Iya, nggak papa kok.”
Mengapa
getar itu ada terus menerus, saat aku terlalu dekat dengan Isa? Apakah
benar getar itu mengisyaratkan adanya
rasa yang tumbuh perlahan di dalam hati? Entahlah, aku hanya menahan rasa itu
dengan diam. Karena rasa yang tak pantas hadir akan semakin menggoreskan luka
dalam batin. Dan mungkin hanya diam yang bisa menutupi rasa itu darinya, atau
bahkan lama-lama terpendam, dan sirna. Aku tak mungkin pantas menaruh rasa
sedalam itu pada sosok Isa. Ia dan kehidupannya terlalu sempurna untuk
bersanding denganku dan kehidupanku yang carut-marut dalam kekurangan.
***
Sebulan
ini, aku menjelma manusia galau yang sering murung dan melamun. Bukan, bukan
hanya perihal getar aneh yang menghantuiku saat benakku memutar memori tentang
Isa, namun lebih dari itu. Tentang masa depan. Aku tak pernah sebelumnya,
mengkhawatirkan masa depan separah ini. Ya, bapak jatuh sakit. Hipertensinya
kambuh, dan kali ini makin parah. Sebulan sudah, bapak tidak menerima tawaran
menari di beberapa pementasan reog. Maklum, dalam kondisinya yang sakit,
sebagai penari yang memerankan tokoh Singo Barong, membawa Dadak merak yang
memiliki berat puluhan kilo dengan menggunakan gigi akan membuatnya semakin
pusing. Belum lagi ibuk yang sepi tawaran menyinden. Ya, akhir-akhir ini
pementasan wayang kulit memang sudah jarang diminati, sudah terkalahkan oleh
pementasan dangdut dan juga konser-konser lagu pop. Dan benar, kondisi keuangan
keluargaku sudah dipastikan hampir menyentuh batas krisis. Belum lagi, sebagai
siswi kelas XII aku membutuhkan banyak biaya. Apalagi, hmm biaya kuliah.
Pikiranku tentang kuliah seakan menjadi hantu yang mengganggu. Aku ingin
mengubah nasib keluargaku, membanggakan bapak juga ibuk. Tapi, dengan
keterbatasanku dan kemampuanku yang hanya seperti ini apakah aku bisa? Aku bisa
saja mengajukan keringanan dan ikut program bidik misi yang diselenggarakan
pemerintah bagi siswa kurang mampu. Tapi, nilai raporku tak cukup bersaing
dalam ajang SNMPTN. Aku juga tak cukup pandai jika harus bersaing lewat jalur
tulis. Dan menurutku, satu-satunya cara agar aku bisa menempuh pendidikan
sarjana adalah dengan mendaftar di institut atau sekolah tinggi seni, tapi
bukankah belajar di sana butuh biaya? Terlebih lagi, bapak selalu ingin anak
perempuannya ini menjadi dokter—seperti cita-cita Isa. Kadang aku berpikir,
mengapa aku tak sepandai Isa? Mengapa bapakku tak mendukung keinginanku seperti
halnya ayah Isa? Ah, berandai-andai tak akan mengubah keadaan, ia hanya akan
menambah daftar panjang kepedihan.
“Songgolangiitt,
yeay, kita menang!”
“Apa sih
Saa?”
“Kita
juara satuuu.” Teriaknya sambil mengoyak-ngoyak pundakku.
“Juara
apa?”
“Festival
Reog Nasional. FRN! Kita akan makan besaarr.”
“Oh,
menang ya rupanya. Syukurlah.”
“Kamu
kok nggak semangat sih Lang, biasanya kamu tuh yang paling heboh kalo menang. Kamu
mikirin apa sih?”
“Apa
kamu lupa, besok pengumpulan angket SNMPTN. Aku bingung.”
“Iya,
gak lupa sih. Bingung kenapa? Bukannya kamu pengen banget ambil seni tari ya?”
“Percuma
Sa.”
“Percuma
kenapa?”
“Aku gak
punya biaya.”
“Tapi
bukannya ada program bidik misi ya?”
“Nilaiku
terlalu buruk untuk bersaing.”
“Kamu
jangan pesimis lah, sayaangg. Senyum dong.”
“Hmm
sayang?”
“Eh,
enggak enggaak, kamu aja pantes dipanggil sayang-sayang. Aku Cuma bercanda
tauk. Yeee.”
“Kenapa
gak pantes?”
“Ya
lihatlah, ngaca. Nilai kamu jelek gitu, mana gak pede lagi. Hahahaaa, tar kalo
kamu jadi cewekku, malu lah aku ini. Hahaha.”
“Dasaarr,
nyebelin.”
Aku
tahu Isa hanya bercanda. Tapi kalimat Isa memang benar. Aku—yang belum tentu
kuliah ini—mana pantas bersanding dengan Isa? Isa mungkin akan sangat mudah
untuk sukses dalam dunianya. Dan, ia pasti sangat mudah mendapatkan seorang
pendamping yang sama hebatnya. Terkadang aku menganggap—diriku ini terlalu
banyak berkhayal.
***
Isa selalu punya hal yang
membuatku—dan bahkan semua orang bangga. Sebagai lulusan dengan nilai ijazah
terbaik se-Kabupaten Ponorogo sudah cukup membuktikan bahwa Isa memang
benar-benar tanpa tandingan—maksudku tanpa tandingan di hatiku. Lengkap sudah.
Menurutku ia selalu sukses mendapatkan apa yang ia inginkan—dengan sangat
mudah.
Pendidikan Dokter Universitas
Indonesia. Siapa yang tak bergidik mendengarnya. Di sekolahku, pendidikan
dokter masih menjadi primadona yang diburu oleh banyak siswa. Dan, sudah
menjadi mitos bahwa setiap tahun hanya ada satu tempat untuk pendidikan dokter
di UI, hanya mereka yang menduduki juara satu paralel yang pantas
mendapatkannya—termasuk Isa. Kali ini, aku memerhatikan Isa dari jauh saja, tak
seperti biasanya. Aku hanya tak ingin tawanya yang lepas ternodai olehku. Ya,
semenjak dulu aku sering mengecewakan. Apa lagi masalah sekolah. Peringkat
ujung selalu menjadi tempat yang pas untukku—menurut semua guru. Dan bagaimana
denganku? Aku tidak lolos SNMPTN. Kuliah bagiku hanya mimpi yang sulit untuk
terwujud. Benar saja, ayahku semakin parah. Dan bahkan kini ia menderita
stroke. Ibuk harus menghidupi kelima anaknya. Ya, sebagai anak sulung aku ikut
merasakan kepedihan ibuk. Aku harus bekerja, membantu ibuk. Aku bekerja sebagai
penari jathil yang mengisi berbagai pementasan. Dengan kondisi yang seperti
ini, mana siap aku—bila Isa melihatku dan bertanya tentang keadaanku. Malu itu
wajar, tapi bukan itu sebenarnya yang membuatku enggan bila Isa melihatku. Aku
takut, rasa yang tak pantas ini kembali tumbuh, dan subur.
Empat tahun sudah kami tak bertemu.
Sebenarnya Isa sering menghubungiku, namun aku berusaha mengabaikannya. Saat ia
libur kuliah, ia juga datang ke rumah—ingin menengokku. Tapi aku selalu
menghindar dan berpura-pura sakit atau kalau tidak, aku minta tolong ibuk untuk
berbohong. Mengapa aku selalu tidak siap bertemu Isa? Aku hanya ingin khayalan
masa laluku terhapus. Dan harapanku untuk memiliki Isa sirna. Kami terpaut
jarak yang jauh. Bukan hanya karena Isa kuliah di depok—jauh dari Ponorogo.
Namun , kami terpaut jarak dalam banyak hal. Rezeki, nasib, juga masa depan.
Ya, kuakui, keburukanku adalah aku selalu menghakimi masa depanku sendiri. Aku
sering merasa bahwa tidak ada peluangku untuk berhasil dan membanggakan.
“Songgolangit. Itu kamu kan?”
Aku segera menoleh. Isa. Aku terlalu
larut dalam lamunan hingga tak menyadari bahwa Isa kini berdiri di sampingku.
Benar-benar di sampingku. Aku bergeges pergi dengan berlari, berharap Isa tak
mengejarku atau kalau pun ia mengejar—semoga tak terkejar.
“Mau kemana? Langit,
kenapa harus lari?” Harapanku tak berujung nyata. Isa mengejarku dan ia berlari
mendahuluiku. Ia mencengkram tanganku, menghentikan langkahku.
“Lepasin Sa, aku ada urusan.”
“Urusan apa? Bukannya pementasan
sudah selesai?”
“Kamu gak perlu tahu, lepasin
sekarang.”
“Enggak, kamu selalu menghindar. Ada
apa sebenarnya denganmu ini Lang?”
“Aku
gak yakin kamu akan paham, udahlah Sa, lepasin.”
Tanganku
memberontak, dan ia berhasil terlepas dari genggaman Isa. Tapi, Isa sungguh
nekat kali ini. Ia tetap mengejarku hingga aku mendapatinya terjatuh, ada
sebuah batu bear yang menyandung kakinya. Dan darah segar mengucur dari
kakinya. Walau sebenarnya, bisa saja aku berlari lebih kencang hingg Isa tak
mendapatiku lagi, tapi siapa yang tega melihat sosok yang selama ini bersemayam
dalam hati tiba-tiba jatuh dan terluka.
“Isa,
kakimu sakit? Berdarah Sa. Aku bawa kamu ke puskesmas ya?” Kataku panik.
“Nggak
parah kok Lang, ga usah khawatir kaya gitu.”
Ia
bahkan masih sempat tersenyum walau sambil menahan sakit. Akhirnya, aku membawa
Isa ke puskesmas. Aku menghela nafas lega, saat kakinya berhasil diobati oleh
perawat.
“Masih
sakit Sa?”
“Dikit
kok, hehe makanya kamu jangan ngajak lari-lari dong.”
“Isaaa,
hmmm. Maaf yaa. Aku jadi buat kakimu sakit kaya gini.”
“Enggak,
tadi kan aku jatuh sendiri, bukan karena kamu.”
“Hmm”
“Langit?”
“Apa”
“Kenapa
sih kamu selalu menghindariku? Kita kan sudah lama berteman. Aku ada salah ya
sama kamu?”
“Bukan
gitu Saa, hmm.”
“Terus
kenapa?”
“Hmm.” Apa iya aku harus jujur sama
Isa kali ini?
***
“Adik, ayo jangan lari-lari teruuss,
mamah capek nih.”
“Iya iya maah. Mamah lihat deh
pesawatnya bagus kan ngiieeng ngieeengg. Hehe.”
“Iya, bagus, Nak. Kamu kalo udah
besar pengen jadi pilot ya?”
“Iya maaah, adik pengen jadi pilot biar
bisa lihat matahari dari deket.”
“Ya nggak bisa, matahari kan panas,
adik gak bisa deket-deket matahari.”
“Hmm, masa sih Mah?”
“Hehe, iyaaa.”
Senyumku mengembang, senang rasanya
melihat anakku begitu bahagia. Aku bersyukur karena anakku punya kebahagian
yang lebih, ya bahkan jauh lebih bahagia bila dibanding dengan masa kecilku.
Saat ini, aku bisa membelikannya mainan apa pun yang ia minta. Oh Tuhan, betapa
bahagianya aku kini. Ternyata benar kata guru agamaku dulu, Tuhan adalah
seadil-adilnya zat di alam semesta. Ia jauh lebih mengerti, sekali pun apa yang
terpendam dalam hatiku. Aku semakin yakin bila rencana Tuhan jauh lebih indah
daripada rencana manusia.
“Mah,
lagi apa ini? Waah adik lagi makan ya?” Ia menggendong anakku dengan sepenuh
rasa.
“Papah
pulaangg.” Seperti biasa anakku selalu riang pabila ayahnya pulang dari
tempatnya bekerja.
“Wah,
iya, Papah pulang. Papah mau disuapin juga?”
“Hehe,
enggak ah, malu nih sama adik. Nanti aja mamah siapin spesial buat papah ya.”
“Iya sayaangg.”
Iya, aku sudah menikah dan punya
satu orang anak. Sudah enam tahun usia pernikahan kami, dan semua terasa sangat
indah. Dan, pernikahan ini membuat hidupku banyak berubah. Suamiku sangat baik.
Ia selalu ada waktu untuk keluarga di sela-sela kesibukannya. Kini, aku juga
telah mempunyai sanggar tari sendiri. Oh ya, sanggar ini tidak dibiayai oleh
suamiku, tapi semua memang hasil dari jerih payahku menekuni dunia seni,
terutama tari reog. Aku sekarang tidak tinggal di Ponorogo, aku tinggal di
Bekasi, mengikuti suami. Bapak sudah lama meninggal, dan sekarang ibuk kubawa
serta ke Bekasi, usianya yang semakin senja juga mengharuskan ia untuk tidak
menyinden lagi. Dan sekarang, ibuk punya kesibukan baru—membantuku mengurus
sanggar.
Banyak yang bertanya, bagaimana
hidupku bisa seberuntung ini. Sebenarnya, aku tidak memaknainya sebagai
keberuntungan. Kegagalanku di masa lalu telah mengajariku banyak hal, terutama
belajar untuk menata diri untuk menjadi yang terbaik bagi orang-orang yang aku
cintai, termasuk suamiku, Isa. Ya, ataukah ini memang takdir? Entahlah. Isa
menjadi peraduan cintaku yang terakhir. Walau harus susah payah memendamnya,
dulu. Dan sebenarnya, aku termasuk seseorang yang dianugerahi anugerah. Ya,
aku—salah satu manusia yang punya kesempatan kedua. Kesempatan untuk
menyatakan, mengutarakan apa yang ada di dalam hatiku. Karena, terkadang tidak
ada kesempatan kedua untuk yang selalu diam dan memendam. Dan aku mensyukuri
itu. Kejadian saat Isa terjatuh karena mengejarku silam adalah jembatan untukku
mengatakan sesuatu, bahwa aku benar-benar mencintai Isa. Dan siapa yang
menyangka, Isa pun memendam perasaan yang sama. Bukankah tidak ada yang
mengetahui bagaimana masa depan itu?
Langganan:
Postingan (Atom)